Jadwal Sholat

Waktu Sholat untuk 6 Juta Kota Sedunia
Country:
Silahkan baca semoga ada manfaatnya, terima kasih. Semoga Bermanfaat

Kamis, 06 Agustus 2009

KEUTAMAAN/FADHILLAH PUASA

Oleh
Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid


Banyak sekali ayat yang tegas dan muhkam (qath'i) dalam Kitabullah yang mulia, memberikan anjuran untuk puasa sebagai sarana untuk taqarrub kepada Allah 'Azza wa Jalla dan juga menjelaskan keutamaan-keutamaannya, seperti firman Allah.

"Sesungguhnya kaum muslimin dan muslimat, kaum mukminin dan mukminat, kaum pria yang patuh dan kaum wanita yang patuh, dan kaum pria serta wanita yang benar (imannya) dan kaum pria serta kaum wanita yang sabar (ketaatannya), dan kaum pria serta wanita yang khusyu', dan kaum pria serta wanita yang bersedekah, dan kaum pria serta wanita yan berpuasa, dan kaum pria dan wanita yang menjaga kehormatannya (syahwat birahinya), dan kaum pria serta wanita yang banyak mengingat Allah, Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar" [A-Ahzab : 35]

Dan firman Allah.

"Dan kalau kalian puasa, itu lebih baik bagi kalian kalau kalian mengetahuinya" [Al-Baqarah : 184]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits yang shahih bahwa puasa adalah benteng dari syahwat, perisai dari neraka. Allah Tabaraka wa Ta'ala telah mengkhususkan satu pintu surga untuk orang yang puasa. Puasa bisa memutuskan jiwa dari syahwatnya, menahannya dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek, hingga jadilah jiwa yang tenang. Inilah pahala yang besar, keutamaan yang agung ; dijelaskan secara rinci dalam hadits-hadits shahih berikut ini, dijelaskan dengan penjelasan yang sempurna.

[1]. Puasa Adalah Perisai [1]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh orang yang sudah kuat syahwatnya dan belum mampu untuk menikah agar berpuasa, menjadikannya sebagai wijaa'[2] bagi syahwat ini, karena puasa menahan kuatnya anggota badan hingga bisa terkontrol, menenangkan seluruh anggota badan, serta seluruh kekuatan (yang jelek) ditahan hingga bisa taat dan dibelenggu dengan belenggu puasa. Telah jelas bahwa puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menjaga anggota badan yang dhahir dan kekuatan bathin. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba'ah[3] hendaklah menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa merupakan wijaa' (pemutus syahwat) baginya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi, dan neraka diliputi dengan syahwat. Jika telah jelas demikian -wahai muslim- sesungguhnya puasa itu menghancurkan syahwat, mematahkan tajamnya syahwat yang bisa mendekatkan seorang hamba ke neraka, puasa menghalangi orang yang puasa dari neraka. Oleh karena itu banyak hadits yang menegaskan bahwa puasa adalah benteng dari neraka, dan perisai yang menghalangi seseorang dari neraka.

Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Tidaklah seorang hamba yang puasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim" [Hadits Riwayat Bukhari 6/35, Muslim 1153 dari Abu Sa'id Al-Khudry, ini adalah lafadz Muslim. Sabda Rasulullah : "70 musim" yakni : perjalanan 70 tahun, demikian dikatakan dalam Fathul Bari 6/48]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Puasa adalah perisai, seorang hamba berperisai dengannya dari api neraka" [Hadits Riwayat Ahmad 3/241, 3/296 dari Jabir, Ahmad 4/22 dan Utsman bin Abil 'Ash. Ini adalah hadits yang shahih]

Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Barangsiapa yang berpuasa sehari di jalan Allah maka di antara dia dan neraka ada parit yang luasnya seperti antara langit dengan bumi" [4]

Sebagian ahlul ilmi telah memahami bahwa hadits-hadits tersebut merupakan penjelasan tentang keutamaan puasa ketika jihad dan berperang di jalan Allah. Namun dhahir hadits ini mencakup semua puasa jika dilakukan dengan ikhlas karena mengharapkan wajah Allah Ta'ala, sesuai dengan apa yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalm termasuk puasa di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits ini).

[2]. Puasa Bisa Memasukkan Hamba Ke Surga

Engkau telah tahu wahai hamba yang taat -mudah-mudahan Allah memberimu taufik untuk mentaati-Nya, menguatkanmu dengan ruh dari-Nya- bahwa puasa menjauhkan orang yang mengamalkannya ke bagian pertengahan surga.

Dari Abu Umamah Radhiyallahu 'anhu katanya, "Aku berkata (kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) :

"Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku suatu amalan yang bisa memasukkanku ke surga.? ; beliau menjawab : "Atasmu puasa, tidak ada (amalan) yang semisal dengan itu" [Hadits Riwayat Nasa'i 4/165, Ibnu Hibban hal. 232 Mawarid, Al-Hakim 1/421, sanadnya Shahih]

[3]. Pahala Orang Puasa Tidak Terbatas *

[4]. Orang Puasa Punya Dua Kegembiraan*

[5]. Bau Mulut Orang Yang Puasa Lebih Wangi dari Baunya Misk*

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Semua amalan bani Adam untuknya kecuali puasa [5] , karena puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya, puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah : 'Aku sedang berpuasa'[6]. Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesunguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada bau misk[7] orang yang puasa mempunyai dua kegembiraan, jika berbuka mereka gembira, jika bertemu Rabbnya mereka gembira karena puasa yang dilakukannya" [Bukhari 4/88, Muslim no. 1151, Lafadz ini bagi Bukhari]

Di dalam riwayat Bukhari (disebutkan).

"Meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena puasa untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya"

Di dalam riwayat Muslim.

"Semua amalan bani Adam akan dilipatgandakan, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya, sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta'ala berfirman : "Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, dia (bani Adam) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku" Bagi orang yang puasa ada dua kegembiraan ; gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang puasa di sisi Allah adalah lebih wangi daripada bau Misk"

[6]. Puasa dan Al-Qur'an Akan Memberi Syafa'at Kepada Ahlinya di hari Kiamat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Puasa dan Al-Qur'an akan memberikan syafaat kepada hamba di hari Kiamat, puasa akan berkata : "Wahai Rabbku, aku akan menghalanginya dari makan dan syahwat, maka berilah dia syafa'at karenaku". Al-Qur'an pun berkata : "Aku telah menghalanginya dari tidur di malam hari, maka berilah dia syafa'at karenaku" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Maka keduanya akan memberi syafa'at" [8]

[7]. Puasa Sebagai Kafarat

Diantara keistimewaan puasa yang tidak ada dalam amalan lain adalah ; Allah menjadikannya sebagai kafarat bagi orang yang memotong rambut kepalanya (ketika haji) karena ada udzur sakit atau penyakit di kepalanya, kaparat bagi yang tidak mampu memberi kurban, kafarat bagi pembunuh orang kafir yang punya perjanjian karena membatalkan sumpah, atau yang membunuh binatang buruan di tanah haram dan sebagai kafarat zhihar. Akan jelas bagimu dalam ayat-ayat berikut ini.

Allah Ta'ala berfirman.

"Dan sempurnkanlah olehmu ibadah haji dan umrah karena Allah ; maka jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka wajib menyembelih kurban yang mudah didapat. Dan janganlah kamu mencukur rambut kepalamu, hingga kurban itu sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada diantaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercu kur), maka wajib atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah di dapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluargannya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya" [Al-Baqarah : 196]

Allah Ta'ala juga berfirman.

"Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" [An-Nisaa' : 92]

"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah kamu yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)" [Al-Maidah : 89]

"Orang-orang yang menzhihar isteri mereka kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih" [Al-Mujaadiliah : 3-4]

Demikian pula, puasa dan shadaqah bisa menghapuskan fitnah seorang pria dari harta, keluarga dan anaknya. Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Fitnah pria dalam keluarga (isteri), harta dan tetangganya, bisa dihapuskan oleh shalat, puasa dan shadaqah" [Hadits Riwayat Bukhari 2/7, Muslim 144]

[8]. Rayyan Bagi Orang yang Puasa

Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (bahwa beliau) bersabda.

"Sesungguhnya dalam surga ada satu pintu yang disebut dengan Rayyan, orang-orang yang puasa akan masuk di hari kiamat nanti dari pintu tersebut, tidak ada orang selain mereka yang memasukinya. Jika telah masuk orang terkahir yang puasa ditutuplah pintu tersebut. Barangsiapa yang masuk akan minum, dan barangsiapa yang minum tidak akan merasa haus untuk selamanya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/95, Muslim 1152, dan tambahan lafadz yang akhir ada pada riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1903]

___________
Foote Note
[1] Pelindung
[2] Maksudnya memutuskan syahwat jiwa
[3] Yang mampu menikah dengan berbagai persiapannya
[4] Dikeluarkan oleh Tirmidzi no. 1624 dari hadits Abi Umamah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan. Al-Walid bin Jamil, dia jujur tetapi sering salah, akan tetapi di dapat diterima. Dan dikeluarkan pula oleh At-Thabrani di dalam Al-Kabir 8/260,274, 280 dari dua jalan dari Al-Qasim dari Abi Umamah. Dan pada bab dari Abi Darda', dikeluarkan oleh Ath-Thabrani di dalam Ash-Shagir 1/273 di dalamnya terdapat kelemahan. Sehingga hadits ini SHAHIH
[5] Yakni : Baginya pahala yang terbatas, kecuali puasa karena pahalanya tidak terbatas.
[6] Dengan ucapan yang terdengar oleh si pencerca atau orang yang mengganggu tersebut, ada yang mengatakan : diucapkan di dalam hatinya agar tidak saling mencela dan saling memerangi. Yang pertama lebih kuat dan lebih jelas, karena ucapan secara mutlak adalah dengan lisan, adapun bisikan jiwa dibatasi oleh sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah : "Sesunguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terbetik dalam hatinya selama belum diucapkan atau diamalkannya" (Muttafaqun 'alaih). Maka jelaslah bahwa ucapan itu mutlak tidak terjadi kecuali oleh ucapan yang dapat dididengar dengan suara yang terucap dan huruf. Walallahu a'lam.
[7] Lihat apa yang telah ditulis oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Wabilu Shayyin minal Kalami At-Thayyib hal.22-38
[8] Diriwayatkan oleh Ahmad 6626, Hakim 1/554, Abu Nu'aim 8/161 dari jalan Huyaiy bin Abdullah dari Abdurrahman Al-hubuli dari Abdullah bin 'Amr, dan sanadnya hasan. Al-Haitsami berkata di dalam Majmu' Zawaid 3/181 setelah menambah penisbatannya kepada Thabrani dalam Al-Kabir : "Dan perawinya adalah perawi shahih"
Faedah : Hadits ini dan yang semisalnya dari hadits-hadits yang telah warid yang menyatakan bahwa amalan itu berjasad, wajib diimani dengan keimanan yang kuat tanpa mentahrif atau mentakwilnya, karena demikianlah manhajnya salafus shalih, dan jalannya mereka tidak diragukan lebih selamat, lebih alim dan bijaksana (tepat).

Cukuplah bagimu bahwa itu adalah salah satu syarat iman. Alla Ta'ala berfirman.
"(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugrahkan kepada mereka" [Al-Baqarah : 3]

_________________
[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]


QADHA BAGI YANG TIDAK BERPUASA BEBERAPA TAHUN RAMADHAN

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana seorang muslim yang tak menjalankan ibadah puasa beberapa bulan Ramadlan dari beberapa tahun padahal dirinya telah wajib, maka mestikah ia qadha jika taubat ..?

Jawaban :
Yang benar, qadha tak wajib baginya bila ia telah bertaubat, sebab setiap ibadah yang sudah tentu waktunya bila sengaja ditangguhkan tanpa alasan yang dibenarkan syara', maka mengqadhanya tak akan diterima Allah. Oleh sebab itu, hendaklah ia bertaubat kepada-Nya dengan cara memperbanyak amal sholeh. Barang siapa bertaubat, niscaya Allah menerimanya.


QADHA BAGI YANG TIDAK BERPUASA BEBERAPA HARI KARENA TIDAK TAHU

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Wajibkah qadha bagi yang tidak berpuasa beberapa hari Ramadlan tanpa alasan yang dibenarkan karena ia buta atas wajibnya berpuasa .? Juga bagaimana hukum berpuasa bukan karena ibadah, tetapi karena ikut-ikut orang berpuasa .?

Jawaban.
Memang ia wajib qadha atas puasa yang ditinggalkannya, sebab ketidaktahuan-nya tidak bisa menggugurkan wajibnya berpuasa, yang gugur hanya dosanya. Ia tak berdosa karena tak berpuasa, tetapi tetap wajib qadha.

Mengenai pertanyaan kedua tentang orang berpuasa karena ikut-ikutan kepada mereka yang berpuasa, maka puasanyat tetap sah, sebab ia memegang niatnya, yakni berbuat seperti apa yang dilakukan kaum muslimin. Kaum muslimin berbuat seperti itu dalam rangka ibadah. Tetapi perlu dijelaskan kepadanya, bahwa puasa itu ibadah. Orang tidak makan, tidak minum dan meninggalkan syahwatnya mesti semata-mata untuk Allah, sebagaimana dikatakan dalam hadits qudsi bahwa yang berpuasa itu telah meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena Aku.


WAJIBKAH QADHA BAGI YANG TIDAK PERNAH PUASA PADAHAL TELAH BERUSIA 27 TAHUN

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya seorang pemuda berusia 27 tahun yang telah jauh tersesat. Sekarang telah benar-benar bertaubat kepada Allah, namun pada saat ini belum sempat berpuasa, apakah saya wajib mengqadhanya ..?

Jawaban.
Seorang lelaki yang mengaku dirinya tersesat dan lalu diberi hidayah oleh Allah, maka kami mohon kepada-Nya, semoga ia diberi keteguhan agar selalu mampu menghadapi hawa nafsu dan syaitan. Hal itu merupakan ni'mat Allah. Tidak ada yang memahami kesesatan selain yang mengalaminya setelah ia mendapatkan hidayah.

Orang tak akan tahu batas keislaman kecuali bila mengetahui batas kekafiran. Kami sampaikan kepada lelaki seperti itu : "Semoga ananda mendapatkan anugrah Allah agar tetap dalam pendirian (istiqamah). Juga kita memohon kepada-Nya agar kita diberi keteguhan dalam menjalankan kebenaran dan ketaatan yang pernah kita tinggalkan ; puasa, shalat, zakat atau lainnya, namun tak perlu diqadha, sebab sudah tertambal taubat. Jika ananda telah bertaubat kepada Allah lalu beramal sholeh, maka cukuplah hal itu sebagai pengganti yang hilang. Hal ini merupakan hal yang perlu diketahui yakni kaidah : "Ibadah yang terikat oleh waktu dilakukan di luar waktunya, maka ibadah tersebut tidak sah, seperti shalat dan puasa".

Jika seseorang sengaja tak akan shalat hingga habis waktunya, lalu ia datang bertanya apakah ia wajib mengqadhanya, tentu kami akan jawab tidak bisa di qadha. Hal ini berlaku pula dalam puasa. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Barang siapa yang beramal tanpa ada perintah kami, maka tertolaklah amalnya".

Jika kamu menangguhkan ibadah yang sudah tentu waktunya, lalu setelah habis waktunya baru dilaksanakan, berarti kamu telah berbuat sesuatu yang tidak dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, batal dan tak bermanfaat. Lain halnya dengan yang lupa, maka ia berhak mengqadhanya, berdasarkan hadits :

"Barang siapa tidur hingga tak shalat atau lupa shalat, hendaklah shalat ketika sadar".

Dengan demikian menurut kami, orang yang beralasan meninggalkan shalat ia berhak atas waktunya bila alasannya telah tiada. Karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Hendaklah shalat ketika sadar kembali". Sedangkan orang yang meninggalkan ibadah dengan sengaja hingga waktunya habis, lalu dilaksanakan bukan pada waktunya, maka tidak akan diterima.


MENANGGUHKAN QADHA HINGGA TIBA RAMADHAN BERIKUTNYA


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana hukum menangguhkan qadha hingga tiba Ramadlan berikutnya ..?

Jawaban.
Menurut para ulama, menangguhkan qadha Ramadlan hingga datang Ramadlan berikutnya tidak boleh. Aisyah berkata : "Aku punya kewajiban puasa Ramadlan hanya mampu dibayar pada bulan Sya'ban". Hal ini menunjukkan bahwa setelah Ramadlan kedua tak ada keringanan lagi. Jika orang berbuat seperti itu, berdosalah ia dan wajib segera membayarnya setelah Ramadlan kedua. Tetapi dalam mengqadhanya ulama berselisih, apakah disamping itu ia wajib mengeluarkan makanan atau tidak .? Maka menurut pendapat yang mashur ia tak wajib mengeluarkannya berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah : 185


QADHA BAGI YANG MENANGGUHKANNYA HINGGA MASUK RAMADHAN KEDUA


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita tak berpuasa beberapa hari pada Ramadlan lalu dibayarkan pada akhir-akhir Sya'ban. Tinggal satu hari lagi yang mesti diqadhanya, ia kedatangan bulannya (haid) hingga memasuki Ramadlan kedua, maka apa yang mesti dilakukannya ..?

Jawaban.
Jika wanita tersebut mengaku dirinya sakit hingga tak mampu qadha atas puasanya, hendaklah ia membayarnya ketika sudah mampu karena beralasan walau telah tiba Ramadlan kedua. Jika tak beralasan, berarti telah menghinakan hukum Allah. Ia tak boleh menangguhkan qadha hingga tiba Ramadlan berikutnya. Aisyah berkata : "Aku punya kewajiban yang baru sempat dibayar pada bulan Sya'ban".

Oleh karena itu, bagi yang menangguhkan qadha tanpa alasan yang dibenarkan, hendaklah menyadari bahwa dirinya berdosa dan wajib bertaubat dengan segera membayar puasa yang menjadi kewajibannya.


PUASA ENAM HARI SYAWAL PADAHAL PUNYA QADHA RAMADHAN


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimanakah kedudukan orang yang berpuasa enam hari di bulan Syawal padahal punya qadha Ramadlan .?

Jawaban.
Dasar puasa enam hari Syawal adalah hadits berikut :

"Barang siapa berpuasa Ramadlan lau mengikutinya dengan enam hari Syawwal, maka ia laksanakan puasa satu tahun".

Jika seseorang punya kewajiban qadha lalu berpuasa enam hari padahal ia punya kewajiban qadha enam hari, maka puasa Syawwalnya tak berpahala, kecuali jika telah mengqadha Ramadlannya.


[Disalin dari buku 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 223-227, terbitan Gema Risalah Press, alih bahas Prof.Drs.KH.Masdar Helmy]

MENYOAL MASALAH ONANI/MASTURBASI DALAM PANDANGAN ISLAM


Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Baz


Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : "Ada seseorang yang berkata ; Apabila seorang lelaki perjaka melakukan onani, apakah hal itu bisa disebut zina dan apa hukumnya ?"

Jawaban.
Ini yang disebut oleh sebagian orang "kebiasaan tersembunyi" dan disebut pula "jildu 'umairah" dan 'istimna" (onani). Jumhur ulama mengharamkannya, dan inilah yang benar, sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika menyebutkan orang-orang Mu'min dan sifat-sifatnya berfirman.

"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki ; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas" [Al-Mu'minun : 5-7]

Al-'Adiy artinya orang yang zhalim yang melanggar aturan-aturan Allah.

Di dalam ayat di atas Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang tidak bersetubuh dengan istrinya dan melakukan onani, maka berarti ia telah melampaui batas ; dan tidak syak lagi bahwa onani itu melanggar batasan Allah.

Maka dari itu, para ulama mengambil kesimpulan dari ayat di atas, bahwa kebiasaan tersembunyi (onani) itu haram hukumnya. Kebiasaan rahasia itu adalah mengeluarkan sperma dengan tangan di saat syahwat bergejolak. Perbuatan ini tidak boleh ia lakukan, karena mengandung banyak bahaya sebagaimana dijelaskan oleh para dokter kesehatan.

Bahkan ada sebagian ulama yang menulis kitab tentang masalah ini, di dalamnya dikumpulkan bahaya-bahaya kebiasan buruk tersebut. Kewajiban anda, wahai penanya, adalah mewaspadainya dan menjauhi kebiasaan buruk itu, karena sangat banyak mengandung bahaya yang sudah tidak diragukan lagi, dan juga betentangan dengan makna yang gamblang dari ayat Al-Qur'an dan menyalahi apa yang dihalalkan oleh Allah bagi hamba-hambaNya.

Maka ia wajib segera meninggalkan dan mewaspadainya. Dan bagi siapa saja yang dorongan syahwatnya terasa makin dahsyat dan merasa khawatir terhadap dirinya (perbuatan yang tercela) hendaknya segera menikah, dan jika belum mampu hendaknya berpuasa, sebagaimana arahan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendakanya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya" [Muttafaq 'Alaih]

Di dalam hadits ini beliau tidak mengatakan : "Barangsiapa yang belum mampu, maka lakukanlah onani, atau hendaklah ia mengeluarkan spermanya", akan tetapi beliau mengatakan : "Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya"

Pada hadits tadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan dua hal, yaitu :

Pertama.
Segera menikah bagi yang mampu.

Kedua.
Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan.

Maka hendaklah anda, wahai pemuda, ber-etika dengan etika agama dan bersungguh-sungguh di dalam berupaya memelihara kehormatan diri anda dengan nikah syar'i sekalipun harus dengan berhutang atau meminjam dana. Insya Allah, Dia akan memberimu kecukupan untuk melunasinya.

Menikah itu merupakan amal shalih dan orang yang menikah pasti mendapat pertolongan, sebagaimana Rasulullah tegaskan di dalam haditsnya.

"Ada tiga orang yang pasti (berhak) mendapat pertolongan Allah Azza wa Jalla : Al-Mukatab (budak yang berupaya memerdekakan diri) yang hendak menunaikan tebusan darinya. Lelaki yang menikah karena ingin menjaga kesucian dan kehormatan dirinya, dan mujahid (pejuang) di jalan Allah" [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi, Nasa'i dan Ibnu Majah]

[Fatawa Syaikh Bin Baz, dimutl di dalam Majalah Al-Buhuts, edisi 26 hal 129-130]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 406-409 Darul Haq]

___________________________________________________

TERJERAT KEBIASAN BERONANI/MASTURBASI

Oleh : Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Saya seorang pelajar muslim (selama ini) saya terjerat oleh kabiasaan onani/masturbasi. Saya diombang-ambingkan oleh dorongan hawa nafsu sampai berlebih-lebihan melakukannya. Akibatnya saya meninggalkan shalat dalam waktu yang lama. Saat ini, saya berusaha sekuat tenaga (untuk menghentikannya). Hanya saja, saya seringkali gagal. Terkadang setelah melakukan shalat witir di malam hari, pada saat tidur saya melakukannya. Apakah shalat yang saya kerjakan itu diterima ? Haruskah saya mengqadha shalat ? Lantas, apa hukum onani ? Perlu diketahui, saya melakukan onani biasanya setelah menonton televisi atau video.

Jawaban
Onani/Masturbasi hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta’ (meraih kesenangan/kenikmatan) dengan cara yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan. Allah tidak membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan seksual kecuali pada istri atau budak wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki” [Al-Mu’minun 5-6]

Jadi, istimta’ apapun yang dilakukan bukan pada istri atau budak perempuan, maka tergolong bentuk kezaliman yang haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi petunjuk kepada para pemuda agar menikah untuk menghilangkan keliaran dan pengaruh negative syahwat.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda.

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya” [1]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kita petunjuk mematahkan (godaan) syahwat dan menjauhkan diri dari bahayanya dengan dua cara : berpuasa untuk yang tidak mampu menikah, dan menikah untuk yang mampu. Petunjuk beliau ini menunjukkan bahwa tidak ada cara ketiga yang para pemuda diperbolehkan menggunakannya untuk menghilangkan (godaan) syahwat. Dengan begitu, maka onani/masturbasi haram hukumnya sehingga tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun menurut jumhur ulama.

Wajib bagi anda untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengulangi kembali perbuatan seperti itu. Begitu pula, anda harus menjauhi hal-hal yang dapat mengobarkan syahwat anda, sebagaimana yang anda sebutkan bahwa anda menonton televisi dan video serta melihat acara-acara yang membangkitkan syahwat. Wajib bagi anda menjauhi acara-acara itu. Jangan memutar video atau televisi yang menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat karena semua itu termasuk sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.

Seorang muslim seyogyanya (senantiasa) menutup pintu-pintu keburukan untuk dirinya dan membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang mendatangkan keburukan dan fitnah pada diri anda, hendaknya anda jauhi. Di antara sarana fitnah yang terbesar adalah film dan drama seri yang menampilkan perempuan-perempuan penggoda dan adegan-adegan yang membakar syahwat. Jadi anda wajib menjauhi semua itu dan memutus jalannya kepada anda.

Adapun tentang mengulangi shalat witir atau nafilah, itu tidak wajib bagi anda. Perbuatan dosa yang anda lakukan itu tidak membatalkan witir yang telah anda kerjakan. Jika anda mengerjakan shalat witir atau nafilah atau tahajjud, kemudian setelah itu anda melakukan onani, maka onani itulah yang diharamkan –anda berdosa karena melakukannya-, sedangkan ibadah yang anda kerjakan tidaklah batal karenanya. Hal itu karena suatu ibadah jika ditunaikan dengan tata cara yang sesuai syari’at, maka tidak akan batal/gugur kecuali oleh syirik atau murtad –kita berlindung kepada Allah dari keduanya-. Adapun dosa-dosa selain keduanya, maka tidak membatalkan amal shalih yang terlah dikerjakan, namun pelakunya tetap berdosa.

[Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilah Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan IV/273-274]

[Disalin dari Majalah Fatawa Volume 11/Th I/14124H-2003. Alamat Redaksi Islamic Center Bin Baz, Karanggayam, Sitimulyo, Piyungan-Bantul, Yogyakarta]

_______________________________________

KEBIAASAN TERSEMBUNYI [ONANI]

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum melakukan kebiasaan tersembunyi (onani) ?

Jawaban
Melakukan kebiasaan tersembunyi (onani), yaitu mengeluarkan mani dengan tangan atau lainnya hukumnya adalah haram berdasarkan dalil Al-Qur'an dan Sunnah serta penelitian yang benar.

Al-Qur'an mengatakan.
"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampui batas" [Al-Mu'minun : 5-7]

Siapa saja mengikuti dorongan syahwatnya bukan pada istrinya atau budaknya, maka ia telah "mencari yang di balik itu", dan berarti ia melanggar batas berdasarkan ayat di atas.

Rasulllah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya"

Pada hadits ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak mampu menikah agar berpuasa. Kalau sekiranya melakukan onani itu boleh, tentu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkannya. Oleh karena beliau tidak menganjurkannya, padahal mudah dilakukan, maka secara pasti dapat diketahui bahwa melakukan onani itu tidak boleh.

Penelitian yang benar pun telah membuktikan banyak bahaya yang timbul akibat kebiasaan tersembunyi itu, sebagaimana telah dijelaskan oleh para dokter. Ada bahayanya yang kembali kepada tubuh dan kepada system reproduksi, kepada fikiran dan juga kepada sikap. Bahkan dapat menghambat pernikahan yang sesungguhnya. Sebab apabila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara seperti itu, maka boleh jadi ia tidak menghiraukan pernikahan.

[As-ilah Muhimmah Ajaba 'Alaiha Ibnu Utsaimin, hal. 9]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]

Bahagia Dengan Husnul Khatimah, Sengsara Dengan Su’ul Khatimah


Keadaan seseorang saat tutup usia memiliki nilai tersendiri, karena balasan baik dan buruk yang akan diterimanya tergantung pada kondisinya saat tutup usia.

Sebagaimana dalam hadits yang shahih:

“Sesungguhnya amalan itu (tergantung) dengan penutupnya.” (HR. Bukhari dan selainnya)

Oleh sebab itulah, seorang hamba Allah yang shalih sangat merisaukannya. Mereka melakukan amal shalih tanpa putus, merendahkan diri kepada Allah agar Allah memberikan kekuatan untuk tetap istiqamah sampai meninggal. Mereka berusaha merealisasikan wasiat Allah Ta’ala, yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan janganlah kalian mati melainkan dalam keadaan muslim (berserah diri).” (QS.Ali Imran:102)

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dalam shahih-nya, dari Abdullah bin ‘Amr bin Ash radhiallahu anhu, dia mengatakan:

“Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: ‘Sesungguhnya kalbu-kalbu keturunan anak Adam berada di antara dua jari dari jari-jari Allah laksana satu hati, Allah membolak-balikkannya sesuai kehendak-Nya,’ kemudian beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berdoa:’Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, palingkanlah hati-hati kami kepada ketaatan-Mu.’”

Itulah pentingnya kondisi tutup usia. Sementara itu, kondisi seseorang pada detik-detik terakhir kehidupan ini, tergantung amal perbuatan pada masa lampau. Barangsiapa yang berbuat baik di saat waktu dan usianya memungkinkan, maka insya Allah akhit hidupnya baik. Dan jika sebaliknya, maka sudah tentu kejelekan yang akan menimpanya. Allah tidak akan pernah mendzaliminya, meskipun sedikit.

Mengingat pentingnya maslah ini dan keharusan memperhatikannya, maka dengan memohon kepada Allah, tulisan ini kami angkat untuk menjadi pengingat kita semua.

Husnul Khatimah

Husnul Khatimah adalah akhir yang baik. Yaitu seorang hamba, sebelum meninggal, ia di beri taufik untuk menjauhi semua yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah Ta’ala. Dia bertaubat dari dosa dan maksiat, serta semangat melakukan ketaatan dan perbuatan-perbuatan baik, hingga akhirnya ia meninggal dalam kondisi ini. Dalil menunjukkan makna ini yaitu hadits shahih dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Apabila Allah menghendaki kebaikan pada hambanya, maka Allah memanfaatkannya”. Para sahabat bertanya, “bagaimana Allah akan memanfaatkannya?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjawab, “Allah akan memberikannya taufik untuk beramal shalih sebelum dia meninggal.” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi dan dishahihkan al Hakim dalam Mustadrak)

Husnul khatimah memiliki beberapa tanda, di antaranya ada yang diketahui oleh hamba yang sedang sakaratul maut, dan ada pula yang diketahui orang lain. Tanda husnul khatimah, yang hanya di ketahui hamba yang menaglaminya, yaitu diterimanya kabar gembira saat sakaratul maut, berupa ridha Allah sebagai anugerah-Nya. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Rabb kami ialah Allah,’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan):’Janganlah kamu merasa takut dan jenganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat:30)

Kabar gembira ini diberikan saat sakaratul maut, dalam kubur dan ketika dibangkitkan dari kubur. Sebagai dalilnya, yaitu sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:

“Barangsiapa yang suka bertemu Allah, maka Allah pun suka untuk bertemu dengannya. Dan barangsiapa tidak suka bertemu dengan Allah, maka Allah pun benci untuk bertemu dengannya”. ‘Aisyah bertanya, “Wahai Nabi Allah! Apakah (yang dimaksud) adalah benci kematian? kita semua benci kematian?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjawab, “Bukan seperti itu. Akan tetapi, seorang mukmin, apabila diberi kabar gembira tentang rahmat dan ridha Allah serta Surga-Nya, maka ia akan suka bertemu Allah. Dan sesungguhnya, orang kafir, apabila diberi kabar tentang adzab Allah dan kemurkaan-Nya, maka ia akan benci untuk bertemu Allah dan Allah pun membenci bertemu dengannya.”

Mengenai makna hadits ini, al Imam al Khatthabi mengatakan: “Maksud dari kecintaan hamba untuk bertemu Allah, yaitu ia lebih mengutamakan akhirat daripada dunia. Karenanya, ia tidak senang tinggal terus menerus di dunia, bahkan siap meninggalkannya. Sedangkan makna kebencian adalah sebaliknya.”

Imam Nawawi berkata, ”Secara syari’at, kecintaan dan kebencian yang diperhitungkan adalah, saat sakaratul maut, saat taubat tidak diterima lagi. Ketika itu, semuanya diperlihatkan bagi yang sedang naza’ (proses pengambilan nyawa), dan akan nampak baginya tempat kembalinya.”

Tanda-tanda Husnul Khatimah

Tanda-tanda husnul khatimah banyak yang telah disimpulkan oelh para ulama dengan penelitian terhadap nash-nash yang terkait. Di sini kami bawakan sebagian tanda-tanda tersebut, di antaranya:

1. Mengucapkan kalimat syahadat saat akan meninggal

Dalilnya adalah hadits riwayat al Hakim dan selainnya, bahwasanya Rasululah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Barangsiapa yang akhir ucapannya Laa ilaaha illallaah, maka ia masuk surga.”

2. Meninggal dengan kening berkeringat

Berdasarkan hadits riwayat Buraidah bin al Hashib radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Kematian seorang mukmin dengan keringat di kening.”

3. Meninggal pada malam Jum’at atau siangnya

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at, melainkan Allah akan menjaganya dari fitnah (siksa) kubur.” (HR.Ahmad dan Tirmidzi)

4. Mati syahid di medan jihad di jalan Allah, atau mati saat menempuh perjalanan untuk peperangan di jalan Allah, mati karena tertimpa sakit tha’un (pes), atau mati karena tenggelam

Dalilnya adalah hadits riwayat Imam Muslim dalam Shaihnya dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, bahwasanya beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Siapakah orang yang syahid menurut kalian?” Para sahabat menjawab,”Orang yang terbunuh di jalan Allah, maka ia syahid.” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda,”Kalau begitu, orang yang mati syahid dari umatku sedikit,” mereka bertanya,”Kalau begitu, siapa wahai Rasulullah?” Beliau Shållallåhu 'alaihi wa sallam menjawab,”Orang yang terbunuh di jalan Allah, ia syahid. Orang yang mati dijalan Allah, maka ia syahid. Orang yang mati karena sakit tha’un, maka ia syahid. Barangsiapa yang mati karena sakit perut, maka ia syahid. Dan orang yang mati tenggelam adalah syahid.”

5. Mati karena tertimpa reruntuhan

Berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau bersabda:

“Orang yang mati syahid ada lima (yaitu): orang yang mati kerkena penyakit tha’un, sakit perut, orang tenggelam, orang yang terkena reruntuhan dan orang yang shahid di jalan Allah.”

6. Meninggal saat nifas, ataupun meninggal saat sedang hamil bagi wanita

Dalilnya, hadits riwayat Imam Ahmad dan selainnya, dengan sanad yang shahih dari ‘Ubadah bin ash Shamit radhiallah anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menyebutkan beberapa syhada’, diantaranya:

“Dan wanita yang dibunuh anaknya (karena melahirkan) masuk golongan syahid, dan anal itu akan menariknya dengan tali pusarnya ke Surga.”

7. Meninggal karena terbakar dan radang selaput dada.

Sebagai dalilnya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah menyebutkan macam-macam orang yang mati syahid, termasuk orang yang mati terbakar. Demikian pula orang yang meninggal lantaran menderita radang sselaput dada, yaitu bengkak yang meradang, nampak pada selaput yang ada di bagian dalam tulang-tulang rusuk. Adapun haditsnya diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya.

8. Mati ketika membela darah, harta, keluarga dan agama

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan an Nasaa-i dan selain keduanya, bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia syahid. Barangsiapa terbunuh karena membela keluarganya, maka ia syahid. Barangsiapa terbunuh karena membela agamanya, maka ia syahid. Dan barangsiapa yang terbunuh karena membela darahnya, maka ia syahid.”

9. Meninggal karena sedang ribath (menjaga wilayah perbatasan) di jalan Allah Ta’ala

Berdasarkan hadits riwayat muslim dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam behwa beliau bersabda:

“Berjaga-jaga sehari-semalam (di daerah perbatasan) lebih baik daripada puasa beserta shalat malamnya selama satu bulan. Seandainya ia meninggal, maka pahala amalnya yang telah ia perbuat akan terus mengalir, dan akan diberikan rizki baginya, dan ia terjaga dari fitnah.”

10. Meninggal dalam keadaan melakukan aml shalih

Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Barngsiapa mengucapkan Laa ilaha illallah karena mencari wajah (pahala) Allah kemudian amalnya ditutup dengannya, maka ia masuk surga. Barangsiapa berpuasa karena mencari wajah Allah kemudian amalnya diakhiri denganya, maka ia masuk surga. Barangsiapa bershadaqah kemudian itu menjadi amalan terakhirnya, maka ia masuk surga.” (HR. Imam Ahmad dan selainnya)

Demikian beberapa tanda husnul khatimah yang telah disimpulkan darin berbagai nash. Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani mengingatkan hal itu di dalam kitab beliau, Ahkamul Janaiz.

Akan tetapi, ketahuilah wahai saudara-saudaraku, bahwa terlihatnya salah satu di antara tanda-tanda itu pada satu mayit, bukan berarti dia pasti menjadi penduduk Surga. Namun diharapkan, itu sebagai pertanda baik baginya. Sebagaimana jika tanda-tanda itu tidak ada pada satu mayit, maka janganlah divonis bahwa seseorang ini tidak baik. Semua ini merupakan masalah ghaib yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala.

Penyebab Husnul Khatimah

1. Faktor terpenting, yaitu kontinyu melakukan ketaatan dan bertakwa kepada Allah. Intinya ialah merealisasikan tauhid, menjauhi hal-hal yang dharamkan, dan segera bertaubat dari perbuatan haram yang melumurinya.

Dan tindakan yang paling diharamkan adalah syirik, baik syirik besar maupun syirik kecil. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. an Nisaa’:48)

2. Hendaknya berdo’a kepada Allah dengan sungguh-sungguh agar diwafatkan dalam keadaan beriman dan bertakwa.

3. Hendaknya mengerahkan segala kemampuan dalam memperbaiki diri, secara lahir dan batinnya, niat dan maksudnya diarahkan untuk memperbaiki diri.

Ketentuan Allah di alam ini telah berlaku. Allah memberikan taufik kepada orang yang mencari kebenaran. Allah akan mengokohkannya di atas al haq serat menutup amalnya dengan al haq itu.

Su'ul Khatimah

Su’ul khatimah (akhir yang buruk) adalah meninggal dalam keadaan berpaling dari Allah, berada di atas murka-Nya serta meninggalkan kewajiban dari Allah. Tidak diragukan lagi, demikian ini akhir kehidupan yang menyedihkan, selalu dikhawatirkan oleh orang-orang yang bertakwa. Semoga Allah menjauhkan kita darinya.

Terkadang nampak pada sebagian orang yang sedang sakaratul maut, tanda-tanda yang mengisyaratkan su’ul khatimah, seperti: menolak mengucapkan syahadat, justru mengucapkan kata-kata jelek dan haram, serta menampakkan kecenderungan padanya dan lain sebagainya. Kami perlu menyebutkan begaina contoh nyata kejadian tersebut.

Kisah yang dibawakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya, al Jawaabul Kaafi, bahwa ada seseorang saat sakaratul maut, dia diingatkan, “Ucapkanlah Laa ilaha illallah.” Lalu orang itu menjawa:”Apa gunanya bagiku, Aku pun tidak pernah mengerjakan shalat karena Allah, meskipun sekali,” akhirnya ia pun tidak mengucapkannya.

Al Hafizh Rajab rahimahullah dalam kitab Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, menukil dari salah satu ulama,’Abdul ‘Aziz bin Abu Rawwad, beliau berkata: “Aku menyaksikan seseorang, yang ketika hendak meninggal di talqin (diajari) Laa ilaha illallah. Akan tetapi, ia mengingkarinya pada akhir ucapannya.”

Kemudian Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bertanya kepadanya tentang orang ini. Ternyata ia seorang pecandu khamr (minuman keras). Selanjutnya Syaikh ‘Abdul Aziz berkata: “Takutlah kalian terhadap perbuatan dosa, karena perbuatan dosa itu yang telah menjerumuskannya.”

Hal serupa juga diceritakan oleh al Hafizh adz Dzahabi rahimahullah, ada seorang yang bergaul dengan pecandu khamr, maka saat ajal akan tiba, dan ada seseorang yang datang untuk mengajarinya syahadat, ia malah mengatakan:”Minumlah dan beri aku minum,” kemudian ia meninggal.

Al ‘Alamah Ibnul Qayyim eahimahullah bercerita mengenai seseorang yang diketahui gemar musik dan mendendangkannya. Tatkala wafat menjemputnya, dia diingatkan, katakanlah : Laa ilaha illallah (tetapi) dia justru mulai mengigau dengan lagu sampai kemudian mati tanpa mengucapkan kalimat tauhid.

Beliau rahimahullah juga berkata:”Sebagian pedagang mengabarkan kepadaku tentang karib kerabatnya yang hampir meninggal, sementara mereka disisinya. Mereka mentalkinkan Laa ilaha illallah, namun ia mengigau “ ini murah, ini barang bagus, ini begini dan begitu,” sampai ia meninggal dan tanpa bisa melafazhkan kalimat tauhid.”

Berikut ini kami bawakan keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah. Komentar ini dibawakan setelah menyebutkan kisah-kisah di atas. Beliau rahimahullah berkata:

“Subhanallah, betapa banyak orang yang menyaksikan ini mendapatkan pelajaran? Apabila seorang hamba, pada saat sadar, kuat, serta memiliki kemampuan, dia bisa dikuasai setan, ditunggangi perbuatan maksiat yang diinginkannya, mampu membuat hatinya lalai dari mengingat Allah Ta’ala, menahan lisannya dari dzikir, dan (begitu pula) anggota badannya dari mentaati-Nya, lalu bagaimana kiranya ketika kekuatannya melemah, hati dan jiwanya kacau karena sakitnya naza’ (tercabutnya nyawa) yang sedang dia alami? Sementera saat itu, setan mengerahkan seluruh kekuatan dan konsentrasinya, dan menghimpun semua kemampuannya untuk mencuri kesempatan. Sesungguhnya ini adalah klimaks. Saat itu, hadir setan yang terkuat, sementara si hamba dalam kondisi paling lemah. Siapakah yang selamat?

Pada kondisi ini, seperti tercantum dalam firman-Nya, yang artinya:

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim:27)

Maka, orang yang dilalaikan hatinya dari mengingat Allah, (selalu) memperturutkan nafsunya dan melampaui batas, bagaimana mungkin diberi petunjuk agar husnul khatimah? Orang yang hatinya jauh dari Allah Ta’ala, lalai dari-Nya, mengagungkan nafsunya, menyerahkan kepada syahwatnya, lisannya kering dari dzikir, serta anggota badannya terhalang dari ketaatan dan sibuk dengan maksiat, maka mustahil diberi petunjuk agar akhir kehidupannya baik (husnul khatimah).

Su'ul Khatimah memiliki dua tingkatan

1. Tingkatan terbesar dan terjelek.

Yaitu orang yang hatinya penuh dengan keraguan dan penentangan saat sakaratul maut, kemudian ia mati dalam keadaan seperti ini, Maka hal ini akan menjadi penghalang antara dia dan Allah.

2. Tingkatan yang lebih rendah.

Yaitu orang yang hatinya cenderung kepada urusan dunia atau keinginan syahwatnya, lalu keinginan ini tergambar di dalam hatinya saat sakaratul maut. Biasanya, seseorang meninggal dalam kondisi yang biasa dia lakoni pada kehidupan nyatanya. Jika jelek, maka akhirnya juga jelek. Semoga Allah melindungi kita dari keduanya.

Sebab-sebab Su'ul Khatimah

Dari uraian ini, maka nampak jelas, bahwa penyebab su’ul khatimah adalah lawan dari penyebab husnul khatimah yang telah disebutkan. Penyebab utamanya adalah kerusakan aqidah. Di antara penyebabnya juga adalah rakus terhadap dunia, mencarinya dengan cara-cara haram, berpaling dari jalan kebaikan, serta terus-menerus melakukan perbuatan maksiat.

Penutup

Semoga Allah menlindungi kita dari su’ul khatimah. Seseorang yang amalan lahirnya baik, serta batinnya juga senantiasa bersama Allah, jujur dalam perkataan dan perbuatan, maka dia tidak akan mengalami su’ul khatimah. Sebaliknya, su’ul khatimah akan dialami oleh orang yang aqidahnya rusak, amalan lahirnya rusak, berani melakukan dosa-dosa besar, bahkan mungkin ia melakukan itu sampai ajal menjemput tanpa sempat bertaubat.

Karena itu, selayaknya bagi orang yang berakal agar mewaspadai ketergantungan hatinya terhadap perbuatan-perbuatan haram, dan mengharuskan hati, lisan serta anggota badannya untuk mengingat Allah dan tetap taat kepada Allah dimanapun berada.

Ya Allah, jadikanlah amal terbaik kami sebagai penutup amal kami. Jadikanlah umur terbaik kami sebagai akhirnya. Dan jadikanlah hari terbaik kami sebagai hari kami menjumpai-Mu

Ya Allah, berilah taufik kepada kami untuk melaksanakan berbagai kebaikan dan menjauhi semua kemungkaran.

Oleh: Khalid bin ‘Abdurrahman asy-Syayi’

Maråji':

Dikutip dari Majalah As Sunnah Edisi 03/X/1427H/2006M

http://abuzubair.wordpress.com/2007/08/07/bahagia-dengan-husnul-khatimah-sengsara-dengan-su%E2%80%99ul-khatimah/

BOLEHKAH HADITS DHA’IF DIAMALKAN DAN DIPAKAI UNTUK FADHAA-ILUL A’MAAL [KEUTAMAAN AMAL] ?


Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Para ulama Ahli Hadits berusaha mengumpulkan dan membukukan hadits-hadits lemah dan palsu dengan tujuan agar kaum Muslimin berhati-hati dalam membawakan hadits yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agar tidak menyebarluaskan hadits-hadits itu hingga orang menyangkanya sebagai sesuatu yang shahih padahal tidak, bahkan ada maudhu’ (palsu). Kendatipun sudah sering dimuat dan dijelaskan tentang kelemahan dan kepalsuan hadits-hadits itu, akan tetapi masih saja kita lihat dan kita dengar para da’i, muballigh, ustadz, ulama, kyai membawakan dan menyampaikan hadits-hadits tersebut, bahkan banyak pula yang ditulis dalam kitab atau majalah, hingga kebanyakan kaum Mus-limin menyangkanya sebagai sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih.

Oleh karena itu, saya awali tulisan ini dengan ancaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang berdusta atas nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian diikuti dengan pendapat-pendapat para ulama tentang penggunaan hadits-hadits dha’if.

ANCAMAN BERDUSTA ATAS NAMA RASULULLAH SHALALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
[1] Barangsiapa berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka.”

Hadits ini berderajat MUTAWATIR, karena menurut penyelidikan hadits ini diriwayatkan lebih dari 60 (enam puluh) orang Shahabat ridhwanullahi ‘alaihim jami’an, di antaranya adalah:
1. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
2. Anas radhiyallahu ‘anhu.
3. Zubair radhiyallahu ‘anhu.
4. ‘Ali radhiyallahu ‘anhu.
5. Jabir radhiyallahu ‘anhuma.
6. Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu.
7. Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu dan lainnya.

Dan hadits di atas pun telah dicatat oleh lebih dari 20 (dua puluh) Ahli Hadits, di antaranya: Imam Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimy, dan lainnya.

Di antara hadits-hadits tersebut adalah:

[2]. Dari ‘Ali, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah j, ‘Janganlah kamu berdusta atas (nama)ku, karena se-sungguhnya barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka pasti ia masuk Neraka.’” [HSR. Ahmad (I/83), al-Bukhari (no. 106), Muslim (I/9) dan at-Tirmidzi (no. 2660)]

[3]. Dari Mughirah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Se-sungguhnya berdusta atas (nama)ku tidaklah sama seperti berdusta atas nama orang lain. Barangsiapa berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka hendak-lah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka.” [ HSR. Al-Bukhari (no. 1291) dan Muslim (I/10), diri-wayatkan pula semakna dengan hadits ini oleh Abu Ya’la (I/414 no. 962), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah dari Sa’id bin Zaid.)]

Maksud berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ialah: “Membuat-buat omongan atau cerita dengan sengaja yang disandarkan atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mengatakan: ‘Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda atau mengerjakan begini dan tidak mengerjakan hal yang demikian.’”

Orang yang berdusta dengan sengaja atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan masuk api Neraka.

Oleh karena itu, wajib atas kaum Muslimin untuk ber-hati-hati jangan sampai terjatuh dalam dusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para ulama telah sepakat tentang haramnya memba-wakan hadits-hadits maudhu’ (palsu), yakni hadits yang dibuat orang atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan sengaja maupun tidak sengaja. Bolehnya mem-bawakan hadits maudhu’ itu hanya ketika menerangkan kepalsuannya kepada ummat, agar ummat selamat dari berdusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

HADITS DHAIF (LEMAH)
Hadits dha’if itu ada dua macam:

a. Hadits yang sangat dha’if.
b. Hadits yang tidak terlalu dha’if.

Tidak ada perselisihan di antara para ulama dalam menolak hadits yang terlalu dha’if. Hanya ada perselisihan di antara ulama tentang membawakan/memakai hadits yang tidak terlalu dha’if untuk:

1. Fadhaa-ilul A’maal (keutamaan amal), maksudnya hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan- keuta-maan amal.
2. At-Targhiib (memotivasi), yakni hadits-hadits yang berisi pemberian semangat untuk mengerjakan suatu amal dengan janji pahala dan Surga.
3. At-Tarhiib (menakuti), yakni hadits-hadits yang berisi ancaman Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang yang mengerjakan suatu perbuatan.
4. Kisah-kisah tentang para Nabi ‘alaihimush Shalatu wa sallam dan orang-orang shalih.
5. Do’a dan dzikir, yaitu hadits-hadits yang berisi lafazh-lafazh do’a dan dzikir.

ANCAMAN BAGI ORANG YANG MEMBAWAKAN HADITS DHAIF

Para ulama yang masih membawakan hadits-hadits dha’if dan menyandarkannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tergolong sebagai pendusta, kecuali apabila mereka tidak tahu.

Tentang masalah ini, Syaikh Abu Syammah berkata: “Perbuatan ulama yang membawakan hadits-hadits dha’if adalah suatu kesalahan yang nyata bagi orang-orang yang mengerti hadits, ulama’-ulama’ ushul dan pakar-pakar fiqih, bahkan wajib atas mereka untuk menerangkannya jika ia mampu. Jika ulama’ tidak mampu menerangkan-nya, maka ia termasuk orang-orang yang diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya:

[4]. Dari Samurah, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Barangsiapa yang menyam-paikan hadits dariku, dia tahu bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah seorang pendusta.’” [HR. Muslim (I/9).]

Syaikh Abu Syammah berpendapat bahwa tidak boleh menyebutkan suatu hadits dha’if melainkan ia wajib me-nerangkan kelemahannya. [Lihat al-Baits ‘ala Inkari Bida’ wal Hawadits (hal. 54) dan Tamaamul Minnah fiit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah hal. 32-33.]

Penjelasan:
Menurut hadits di atas seorang dianggap dusta apa-bila ia membawakan hadits-hadits yang diketahuinya dusta (tidak benar).

Ada dua golongan ulama yang terkena ancaman hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, yaitu: Ulama yang tahu ke-dha’if-an hadits dan yang tidak tahu. Dalam masalah ini ada dua hukum:

Pertama : jika ulama, ustadz atau kyai tersebut tahu tentang lemahnya hadits-hadits yang dibawakan itu, te-tapi ia tidak menerangkan kelemahannya, maka ia ter-masuk pendusta (curang) terhadap kaum Muslimin dan termasuk yang diancam oleh hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.

Imam Ibnu Hibban berkata: “Di dalam kabar ini (hadits Samurah di atas), ada dalil yang menunjukkan bahwa seseorang yang menyampaikan hadits atau meriwayat-kannya yang tidak sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu menyampaikan atau meriwayatkan hadits yang lemah atau yang diada-adakan oleh manusia sedang dia tahu bahwa itu dusta, maka dia termasuk pendusta, hal ini lebih keras lagi apabila ulama (ustadz, kyai-pent) tersebut yakin bahwa itu dusta tapi masih disampaikan juga. Hadits ini juga terkena kepada orang yang masih meragukan ke-shahih-an atau kelemahan apa-apa yang ia sampaikan atau riwayatkan.” [Lihat adh-Dhua’faa oleh Ibnu Hibban (I/7-8).]

Imam Ibnu Abdil Hadi menukil perkataan Ibnu Hibban ini dalam kitab ash-Sharimul Mankiy (hal. 165-166) dan beliau menyetujuinya.

Kedua : jika si ulama, ustadz atau kyai tidak mengetahui kelemahan hadits (riwayat), tetapi dia masih menyampai-kan (meriwayatkan) juga, maka dia termasuk orang-orang yang berdosa, karena dia telah berani menisbatkan (me-nyandarkan) hadits atau riwayat kepada Nabi j tanpa ia mengetahui sumber hadits (riwayat) itu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
[5]. Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Telah bersabda Ra-sulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Cukuplah seo-rang dikatakan berdusta apabila ia menyampaikan tiap-tiap apa yang ia dengar.’” [HSR. Muslim (I/10).]

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mem-punyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-an jawabnya.” [Al-Israa’: 36]

Imam Ibnu Hibban berkata dalam kitab adh- Dhu’afa’ (I/9): “Di dalam hadits ini (no. 5) ada ancaman bagi se-seorang yang menyampaikan setiap apa yang dia dengar sehingga ia tahu dengan seyakin-yakinnya bahwa hadits atau riwayat itu shahih.” [Lihat Tamaamul Minnah fii Ta’liq ‘alaa Fiqhis Sunnah hal. 33.]

Imam an-Nawawi pernah berkata: “Bahwa tidak halal berhujjah bagi orang yang mengerti hadits hingga ia tidak tahu, dia harus bertanya kepada orang yang ahli.” [Lihat Qawaaidut Tahdits min Fununi Musthalahil Hadits hal. 115 oleh Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, tahqiq dan ta’liq Muhammad Bahjah al-Baithar]

PENDAPAT BEBERAPA ULAMA TENTANG HADITS-HADITS DHAIF UNTUK FADHAAILUL A'MAAL [KEUTAMAAN AMAL]
Di kalangan ulama, ustadz dan kyai sudah tersebar bahwa hadits-hadits dha’if boleh dipakai untuk fadhaa-ilul a’maal. Mereka menyangka tentang bolehnya itu tidak ada khilaf di antara ulama. Mereka berpegang kepada perka-taan Imam an-Nawawi yang menyatakan bahwa bolehnya hal itu sudah disepakati oleh ahli ilmu.

Apa yang dinyatakan Imam an-Nawawi rahimahullah tentang adanya kesepakatan ulama yang membolehkan memakai hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal ini merupakan satu kekeliruan yang nyata. Sebab, ada ulama yang tidak sepakat dan tidak setuju digunakannya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal. Ada beberapa pakar hadits dan ulama-ulama ahli tahqiq yang berpendapat bahwa hadits dha’if tidak boleh dipakai secara mutlak, baik hal itu dalam masalah ahkam (hukum-hukum) maupun fadha-il.

[a]. Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi menyebutkan dalam kitabnya, Qawaaidut Tahdits: “Hadits-hadits dha’if tidak bisa dipakai secara mutlak untuk ahkaam maupun untuk fadhaa-ilul a’maal, hal ini disebutkan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam kitabnya, ‘Uyunul Atsar, dari Yahya bin Ma’in dan disebutkan juga di dalam kitab Fat-hul Mughits. Ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar Ibnul Araby, Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan Imam Ibnu Hazm. [Qawaaidut Tahdits min Fununi Musthalahil Hadits, hal. 113, tahqiq: Muhammad Bahjah al-Baithar]

[b]. Menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany rahimahullah (Ahli Hadits zaman sekarang ini), ia berpendapat: “Pendapat Imam al-Bukhari inilah yang benar dan aku tidak meragukan tentang kebenarannya.” [Tamaamul Minnah fii Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah hal. 34, cet. Daarur Rayah, th. 1409 H]

Menurut para ulama, hadits dha’if tidak boleh diamalkan, karena:

Pertama.
Hadits dha’if hanyalah mendatangkan sangkaan yang sangat lemah, orang mengamalkan sesuatu dengan prasangka, bukan sesuatu yang pasti diyakini.
Firman Allah:

“Sesungguhnya sangka-sangka itu sedikit pun tidak bisa mengalahkan kebenaran.” [Yunus: 36]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"AJöauhkanlah dirimu dari sangka-sangka, karena sesungguhnya sangka-sangka itu sedusta-dusta perkataan.” [HR. Al-Bukhari (no. 5143, 6066) dan Muslim (no. 2563) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Kedua.
Kata-kata fadhaa-ilul a’maal menunjukkan bahwa amal-amal tersebut harus sudah ada nashnya yang shahih. Adapun hadits dha’if itu sekedar penambah semangat (targhib), atau untuk mengancam (tarhiib) dari amalan yang sudah diperintahkan atau dilarang dalam hadits atau riwayat yang shahih.

Ketiga.
Hadits dha’if itu masih meragukan, apakah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau bukan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu (menuju) kepada yang tidak meragukan.” [HR. Ahmad (I/200), at-Tirmidzi (no. 2518) dan an-Nasa-i (VIII/327-328), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (no. 2708, 2711), dan at-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”]

Keempat.
Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang perkataan Imam Ahmad, “Apabila kami meriwayatkan masalah yang halal dan haram, kami sangat keras (harus hadits yang shahih), tetapi apabila kami meriwayatkan masalah fadhaa-il, targhiib wat tarhiib, kami tasaahul (bermudah-mudah).” Kata Syaikhul Islam: “Maksud perkataan ini bukanlah menyunnahkan suatu amalan dengan hadits dha’if yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, karena masalah sunnah adalah masalah syar’i, maka yang harus dipakai pun haruslah dalil syar’i. Barangsiapa yang mengabarkan bahwa Allah cinta pada suatu amalan, tetapi dia tidak bawakan dalil syar’i (hadits yang shahih), maka sesungguhnya dia telah mengadakan syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah, sebagaimana dia menetapkan hukum wajib dan haram.[ Majmuu’ Fataawaa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XVIII/65).]

Kelima.
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menerangkan tentang maksud perkataan Imam Ahmad, Abdurahman bin Mahdi dan ‘Abdullah Ibnul Mubarak tersebut, beliau berkata, “Bahwa yang dimaksud tasaahul (bermudah-mudah) di sini ialah mereka mengambil hadits-hadits hasan yang tidak sampai ke derajat shahih untuk masalah fadhaa-il. Karena istilah untuk membedakan antara hadits shahih dengan hadits hasan belum terkenal pada masa itu. Bahkan kebanyakan dari ulama mutaqadimin (ulama terdahulu) hanyalah membagi derajat hadits itu kepada shahih atau dha’if saja. (Sedang yang dimaksud dha’if itu sebagiannya adalah hadits hasan yang bisa dipakai untuk fadhaa-ilul a’maal-pen). [Baaitsul Hatsits Syarah Ikhtishaar Uluumil Hadiits, oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (hal 87), cet. III Maktabah Daarut Turats, th. 1979 M/1399 H atau cet. I Daarul ‘Ashimah, ta’liq: Syaikh al-Albany]

Sebagai tambahan dan penguat pendapat ulama yang tidak membolehkan dipakainya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal. Saya bawakan pendapat Dr. Subhi Shalih, ia berkata: “Menurut pendapat agama yang tidak diragukan lagi bahwa riwayat lemah tidak mungkin untuk dijadikan sumber dalam masalah ahkam syar’i dan tidak juga untuk fadhilah akhlaq (targhib wat tarhib), karena sesungguhnya zhan atau persangkaan tidak bisa mengalahkan yang haq sedikit pun. Dalam masalah fadhaa'il sama seperti ahkam, ia termasuk pondasi agama yang pokok, dan tidak boleh sama sekali bangunan pondasi ini lemah yang berada di tepi jurang yang dalam. Oleh karena itu, kita tidak bisa selamat bila kita meriwayatkan hadits-hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal, meskipun sudah disebutkan syarat-syaratnya.” [ Lihat Uluumul Hadiits wa Musthalaahuhu (hal. 211), oleh Dr. Subhi Shalih, cet. 1982 M]

SYARAT-SYARAT DITERIMANYA HADITS DHA'IF UNTUK FADHAA-ILUL A'MAAL
Di atas sudah saya kemukakan bahwa pendapat yang terkuat adalah pendapat Imam al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazm tentang tidak diterimanya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal. Akan tetapi tentunya sejak dulu sampai hari ini masih saja ada ulama yang memakainya. Oleh karena itu, saya bawakan pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany tentang syarat-syarat diterimanya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal, beliau berkata: “Sudah masyhur di kalangan ulama bahwa ada di antara mereka orang-orang yang tasaahul (bermudah-mudah/menggampang-gampangkan) dalam membawakan hadits-hadits fadhaa-il kendatipun banyak di antaranya yang dha’if bahkan ada yang maudhu’ (palsu). Oleh karena itu wajiblah atas ulama untuk mengetahui syarat-syarat dibolehkannya beramal dengan hadits dha’if, yaitu ia (ulama) harus meyakini bahwa itu dha’if dan tidak boleh dimasyhurkan agar orang tidak mengamalkannya yakni tidak menjadikan hadits dha’if itu syari’at atau mungkin akan disangka oleh orang-orang jahil bahwa hadits dha’if itu mempunyai Sunnah (untuk diamalkan).” [Tamaamul Minnah hal. 36.]

Syaikh Muhammad bin Abdis Salam telah menjelaskan hal ini dan hendaklah seseorang berhati-hati terkena ancaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits Samurah di atas). Bila sudah ada ancaman ini bagaimana mungkin kita akan mengamalkan hadits dha’if?

Dalam hal ini (ancaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) terkena bagi orang yang mengamalkan hadits dha’if dalam masalah ahkam (hukum-hukum) ataupun fadhaa-ilul a’maal, karena semua ini termasuk syari’at. [Tabyiinul A’jab (hal. 3-4) dinukil oleh Syaikh al-Albany dalam Tamamul Minnah (hal. 36)]

Al-Hafizh as-Sakhawy, murid al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany t, beliau berkata: “Aku sering mendengar syaikhku (Ibnu Hajar) berkata: “Syarat-syarat bolehnya beramal dengan hadits dha’if:

[1]. Hadits itu tidak sangat lemah. Maksudnya, tidak boleh ada rawi pendusta, atau dituduh berdusta atau hal-hal yang sangat berat kekeliruannya.
[2]. Tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
[3]. Tidak boleh hadits itu dimasyhurkan, yang akan ber-akibat orang menyandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa-apa yang tidak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan.”

Imam as-Sakhawi berkata: “Syarat-syarat kedua dan ketiga dari Ibnu Abdis Salam dan dari shahabatnya Ibnu Daqiqiil ‘Ied.”

Imam ‘Alaiy berkata: “Syarat pertama sudah disepakati oleh para ulama hadits.” [ Lihat al-Qaulu Badi’ fii Fadhlish Shalah ‘alal Habibisy Syafi’i (hal. 255), oleh al-Hafizh as-Sakhawi, cet. Daarul Bayan Lit Turats]

Bila kita perhatikan syarat pertama saja, maka kewa-jiban bagi ulama dan orang yang mengerti hadits, untuk menjelaskan kepada ummat Islam dua hal yang penting:

Pertama.
Mereka harus dapat membedakan hadits-hadits dha’if dan yang shahih agar orang-orang yang menga-malkannya tidak meyakini bahwa itu shahih, hingga mereka tidak terjatuh ke dalam bahaya dusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua.
Mereka harus dapat membedakan hadits-hadits yang sangat lemah dengan hadits-hadits yang tidak sangat lemah.

Bagi para ulama, ustadz, dan kyai yang masih bersikeras bertahan untuk tetap memakai hadits-hadits dha’if untuk fadhaaa-ilul a’maal, saya ingin ajukan pertanyaan untuk mereka: “Sanggupkah mereka memenuhi syarat pertama, kedua dan ketiga itu?” Bila tidak, jangan mereka mengamalkannya. Kemudian apa sulitnya bagi mereka untuk mengambil dan membawakan hadits-hadits yang shahih saja yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya. Apalagi sekarang -alhamdulillah- Allah sudah mudahkan adanya kitab-kitab hadits yang sudah dipilah-pilah antara yang shahih dan yang dha’if. Dan kita berusaha untuk memiliki kitab-kitab itu, sehingga dapat membaca, memahami, mengamalkan dan menyampaikan yang benar kepada ummat Islam.

TIDAK BOLEH MENGATAKAN HADITS DHA'IF DENGAN LAFAZH JAZM [LAFAZH YANG MEMASTIKAN ATAU MENETAPKAN]
[a]. Ada (lafazh yang digunakan dalam menyampaikan (meriwayatkan) hadits
menurut pendapat Ibnush Shalah

Apabila orang menyampaikan (meriwayatkan) hadits dha’if, maka tidak boleh anda berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”

Atau lafazh jazm yang lain, yakni lafazh yang memastikan atau menetapkan, seperti: "Fa'ala, rawaya, qola".

Boleh membawakan hadits dha’if itu dengan lafazh: “Telah diriwayatkan atau telah sampai kepada kami be-gini dan begitu.”

Demikianlah seterusnya hukum hadits-hadits yang masih diragukan tentang shahih dan dha’ifnya. Tidak boleh kita berkata atau menulis: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

[b]. Pendapat Imam an-Nawawi rahimahullah
Telah berkata para ulama ahli tahqiq dari pakar-pakar hadits, “Apabila hadits-hadits itu dha’if tidak boleh kita katakan:

“Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” atau:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengerjakan,” atau:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan,” atau:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang,” atau:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukum.”

Dan lafazh-lafazh lain dari jenis lafazh jazm (pasti atau menetapkan).

Tidak boleh juga mengatakan:
“Telah meriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.” atau:
“Telah menyebutkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.”

Dan yang seperti itu dari shighat-shighat (bentuk-bentuk) jazm. Tidak boleh juga menyebutkan riwayat yang lemah dari tabi’in dan orang-orang yang sesudahnya dengan shighat-shighat jazm.

Seharusnya kita mengatakan hadits atau riwayat lemah dan hadits atau riwayat yang tidak kita ketahui derajat-nya dengan perkataan:

"Telah diriwayatkan.
"Telah dinukil darinya.
"Telah disebutkan.
"Telah diceritakan.

Dan yang seperti itu disebut shighat tamridh (bentuk lafazh yang berarti ada penyakitnya), dan tidak boleh dengan shighat jazm.

PERKATAAN PARA ULAMA AHLI HADITS
Shighat jazm seperti: "qola, rawaya"ó dan lainnya hanya digunakan untuk hadits-hadits shahih dan hasan saja. Sedangkan shighat-shighat tamridh, seperti: "ruwiya", atau "dukira"ó dan lainnya digunakan selain itu. Karena shighat jazm berarti menun-jukkan akan sahnya suatu khabar (berita) yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab itu tidak boleh dimutlakkan.

Jadi, bila ada ulama yang masih menggunakan shighat (lafazh) jazm untuk berita yang belum jelas, berarti ia telah berdusta atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adab meriwayatkan ini banyak dilanggar oleh para penulis kitab-kitab fiqh dan juga jumhur Fuqahaa’ dari madzhab Syafi’i, bahkan dilanggar pula oleh jumhur ahli ilmu, kecuali sebagian kecil dari ahli ilmu dari para Ahli Hadits yang mahir.

Perbuatan tasaahul (menggampang-gampangkan) dalam masalah yang hadits merupakan perbuatan yang jelek. Kebanyakan dari mereka menyebutkan hadits shahih dengan shighat tamridh:

“Diriwayatkan darinya.”

Sedangkan dalam menyebutkan hadits dha’if, maka mereka menyebutkan dengan shighat yang jazm: "rawaya fulanun" atau qola".

Hal ini sebenarnya telah menyimpang dari kebenaran yang telah disepakati oleh Ahli Hadits. [Lihat al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzhab, oleh Imam an-Nawawi (I/63), cet. Daarul Fikr.]

WAJIB MENJELASKAN HADITS-HADITS DHAI'F KEPADA UMAT ISLAM
[a]. Perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany rahimahullah
Ada yang perlu saya tambahkan dari perkataan Imam an-Nawawy di atas tentang penggunaan lafazh tamridh:"ruwiya, yuhkay, dzukira" dan yang seperti itu untuk hadits dha’if.

Zaman sekarang ini penggunaan lafazh-lafazh itu tidak-lah mencukupi, karena ummat Islam banyak yang tidak mengetahui hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan tidak faham pula kitab-kitab hadits sehu-bungan dengan masalah itu dan tidak mengerti pula apa maksud perkataan khatib di mimbar mengucapkan: “Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Bahwa yang dimaksud khatib yaitu hadits itu dha’if, sedangkan mereka banyak yang tidak faham. Maka, wa-jib bagi ulama untuk menjelaskan hal yang demikian itu sebagaimana yang disebutkan oleh Atsar dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata:

“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa-apa yang mereka ketahui, apakah kamu suka mereka itu dusta atas nama Allah dan Rasul-Nya?!” [HR. Al-Bukhari, Fat-hul Bari (I/225), lihat Shahih Targhib wat Tarhiib (hal. 52), cet. Maktabah al-Ma’arif th. 1421 dan Tamaamul Minnah (hal. 39-40) oleh Syaikh Mu-hammad Nashiruddin al-Albany]

[b]. Perkataan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir
Aku berpendapat (sekarang ini) wajib menerangkan hadits-hadits yang dha’if di dalam setiap keadaan (dan setiap waktu), karena bila tidak diterangkan kepada ummat Islam tentang hadits-hadits dha’if, maka orang yang mem-baca kitab (atau mendengarkan) akan menyangka bahwa hadits itu shahih, lebih-lebih bila yang menukilnya atau menyampaikannya itu dari kalangan ulama Ahli Hadits. Hal tersebut karena ummat Islam yang awam menjadikan kitab dan ucapan ulama itu sebagai pegangan bagi mereka. Kita wajib menerangkan hadits-hadits dha’if dan tidak boleh mengamalkannya baik dalam ahkam maupun dalam masalah fadhaa-ilul a’maal dan lain-lainnya. Tidak boleh bagi siapa pun berhujjah (berdalil) melainkan dengan apa-apa yang sah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits-hadits shahih atau hasan. [Lihat al-Ba’itsul Hadits Syarah Ikhtishar ‘Uluumil Hadits oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (hal. 76), cet. Maktabah Daarut Turats th. 1399 H atau I/278, ta’liq: Syaikh Imam al-Albany cet. I Daarul ‘Ashimah th. 1415 H]

AKIBAT TASAAHUL DALAM MERIWAYATKAN HADITS DHAIF
Tasaahul (bermudah-mudah)nya para ulama, ustadz, kyai, dalam menulis dan menyampaikan hadits dha’if tanpa disertai keterangan tentang kelemahannya merupakan faktor penyebab yang terkuat yang mendorong ummat Islam melakukan bid’ah-bid’ah di dalam agama dan ke-banyakan dalam masalah-masalah ibadah. Umumnya ummat Islam menjadikan pokok pegangan mereka dalam masalah ibadah dari hadits-hadits lemah dan bathil bahkan maudhu’ (palsu), seperti melaksanakan shalat dan puasa Raghaa-ib di awal bulan Rajab, malam pertengahan (nisfu Sya’ban), berpuasa di siang harinya, mengadakan perayaan maulud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Diba’an, baca Barzanji, Yasinan, malam Isra’ Mi’raj dan lain-lain. Akibat tasaahul-nya para ulama, ustadz dan kyai, maka banyak dari ummat Islam yang masih mempertahankan bid’ah-bid’ah itu dan menghidup-hidupkannya. Berarti ada dua bahaya besar yang akan menimpa ummat Islam dengan membawakan hadits-hadits dha’if:

Pertama.
Terkena ancaman berdusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diancam masuk Neraka.

Kedua
Timbulnya bid’ah yang berakibat sesat dan di-ancam masuk Neraka, na’udzubillah min dzaalik.

"Tiap-tiap bid’ah itu sesat dan tiap-tiap kesesatan di Neraka.” [Hadits shahih riwayat an-Nasa-i (III/189), lihat Shahih Sunan Nasa-i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51)]

KHATIMAH / PENUTUP
Mudah-mudahan kita terpelihara dari berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari me-lakukan bid’ah yang telah membuat ummat mundur, terbelakang, berpecah belah dan jauh dari petunjuk al-Qur-an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Keadaan seperti merupakan kendala bangkitnya ummat Islam.

Wallaahu a’laam bish Shawaab.
________
MARAAJI’
1. Shahih al-Bukhari.
2. Fat-hul Baari Syarah Shahiihil Bukhary, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar as-Asqalany.
3. Shahih Muslim.
4. Syarah Shahih Muslim, oleh Imam an-Nawawy.
5. Sunan Abi Dawud.
6. Sunan an-Nasa-i.
7. Sunan Ibnu Majah.
8. Jaami’ at-Tirmidzi.
9. Musnad Imam Ahmad.
10. Al-Jarh wat Ta’dil, oleh Ibnu Abi Hatim.
11. Majmu’ Fataawaa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
12. Manaarul Munif fis Shahih wad Dha’if, oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
13. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzhab, oleh Imam Nawawy.
14. Lisanul Mizaan, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany.
15. Al-Qaulul Badi’ fii Fadhilas Shalah ‘ala Habibisy Syafi’i, oleh al-Hafizh as-Sakhawy.
16. Tanzihusy Syari’ah al-Marfu’ah, oleh Ibnu ‘Araq.
17. Ad-Dhu’afa Ibnu Hibban.
18. Qawa’idut Tahdits, oleh Jamaluddin al-Qasimy.
19. Al-Ba’itsul Hatsits fii Ikhtishaari ‘Uluumil Hadiits, oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir.
20. Silsilah Ahaadits ad-Dha’ifah wal Maudhu’ah, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany.
21. Dha’iif Jami’ush Shaghiir, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany.
22. Shahiih Jami’ush Shaghiir oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany.
23. Tamaamul Minnah fii Takhriji Fiqhis Sunnah, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany.
24. Shahiih at-Targhib wat Tarhiib oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany.
25. ‘Uluumil Hadits wa Musthalahuhu oleh Dr. Subhi Shalih.
26. Al-Adzkaar, oleh Imam an-Nawawy.

_______________________________________
[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]

BOLEHKAH BERBOHONG?


(Oleh: Ustadz Abu Abdillah al-Atsari)

DEFINISI BOHONG

Raghib al-Ashfahani berkata
"Asal jujur dan bohong adalah dalam perkataan, baik itu pada perkara yang telah lampau, akan datang, atau berupa sebuah janji. Dinamakan bohong karena ucapannya menyelisihi apa yang ada di dalam hatinya." (Fathul Bari, 10/623).

Berkata Imam Nawawi:
"Ketahuilah, madzhab Ahlus Sunnah berkata bahwa bohong adalah mengabarkan sesuatu yang menyelisihi kenyataannya, sama saja engkau sengaja atau tidak sengaja. Orang yang berbohong dengan tidak sengaja, maka tidak ada dosanya, akan tetapi ia akan berdosa apabila melakukannya dengan sengaja." (Al-Adzkar, hal. 326, lihat pula Al-Adab asy-Syar'iyah, 1/53).

HUKUM BERBOHONG

Ketahuilah, dalil-dalil dari Kitab dan Sunnah yang menegaskan haramnya berbohong secara umum sangat banyak. Bohong termasuk dosa yang jelek dan aib yang tercela. Umat ini telah sepakat akan keharaman berbohong, ditambah lagi dengan adanya dalil-dalil yang sangat banyak dalam masalah ini. (Al-Adzkar, hal. 324).

CELAAN ORANG YANG BERBOHONG

1. Tidak mengindahkan Perintah Allah

Allah memerintahkan seluruh hamba-Nya agar tidak mengikuti sesuatu yang tidak ada ilmunya. Orang yang berbohong berarti telah memperturutkan hawa nafsu untuk mengikuti apa yang tidak dia ketahui, dan hal ini terlarang dengan tegas sebagaimana dalam firman-Nya:

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (Al Israa': 36)

Imam asy-Syinqithi berkata:
"Allah melarang dalam ayat yang mulia ini agar manusia tidak mengikuti apa yang dia tidak mempunyai pengetahuan di dalamnya. Termasuk di dalam hal ini adalah perkataan orang yang berkata: 'Saya telah melihat', padahal dia belum melihatnya. 'Saya telah mendengar', padahal dia belum mendengarnya. 'Aku tahu', padahal dia tidak mengetahuinya. Demikian pula orang yang berkata tanpa ilmu dan orang yang mengerjakan amalan tanpa ilmu, tercakup pula dalam ayat ini." (Adhwa'ul Bayan, 3/145)

2. Perintah berbuat jujur, larangan akan kebalikannya

Apabila Allah memerintahkan sesuatu, maka mengandung konsekuensi larangan akan kebalikannya. Perintah berbuat jujur, berarti larangan berbohong. Perhatikanlah fiman Allah berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar." (At-Taubah: 119)

Syaikh Abdurrahman as-Sa'di berkata:
"Firman-Nya 'Dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar', yaitu di dalam perkataan, perbuatan, dan dalam keadaan mereka. Ucapan yang terlontar dari mereka benar dan jujur, tiadalah perbuatan dan keadaan mereka kecuali benar, jauh dari rasa malas, selamat dari maksud jahat, berupaya ikhlas dan niat yang shalih. Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan ke dalam surga." (Taisir Karimir Rahman, hal. 312).

Demikian pula Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda memuji sifat jujur dan mencela sifat bohong. Cermatilah hadits berikut ini:
Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan ke dalam surga. Tidaklah seseorang berbuat jujur hingga Allah mencatatnya sebagai orang yang selalu jujur. Dan berbohong itu membawa kepada kejelekan, dan kejelekan itu menghantarkan ke dalam neraka. Sungguh seseorang terbiasa bohong hingga Allah mencatatnya sebagai seorang pembohong." (HR. Bukhari no. 6094, Muslim no. 2607)

3. Petaka lisan

Kata orang, lisan adalah daging tak bertulang, apabila manusia tidak menjaga lisannya, maka kebinasaanlah yang ia dapat. Ingatlah selalu, tidak ada satu ucapan pun yang keluar dari mulut kita, kecuali ada malaikat yang mencatat. Allah berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

"Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (Qaaf: 18)

4. Tanda orang munafik

Berbohong adalah kebiasaan orang munafik. Orang munafik akan selalu menampakkan sesuatu yang menyelisihi apa yang ada dalam benaknya, di antaranya adalah dengan berbohong. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
"Tanda orang munafik ada tiga: Apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya dia khianat." (HR. Bukhari no. 6095, Muslim no. 59).

5. Kebinasaan bagi yang berbohong

Berbohong tidaklah dibenarkan, baik sungguh-sungguh ataupun sekedar main-main saja. Sering kita lihat, orang kalau sudah kumpul dengan temannya akan berupaya membuat senang dan tertawa teman-temannya walaupun harus berbohong! Tentunya hal ini tidaklah dibenarkan juga, mengingat sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi:
"Celakalah orang yang berbohong agar orang lain tertawa, celakalah dia, celakalah dia." (HR. Abu Dawud no. 4990, Tirmidzi no. 2315, Darimi no. 2705, Ahmad 5/7. Dihasankan oleh al-Albani dalam al-Misykah no. 4834).

Sahabat mulia Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata: "Bohong tidaklah dibenarkan, baik sungguh-sungguh maupun sekedar main-main." (Tafsir Ibnu Katsir, 2/363).

6. Adzab yang pedih

Inipun termasuk celaan dan ancaman bagi orang yang berbohong, renungilah kisah dalam hadits berikut ini, bahwa berbohong bukan sekedar dosa yang ringan!

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Pada suatu malam aku bermimpi didatangi dua orang laki-laki, kemudian keduanya membawaku ke sebuah tempat yang suci. Di tempat itu aku melihat dua orang yang sedang duduk dan ada dua orang yang sedang berdiri, di tangan mereka ada sebatang besi. Besi itu ditusukkan ke tulang rahangnya sampai tembus tengkuknya. Kemudian ditusukkan besi itu pada tulang rahangnya yang lain semisal itu juga, hingga penuh dengan besi... Akhirnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: "Kalian telah mengajakku berkeliling, sekarang kabarkan kepadaku peristiwa demi peristiwa yang telah aku lihat." Keduanya berkata: "Adapun orang yang engkau lihat menusuk rahangnya dengan besi, dia adalah seorang pendusta, berkata bohong hingga dosanya itu memenuhi penjuru langit. Apa yang engkau lihat terhadapnya akan terus diperbuat hingga hari kiamat." (HR. Bukhari no. 1386, Ahmad 5/14).

Kebohongan yang paling bohong

Bohong bisa dengan berbagai cara. Di antaranya adalah dengan menceritakan mimpi yang sebenarnya dia tidak melihat mimpi itu. Takutlah wahai saudaraku, janganlah engkau terbiasa menceritakan mimpi yang engkau tidak melihatnya, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sungguh kedustaan yang paling dusta adalah menceritakan mimpi yang tidak ia lihat." (HR. Bukhari no. 7043, Ahmad 2/96).

BERDUSTA TERHADAP ALLAH DAN RASUL

Sesungguhnya tingkah polah orang-orang yang ingin menghancurkan agama ini sangat beragam, mulai dari orang yang menolak Sunnah dengan mencukupkan berpegang pada Al-Qur'an, atau orang-orang yang menerima sebagian Sunnah dan menolak sebagian yang lain. Yang lebih parah dari semua adalah orang-orang yang berbuat kedustaan terhadap agama yang hanif ini. Mereka berani berdusta terhadap Allah dan Rasul-Nya. Berikut ini sedikit penjelasan tentang bahayanya berdusta atas nama Allah dan Rasul.

1. Berdusta terhadap Allah

Tidak diragukan lagi berdusta atas Allah merupakan dosa yang paling besar dan perbuatan yang paling jelek. Bahkan orang yang berani berdusta terhadap Allah berarti telah mengekor para pendahulu mereka dari kalangan ahli kitab. Allah berfirman:

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

"Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: "Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah", padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui." (Ali 'Imran: 78).

Sangat banyak ayat-ayat Allah yang mengancam orang yang berdusta terhadap-Nya. Di antaranya Allah berfirman:

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

"Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?" Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim." (Al-An'aam: 144)

Imam ath-Thabari berkata:
"Maka siapakah yang lebih zhalim terhadap dirinya, jauh dari kebenaran, daripada orang yang membuat kebohongan terhadap Allah? Masuk dalam ayat ini pula adalah mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah, dan menghalalkan apa yang tidak dihalalkannya." (Tafsir ath-Thabari, 8/68).

Firman Allah yang lain:

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَّبَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَصَدَفَ عَنْهَا سَنَجْزِي الَّذِينَ يَصْدِفُونَ عَنْ آيَاتِنَا سُوءَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوا يَصْدِفُونَ

"Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling." (Al-An'aam: 157).

Di antara bentuk berdusta atas Allah adalah menafsirkan ayat-ayat Allah tanpa ilmu, memoles ayat untuk kepentingan hawa nafsunya! Ketahuiolah wahai saudaraku seiman, generasi terbaik umat ini sangat berhati-hati untuk menafsirkan ayat tanpa ilmu.

Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu berkata:
"Bumi manakah yang dapat kupijak dan langit manakah yang dapat menaungiku bila aku berbicara tentang Kitabullah tanpa ilmu?" (Majmu' Fatawa, 13/371).

Tabi'in yang mulia Masyruq berkata:
"Hati-hatilah kalian dalam menafsirkan Al-Qur'an, karena hal itu merupakan periwayatan tentang Allah." (Majmu' Fatawa, 13/374)

Syaikhul Islam mengomentari atsar-atsar di atas:
"Atsar-atsar yang shahih ini dan yang semisalnya dari para imam salaf, dibawa pada keberatan mereka untuk berbicara tentang tafsir yang mereka tidak tahu ilmunya. Adapun orang yang berbicara tafsir dengan ilmu yang ia miliki secara bahasa dan syar'i, maka tidaklah mengapa. Inilah yang wajib ditempuh oleh setiap orang, wajib baginya diam dalam perkara yang ia tidak punya ilmu tentangnya, demikian pula wajib menjelaskan bagi yang ditanya dan ia mengetahui permasalahan tersebut." (Majmu' Fatawa, 13/374).

Demikian pula, termasuk perusak dan penghancur agama ini adalah banyaknya orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu. Tidak sedikit orang yang berfatwa tanpa ilmu, menyitir ayat-ayat Allah lalu menafsirkan dengan akalnya yang cekak! Fa innaa lillah wa innaa ilaihi raaji'uun.

Allah berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ

"Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (Al-A'raaf: 33).

Imam Ibnul Qayyim berkata:
"Allah mengurutkan keharaman-keharaman menjadi empat tingkatan. Dia memulai dengan yang paling ringan yaitu perbuatan keji, kemudian yang lebih berat keharamannya yaitu dosa dan kezhaliman, selanjutnya urutan yang ketiga yang lebih besar keharamannya dari kedua di atas yaitu kesyirikan, dan diakhiri dengan yang paling berat keharamannya dibandingkan semua di atas yaitu berbicara terhadap Allah tanpa ilmu." (I'lamul Muwaqqi'in, 1/47).

Firman Allah yang lain:

وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ

"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (An-Nahl: 116).

Sebagian salaf berkata:
"Hendaklah kalian takut berkata: 'Allah telah menghalalkan ini dan mengharamkan itu', kemudian Allah berkata kepadamu: 'Engkau dusta! Aku tidak pernah menghalalkan ini dan mengharamkan itu.' Maka tidaklah pantas seseorang berkata tanpa ilmu tentang halal dan haram, atau berkata Allah telah menghalalkan dan mengharamkannya hanya didasari taqlid dan atkwil." (I'lamul Muwaqqi'in, 1/47).

2. Berdusta terhadap Rasulullah

Sesungguhnya adanya kedustaan-kedustaan atas diri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sebuah pelanggaran besar terhadap beliau. Orang yang berbuat demikian sama saja menghalangi manusia dari agama yang haq. Terlebih lagi bagi orang awam yang selalu menerima apapun yang dikatakan kepada mereka, sekalipun sebenarnya bertabrakan dengan kaidah agama, tuntunan fithrah dan akal.

Berdusta atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam antara lain dengan membuat hadits palsu, berkata bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah berkata dan mengerjakannya. Orang yang berdusta terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diancam dengan neraka. Bedasarkan hadits-hadits berikut:

Dari Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersbda: "Janganlah kalian berbuat dusta terhadapku, sesungguhnya orang yang berdusta terhadapku hendaklah ia masuk ke dalam neraka." (HR. Bukhari no. 106, Muslim no. 1).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
"Barangsiapa yang berdusta atasku, hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka." (Mutawatir. HR. Bukhari no. 107, Muslim no. 3004).

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
"Berdusta atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dosa besar, sedangkan berdusta kepada selainnya termasuk dosa kecil. Maka tidaklah sama ancaman bagi yang berdusta atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain beliau." (Fathul Bari, 1/267).

BOHONG YANG DIBOLEHKAN

Imam Nawawi berkata:
"Ketahuilah, sesungguhnya berbohong itu sekalipun asalnya haram, akan tetapi dibolehkan pada beberapa keadaan dengan syarat-syarat tertentu." (al-Adzkar, hal. 325).

Di antara perkara yang dibolehkan untuk berbohong, antara lain:

1. Untuk mendamaikan di antara manusia.

Asal bolehnya hal ini, adalah apa yang diriwayatkan oleh Ummu Kultsum binti Uqbah:

Dari Ummu Kultsum, dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Bukanlah termasuk pembohong orang yang mendamaikan di antara manusia, berniat baik atau berkata baik." (HR. Buhari no. 26920.

2. Ketika perang

Perang merupakan tipu muslihat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Perang adalah tipu muslihat." (HR. Bukhari no. 3030, Muslim no. 1739).

Imam Ibnul Arabi berkata:
"Bohong ketika perang adalah pengecualian yang dibolehkan berdasarkan nash, sebagai keringanan bagi kaum muslimin karena kebutuhan mereka ketika itu." (Fathul Bari, 6/192, lihat pula ash-Shahihah, 2/86).

3. Antara suami istri

Berdasarkan hadits:

Berkata Ummu Kultsum: "Tidak pernah aku mendengar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan untuk berbohong kecuali pada tiga perkara. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Tidaklah aku anggap seorang itu berbohong apabila bertujuan mendamaikan di antara manusia, berkata sebuah perkataan tiada lain kecuali untuk perdamaian; orang yang bohong ketika dalam peperangan; dan suami yang berbohong kepada istrinya atau istri yang berbohong kepada suaminya.;" (HR. Abu Dawud no. 4921, dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 54).

Imam Nawawi berkata:
"Adapun bohong kepada istri, atau istri bohong kepada suami, maka yang diinginkan adalah menampakkan kasih sayang dan janji yang tidak mengikat. Adapun bohong yang tujuannya menipu dengan menahan apa yang wajib ditunaikan atau mengambil yang bukan haknya, maka hal itu diharamkan menurut kesepakatan kaum muslimin." (Syarah Shahih Muslim, 16/121).

Syaikh al-Albani berkata:
"Bukanlah termasuk bohong yang dibolehkan, apabila suami menjanjikan kepada istrinya yang dia sebenarnya tidak ingin menepati janji tersebut, atau suami mengabarkan kepada istrinya bahwa dia telah membeli ini dan itu lebih banyak dari kenyataannya untuk mencari ridha sang istri. Perkara semacam ini bisa terbongkar, dapat menjadi sebab cekcok serta prasangka buruk seorang istri kepada suaminya, ini termasuk kerusakan bukan perbaikan. (ash-Shahihah, 1/818).

Demikianlah yang dapat kami bahas pada edisi kali ini. Untuk memahami lebih luas pembahasan ini silakan lihat Syarah Shahih Muslim (16/121), al-Adzkar (hal. 324-326), keduanya karya Imam Nawawi. Akhirul kalam, semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang shalih, jauh dari kedustaan dan istiqomah menapaki jalan kebenaran. Amiin. Allahu A'lam.


Abu Muhammad Herman
(Disalin dari Majalah Al-Furqan, Edisi: 8 Tahun V/Rabi'ul Awwal 1427 H/ April 2006).
islam Pictures, Images and Photos

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.





Semoga Allah mengampuni dosa dosa kita dan menunjuki jalan Kebenaran