Penulis: Ummu Ziyad
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar
Rasa sedih tentu akan menyeruak dari dalam diri seorang muslim, jika melihat seorang saudaranya yang lain meninggalkan kewajiban yang telah diperintahkan oleh Allah. Begitu pula yang penulis rasakan ketika dalam suatu perjalanan, penulis menyaksikan sebagian besar penumpang bus yang penulis tumpangi meninggalkan shalat. Padahal waktu itu bulan Ramadhan dan sebagian besar pulang kampung untuk merayakan lebaran ‘Idul Fithri di rumah masing-masing. Puasa yang mereka tinggalkan saat perjalanan memang merupakan keringanan yang Allah berikan bagi orang yang bersafar. Tentu saja dengan ketentuan bahwa puasa yang ditinggalkan akan di-qadha ketika telah usai bulan Ramadhan tersebut. Namun, shalat bagi seorang muslim tetaplah wajib, begitupula bersuci sebagai salah satu syarat sahnya shalat juga merupakan kewajiban. Allah dan Rasul-Nya telah memberikan keringanan dalam bentuk yang berbeda untuk masing-masing kewajiban tersebut.
Ketika shalat tidak mampu dilaksanakan secara berdiri, maka bisa dilakukan dengan duduk, dan jika tidak mampu maka bisa dilakukan dengan berbaring. Dalam keadaan safar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan bahwa untuk shalat-shalat wajib, orang yang dalam perjalanan tidak melakukannya di atas kendaraannya. Adapun untuk kendaraan-kendaraan yang tidak memungkinkan bagi seorang musafir untuk menghentikan kendaraannya (seperti kereta, kapal laut) atau bis yang tidak diketahui secara tepat pemberhentiannya, maka seseorang dapat shalat di dalam kendaraan tersebut, karena terpaksa. (Insya Allah akan datang artikel khusus tentang shalat bagi orang musafir).
Begitupula dengan bersuci. Ketika seseorang telah bersuci dan memakai khuf, maka dalam perjalanan dengan jangka waktu tiga hari, ia dapat berwudhu dengan cara mengusap khuf. Adapun jika ia tidak mendapat air atau terhalang untuk menggunakan air, maka Allah telah memberi keringanan berupa tayammum.
“Jika kamu tidak menemukan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih). Usaplah mukamu dan kedua tanganmu dengan tanah itu.” (Qs. al-Maa-idah [5]: 6)
Kesimpulannya, adalah keringanan untuk wudhu dan shalat bukanlah dalam bentuk boleh ditinggalkannya kewajiban wudhu dan shalat tersebut.
Kisah Munculnya Syari’at Tayammum
Kisah ini diceritakan oleh Aisyah istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu saat, ia bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu perjalanannya. Ketika mereka telah sampai di Baida’ atau Dzatul Jaisy (hendak memasuki kota Madinah), tiba-tiba Aisyah kehilangan kalung yang dipinjamnya dari Asma. Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti dan berkenan mencarinya dan orang-orang pun ikut mencarinya. Waktu itu mereka berhenti di tempat yang tidak ada airnya dan mereka juga tidak membawa air.
Akhirnya (saat kalung Aisyah belum juga diemukan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di pangkuan Aisyah radhiallahu ‘anha. Saat itu orang-orang mengeluh kepada Abu Bakar ash-Shidiq, “Tidakkah engkau lihat apa yang dilakukan Aisyah? Ia telah menghentikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang banyak, padahal mereka tidak di tempat yang ada airnya dan tidak membawa air.”
Abu Bakar pun mendatangi Aisyah dan memarahinya. Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan, “Abu Bakar mencercaku dan mengatakan apa yang dikehendaki Allah untuk mengatakannya. Ia pun memukulku dengan keras seraya berkata,’Apa engkau menahan orang-orang ini karena kalung?!’ Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun itu terasa menyakitkanku. Aku tidak dapat berbuat sedikit pun karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di pangkuanku.”
Kemudian tibalah waktu shalat, dan mereka tidak menemukan air. Dalam satu riwayat, para sahabat akhirnya shalat tanpa wudhu. Hal tersebut disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Allah menurukan ayat tayammum (yaitu al-Maa-idah ayat 6). Usaid bin Hudhair berkata kepada Aisyah, “Semoga Allah membalas kebaikan bagimu. Demi Allah, tidaklah engkau mengalami perkara yang tidak engkau sukai, kecuali Allah memberikan untukmu (jalan keluarnya), dan (menjadikan) kebaikan bagi kaum muslimin di dalamnya.” (HR. Bukhari dari beberapa jalan periwayatan)
Dalil Syariat Tayammum
Ada banyak dalil yang menunjukkan disyari’atkannya tayammum. Salah satunya adalah hadits berikut,
Dari Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “(Pada suatu saat) aku junub, lalu tidak mendapatkan air. Kemudian aku berguling-guling di atas permukaan tanah lalu shalat. Setelah itu, ‘kusampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebenarnya cukuplah bagimu hanya (melakukan) begini,” yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menepukkan kedua telapak tangannya pada permukaan tanah, kemudian meniup keduanya, lalui Beliau mengusapkan kedua tangannya pada wajah dan kedua telapak tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Saat-Saat Bolehnya Bertayammum
- Saat tidak mendapatkan air.
Ketika dalam keadaan mukim (tidak berpergian) ataupun bepergian, seseorang boleh bertayammum dengan syarat ia tidak mendapatkan air dan khawatir kehabisan waktu shalat. - Ketika sakit dan sakitnya tersebut menghalangi dirinya untuk menggunakan air. (Namun, bila seseorang sakit, namun tidak berhalangan menggunakan air, maka dia tidak boleh tayammum).
- Saat air yang dimilikinya terbatas dan jika digunakan untuk berwudhu akan membahayakan dirinya (karena bisa mati kehausan).
- Saat terhalang dari mengambil air, misalnya karena ada musuh, pencuri, kebakaran dan semacamnya sehingga jika ia menggunakan air akan membahayakan diri, harta dan kehormatannya.
- Saat mendapatkan air, namun air tersebut sangat dingin dan membahayakan dirinya dan ia tidak dapat memanaskan air tersebut.
- Dalam keadaan junub dan air yang dimilikinya tidak cukup untuk berwudhu atau mandi.
Zat yang Digunakan untuk Tayammum
Imam Syafii, Imam Ahmad dan sebagian madzhab Dzohiri mengharuskan tayammum dengan menggunakan tanah asli yang berdebu. Namun menurut pendapat yang lebih kuat, tayammum boleh menggunakan semua jenis belahan bumi, tidak harus bertayammum dengan tanah asli yang berdebu, bahkan boleh dimana saja sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan tayammum dari dinding. (lihat Ashl Shifat Shalat an-Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 2/784, dikutip dari majalah Al-Furqon).
Hal ini termasuk keistimewaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari rasul lainnya sebagaimana dalam hadits yang dibawakan oleh Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku. Aku diberi kemenangan dengan ditanamkan rasa takut pada diri musuh dalam jarak sebulan perjalanan; seluruh bagian bumi dijadikan tempat sujud dan alat bersuci; siapapun di antara umatku yang menjumpai waktu shallat, maka shalatlah di mana ia berada….” (HR. Bukhari)
Dan dalam ayat Al-Qur’an juga disebutkan, “fatayammamu sha’iidan thayyiban” yang artinya, “Maka bertayammumlah dengan sha’iid yang bersih”. Ibnul Manzhur mengatakan dalam Lisanul Arab bahwa sha’id berarti tanah. Ia juga mengutip perkataan Abu Ishaq yang menyatakan bahwa sha’id adalah permukaan tanah, maka orang yang hendak tayammum cukup menepukkan kedua tangannya pada permukaan tanah dan tidak perlu mempermasalahkan apakah tanah pada permukaan tersebut terdapat debu atau tidak. (lihat Al-Wajiz)
Tata Cara Tayammum
- Niat dalam hati (HR. Bukhari dan Muslim)
- Membaca bismillah (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Imam Ahmad dan lainnya).
- Tepukkan kedua tangan kalian ke tanah yang suci (atau semua jenis belahan bumi) sekali Syaikh al-Bani mengatakan bahwa pada riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya disebutkan secara ringkas bahwa tayammum adalah satu tepukan debu untuk wajah dan kedua telapak tangan.
Tiuplah debu yang ada padanya atau dikibaskan agar debunya berjatuhan. Hal ini dilakukan jika ternyata banyak debu yang menempel di kedua tangan sebagaimana difatwakan oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah.
- Usapkan pada wajah sekali. (lihat artikel wudhu untuk melihat batasan wajah). Kemudian usapkan kedua telapak tangan yang satu dengan telapak tangan lain secara bergantian mulai dari ujung-ujung jari hingga pergelangan tangan. (Poin 3 – 6, HR. Bukhari dan Muslim)
Setelah Mendapatkan Air
Seseorang yang telah mendapatkan air dan tidak terhalang dari menggunakannya, tidak diperbolehkan melakukan tayammum. Namun bila sebelum menemukan air tersebut, ia melakukan tayammum dan shalat dengannya, maka ia tidak perlu mengulangi shalat yang telah dilakukannya meskipun waktu shalat tersebut masih ada. Hal ini sebagaimana dalam hadits yang diceritakan oleh Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
“Pernah ada dua orang bepergian bersama. Ketika dalam perjalanan, datanglah waktu shalat, namun mereka tidak mendapatkan air. Mereka pun tayammum dengan tanah yang suci, lalu shalat. Setelah selesai shalat, mereka mendapatkan air, sedangkan waktu shalat masih ada. Salah seorang dari mereka berwudhu lalu mengulangi shalatnya, sedangkan yang satunya tidak mengulangi shalatnya. Setelah pulang, mereka datang dan menceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kejadian yang mereka alami. Rasulullah berkata kepada yang tidak mengulangi shalatnya, ‘Kamu telah mengikuti sunnah dan shalat yang kamu lakukan telah cukup bagimu.’ Sedangkan kepada yang mengulangi wudhu dan shalatnya beliau berkata, ‘Kamu mendapatkan dua pahala.’” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai, dishahihkan oleh syaikh al-Albani)
Syaikh Ibnu Baz menjelaskan maksud dari hadits ini adalah, orang yang tidak mengulangi shalatnya telah melakukan suatu yang benar karena telah mencukupkan dengan kemampuan yang ada (ketika tidak ada air). Adapun orang yang mengulangi shalatnya melakukan ijtihad. Dan maksud perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mendapat dua pahala adalah pahala dari shalatnya yang pertama dan yang kedua adalah dari ijtihadnya untuk mengulang shalatnya yang ia maksudkan untuk mengikuti sunnah Nabi.
Demikian tata cara tayammum yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
Maraji’:
al-Wajiz, Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Pustaka As-Sunnah, cetakan kedua 2006
Majalah Al-Furqon Edisi 4 Tahun VI Dzul Qo’dah 1427/Desember 2006 (63)
Ringkasan Shahih Bukhari (terj), tahkik syaikh Nashiruddin al-Albani, Pustaka Azzam, cetakan pertama 2002
Thaharah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Tuntunan Bersuci Lengkap, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Media Hidayah
***
Artikel muslimah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar