Bulan Rajab, bulan yang dihormati manusia. Bulan ini termasuk bulan haram (Asyhurul hurum). Banyak cara manusia menghormati bulan ini, ada yang menyembelih hewan, ada yang melakukan shalat khusus Rajab dan lain-lainnya.
Di bulan ini juga, sebagian kaum muslimin memperingati satu peristiwa yang sangat luar biasa, peristiwa perjalanan Rasulullah Shallallahu’alaihi dari Makkah ke Baitul Maqdis, kemudian ke sidratul muntaha menghadap Pencipta alam semesta dan Pemeliharanya. Itulah peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Peristiwa ini tidak akan dilupakan kaum muslimin, karena perintah sholat lima waktu sehari semalam diberikan oleh Allah pada saat Isra’ dan Mi’raj. Tiang agama ini tidak akan lepas dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.
Akan tetapi, haruskah peristiwa itu diperingati? Apakah peringatan Isra’ mi’raj yang dilakukan kaum ini merupakan hal yang baik ataukah satu hal yang merusak agama? Simaklah pembahasan kali ini, mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan kepada kita untuk memahaminya dan menerima kebenaran.
Kapan Isra’ dan Mi’raj terjadi?
Ketika mendengar sebuah peristiwa besar, mestinya ada satu pertanyaan yang akan segera timbul dalam hati si pendengar yaitu masalah waktu terjadi. Begitu pula kaitannya dengannya peristiwa Isra’ dan Mi’raj nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam .
Kapan sebenarnya Isra’ dan Mi’raj terjadi, benarkah pada tanggal 27 Rajab atau tidak?
Untuk bisa memberikan jawaban yang benar, kita perlu melihat pendapat para ulama seputar masalah ini. Berikut kami nukilkan beberapa pendapat para ulama:
Pertama: Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqaalaniy rahimahullah berkata: “Para ulama berselisih tentang waktu Mi’raj. Ada yang mengatakan sebelum kenabian. Ini pendapat yang aneh, kecuali kalau dianggap terjadinya dalam mimpi. Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa peristiwa itu terjadi setelah kenabian. Para ulama yang mengatakan peristiwa isra’ dan mi’raj terjadi setelah kenabian juga berselisih, diantara mereka ada yang mengatakan setahun sebelum hijrah. Ini pendapat Ibnu Saad dan yang lainnya dan dirajihkan (dikuatkan) oleh Imam An Nawawiy dan Ibnu Hazm, bahkan Ibnu Hazm berlebihan dengan mengatakan ijma’ (menjadi kesepakatan para ulama’) dan itu terjadi pada bulan Rabiul Awal. Klaim ijma’ ini tertolak, karena seputar hal itu ada perselisihan yang banyak lebih dari sepuluh pendapat.”
Kemudian beliau menyebutkan pendapat para ulama tersebut satu persatu.
- Pendapat pertama mengatakan: “Setahun sebelum hijrah, tepatnya bulan Rabi’ul Awal”. Ini pendapat Ibnu Saad dan yang lainnya dan dirajihkan An Nawawiy
- Kedua mengatakan: “Delapan bulan sebelum hijrah, tepatnya bulan Rajab”. Ini isyarat perkataan Ibnu Hazm, ketika berkata: “Terjadi di bulan rajab tahun 12 kenabian”.
- Ketiga mengatakan: “Enam bulan sebelum hijrah, tepatnya bulan Ramadhan”. Ini disampaikan oleh Abu Ar Rabie’ bin Saalim.
- Keempat mengatakan: “Sebelas bulan sebelum hijrah tepatnya di bulan Rabiul Akhir”. Ini pendapat Ibrahim bin Ishaq Al Harbiy, ketika berkata: “Terjadi pada bulan Rabiul Akhir, setahun sebelum hijrah”. Pendapat ini dirajihkan Ibnul Munayyir dalam Syarah As Siirah karya Ibnu Abdil Barr.
- Kelima mengatakan: “Setahun dua bulan sebelum hijrah”. Pendapat ini disampaikan Ibnu Abdilbar.
- Keenam mengatakan: “Setahun tiga bulan sebelum hijrah”. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Faaris.
- Ketujuh mengatakan: “Setahun lima bulan sebelum hijrah”. Ini pendapat As Suddiy.
- Kedelapan mengatakan: “Delapan belas bulan sebelum hijrah, tepatnya dibulan Ramadhan”. Pendapat ini disampaikan Ibnu Saad, Ibnu Abi Subrah dan Ibnu Abdilbar.
- Kesembilan mengatakan: ” Bulan Rajab tiga tahun sebelum hijrah”. Pendapat ini disampaikan Ibnul Atsir
- Kesepuluh mengatakan: “Lima tahun sebelum hijroh”. Ini pendapat imam Az Zuhriy dan dirajihkan Al Qadhi ‘Iyaadh.
Oleh karena banyaknya perbedaan pendapat dalam masalah ini, maka benarlah apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah rahimahullah , bahwa tidak ada dalil kuat yang menunjukkan bulannya dan tanggalnya. Bahkan pemberitaannya terputus serta massih diperselisihkan, tidak ada yang dapat memastikannya.
Bahkan Imam Abu Syaamah mengatakan, “Dan para ahli dongeng menyebutkan Isra’ dan Mi’raj terjadi di bulan Rajab. Menurut ahli ta’dil dan jarh (Ulama Hadits) itu adalah kedustaan”.
Hukum Memperingati Isra’ dan Mi’raj
Mungkinkah Islam agama yang sempurna ini mensyariatkan sesuatu yang belum jelas ketentuan waktunya? . Cukuplah ini sebagai indikator kuat akan bid’ahnya peringatan Isra’ dan Mi’raj yang banyak diadakan kaum muslimin. Apalagi kita telah tahu bahwa para ulama salaf telah sepakat (consensus) menggolongkan peringatan yang dilakukan berulang-ulang (musim) yang tidak ada syariatnya termasuk kebidahan yang dilarang Rasulullahshallallahu ‘alaihi wassalam berdalil dengan sabda beliau:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hatilah dari hal yang baru, karena setiap hal yang baru itu bid’ah dan setiap kebidahan itu sesat”. (Riwayat Attirmidziy dan Ibnu Majah)
dan
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang membuat-buat dalam perkaraku (agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak”. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
serta:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahku padanya mak dia tertolak”.( Riwayat Muslim)
Peringatan Isra’ dan Mi’raj adalah perkara baru yang tidak pernah dilakukan para sahabat dan tabiin maupun orang-orang alim setelah mereka dari para salaf umat ini. Padahal mereka adalah orang yang paling semangat mencari kebaikan dan paling semangat mengamalkan amal sholeh.
Untuk itu berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika beliau ditanya tentang keutamaan malam Isra’ dan Mi’raj dan malam qadar, “… Dan tidak diketahui seorangpun dari kaum muslimin menjadikan malam Isra’ dan Mi’raj memiliki keutaman atas selainnya, apalagi diatas malam qadar. Demikian juga para sahabat g dan orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak sengaja mengkhususkan satu amalan di malam Isro’ dan Mi’roj dan mereka juga tidak memperingatinya, oleh karena itu tidak diketahui kapan malam tersebut. Peristiwa isra’ merupakan keutamaan beliau shallallahu ‘alaihi wassalam yang besar, namun demikian, tidak perintahkan mengkhususkan (mengistimewakan) malam tersebut dan tempat kejadian tersebut dengan melakukan satu ibadah syar’i. Bahkan gua Hiro’ yang merupakan tempat turun wahyu pertama kali dan merupakan tempat pilihan Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam sebelum diutus menjadi nabi, tidak pernah sengaja di kunjungi oleh beliau shallallhu ‘alaihi wassalam ataupun salah seorang sahabatnya selama berada di Makkah. Tidak pula mengkhususkan (mengistimewakan) hari turunnya wahyu dengan satu ibadah tertentu atau yang lainnya. Tidak pula mengkhususkan tempat pertama kali turun wahyu dengan sesuatu. Maka barang siapa mengkhususkan (mengistimewakan) tempat-tempat dan waktu-waktu yang diinginkan dengan melakukan satu ibadah tertentu karena termotivasi oleh peristiwa diatas atau yang sejenisnya, maka dia sama dengan ahli kitab yang telah menjadikan hari kelahiran Isa q musim dan ibadah seperti hari natal dan lain sebagainya”
Untuk lebih memperjelas masalah hukum peringatan Isra’ Mi’raj, kami sampaikan fatwa beberapa ulama tentang hukum peringatan ini.
Pertama: An Nahaas rahimahullah
Beliau berkata: “Peringatan malam Isra’ dan Mi’raj adalah bid’ah besar dalam agama dan kebid’ahan yang dibuat oleh teman-teman Syaithon.”
Beliau berkata: “Diantara kebid’ahan yang mereka buat pada bulan Rajab adalah malam dua puluh tujuh yang merupakan malam Isra’ dan Mi’raj “
Ketiga: Fatwa Syeikh Muhammad bin Ibrohim Ali Asysyeikh rahimahullah dalam jawaban beliau atas undangan yang disampaikan kepada Rabithoh Alam Islamiy untuk menghadiri salah satu peringatan Isra’ dan Mi’raj setelah beliau ditanya tentang hal itu. Lalu beliau menjawab,”Ini tidak disyariatkan, dengan berdasarkan Al-Qur’an, As-sunnah, Istishhab dan akal.
- Al Qur’an, firman Allah
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridha Islam itu jadi agamamu”. (QS. Al Maidah : 3)
dan firmanNya
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن
تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An Nisa’ : 59)
kembali kepada Allah maksudnya kembali kepada Al Quran, kembali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam maksudnya merujuk ke Sunnahnya setelah beliau meninggal dunia.
Demikian juga firmanNya
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
“Katakanlah (hai Muhammad), “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Alimron: 31)
dan firmanNya
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka orang-orang yang menyalahi perintah-Nya hendaklah mereka takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. (QS. An Nur: 63)
- Adapun dalil Sunnah
Pertama : Hadits shohih dalam shohihain dari Aisyah z bahwa Rasululloh n bersabda
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang membuat-buat dalam perkaraku (agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak”.(Riwayat Bukhori dan Muslim)
dan hadits shahih dalam Kitab Shahih Muslim
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak kami perintahkan maka dia tertolak”. (Riwayat Muslim)
Kedua: Hadits riwayat Ibnu Majah, At Tirmidziy dan dianggap shahih oleh beliau serta diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya dari Irbaadh bin Saariyah z , beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
“HindarilahHati-hatilah hal-hal yang baru, karena setiap hal yang baru itu bidah”.
Ketiga: Riwayat Ahmad, Al bazaar dari Ghadhiif bahwa Nabi n bersabda
مَا أَحدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلاَّ رَفَعَ مِثْلَهَا مِنَ السُّنَّةِ
“Tidaklah satu kaum berbuat bid’ah kecuali dihilangkan sepertinya dari Sunnah”. Dan diriwayatkan oleh Ath Thobraaniy akan tetapi dengan lafadz:
مَا مِنْ أُمَّةٍ ابْتَدَعَتْ بَعْدَ نَبِيِّهَا إِلاَّ أَضَاعَتْ مِثْلَهَا مِنَ السُّنَّةِ
“Tidak ada umat yang melakukan kebidahan setelah nabinya kecuali dihilangkan sunnah seukuran bid’ahnya”.
Keempat: Riwayat Ibnu Majah, Ibnu Abi Ashim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu beliau berkata, “Rasululloh shallallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda
أَبَى اللهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
“Allah tidak akan menerima amalan pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan perbuatan bid’ahnya”.
Dan dalam riwayat Ath Thobraniy dengan lafadz
إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan perbuatan bid’ahnya”.
- Adapun Istishhaab:
Hal ini tidak ada dasar perintahnya. Pada dasarnya, ibadah itu tauqifiyah, sehingga tidak boleh kita mengaatakan, “Ibadah ini disyariatkan” kecuali ada dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’, dan tidak boleh pula mengatakan, “Ini diperbolehkan karena termasuk dalam maslahat mursalah, istihsaan (anggapan baik), qiyas (analogi) atau ijtihad” karena permasalahan aqidah, Ibadah dan hal-hal yang telah ada ukurannya (dalam Syariat) seperti pembagian warisan dan pidana adalah perkara yang tidak ada tempat bagi ijtihad atau sejenisnya..
- Adapun dalil akal
Jika perayaan Isra’ dan Mi’raj bertujuan untuk mengagungkan peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu sendiri, kita katakan, “seandainya hal ini disyari’atkan, tentunya Beliau shallahu ‘alaihi wassalam merupakan orang pertama yang melaksanakannya”.
Jika perayaan itu untuk mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan mengenang perjuangan Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam seperti pada maulid Nabi, maka tentulah Abu Bakr radhiallahu ‘anhu adalah orang yang pertama melakukannya , lalu Umar, Utsman, Ali, kemudian orang-orang setelah mereka. Disusul kemudian oleh para tabiin selanjut para imam. Padahal tidak ada seorangpun dari mereka yang diketahui melakukan hal tersebut meskipun sedikit. Maka cukuplah bagi kita untuk melakukan apa yang menurut mereka cukup.”
Beliaupun berfatwa di dalam fatawa wa rasail beliau, “Peringatan Isra’ dan Mi’raj adalah perkara batil dan satu kebidahan. Ini termasuk sikap meniru-niru orang yahudi dan nashrani dalam mengagungkan hari yang tidak diagungkan syari’at. Pemilik kedudukan tinggi Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam lah yang menetapkan syariat. Dialah yang menjelaskan halal dan harom. Sementara para khulafa’ rasyidin dan para imam dari para sahabat dan tabiin tidak pernah diketahui melakukan peringatan tersebut.” Kemudian berkata lagi, “Maksudnya perayaan peringatan Isra dan Mi’raj adalah bid’ah. Maka tidak boleh bekerjasama dalam hal tersebut.”
Keempat: Fatwa Syeikh Ibnu Baaz t :
“Tidak disangsikan lagi, isra’ mi’raj merupakan tanda kebesaran Allah ta’ala yang menunjukkan kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan ketinggian derajat Beliau disisi Allah l . Sebagaimana Isra’ dan Mi’raj termasuk tanda-tanda keagungan Allah dan ketinggianNya atas seluruh makhluk. Allah ta’ala berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِاْلأَقْصَا الَّذِي بَا
رَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَآ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat“. (Al Isra’ : 1)
Dan telah telah diriwayatkan secara mutawatir (diriwayatkan oleh sejumlah sahabat yang tidak mungkin berdusta dan dijamin kebenarannya) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bahwa Beliau diangkat ke langit dan dibukakan pintu-pintunya sampai Beliau melewati langit yang ketujuh. Lalu RabbNya berbicara kepadanya dengan sesuatu yang dikehendakinya dan diwajibkan padanya shalat lima waktu. Allah ta’ala pertama kali mewajibkan padanya lima puluh shalat, lalu senantiasa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam meminta keringanan sampai dijadikan lima shalat. Itulah lima shalat yang diwajibkan tapi pahalanya lima puluh, karena satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Allah dzat yang harus dipuji dan disyukuri atas segala nikmatNya.
Tidak ada dalam hadits yang shahih penentuan malam terjadinya Isra’ dan Mi’raj. Semua hadits yang menjelaskan penentuan malamnya menurut ulama hadits adalah hadits yang tidak shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam . Allah ta’ala memiliki hikmah dalam melupakan manusia tentangnya. Seandainya ada penentuannya yang absahpun kaum muslimin tidak boleh mengkhususkannya dengan satu ibadah tertentu, tidak boleh mereka merayakan peringatannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabatnya tidak memperingatinya dan tidak pula mengkhususkan ibadah tertentu padanya. Seandainya peringatannya adalah perkara yang disyariatkan, tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah menjelaskannya kepada umatnya, baik dengan ucapan atau perbuatan Beliau. Seandainya pernah dilakukan niscaya akan iketahui serta akan dinukilkan oleh para sahabatnya kepada kita. Karena mereka telah menyampaikan segala sesuatu yang dibutuhkan umat dan tidak melalaikan urusan agama ini sedikitpun, bahkan mereka berlomba-lomba dalam melaksanakan kebaikan.
Maka seandainya peringatan malam Isra’ dan Mi’raj disyariatkan niscaya mereka orang pertama yang melakukannya, apalagi Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam adalah orang yang sering menasehati umatnya. Beliau telah menyampaikan risalah agama sebaik-baiknya serta telah menunaikan amanah yang diembannya. Maka seandainya mengagungkan dan memperingati malam tersebut termasuk ajaran agama, maka tentunya Beliau tidak melalaikan dan menyembunyikannya.
Karena Nabi tidak mengagungkan dan memperingati malam tersebut, maka jelaslah peringatan dan pengagungan malam tersebut bukan termasuk ajaran Islam.
Begitulah Allah ta’ala telah menyempurnakan agama Islam dan menyempurnakan nikmat untuk umatnya serta mengingkari orang yang menambah-nambah syariat Islam dengan sesuatu yang tidak diizinkanNya. Allah berfirman dalam Al Qur’an
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu”. (QS. Al maidah : 3)
Demikian juga dalam firmanNya
أَمْ لَهُمْ شُرَكَآؤُاْ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ وَلَوْلاَ كَلِمَةُالْفَصْلِ لَقُضِىَ
بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمُُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (selain Allah) yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan.Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih”. (QS. Asy Syura :21)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits-hadits yang shohih telah memperingatkan bahaya bid’ah dan menjelaskan bahwa bid’ah itu sesat. Untuk memperingatkan umat ini dari besarnya bahaya bidah dan untuk menghindarkan mereka dari membuat bid’ah. Kami akan sampaikan beberapa hadits, diantaranya hadits yang shohih dalam shohihain dari Aisyah radhiallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam , Beliau bersabda
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang membuat-buat dalam perkaraku (agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak”. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
dan dalam riwayat Muslim
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahku padanya mak dia tertolak”. ( Riwayat Muslim)
Dan dalam shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam berkhutbah pada hari jum’at dan mengatakan
أَمَا بَعْدُ فَإِِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللَّهِ وَ خَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَا
تُهَاوَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Ama Ba’du; “Sesungguhnya sebaik ucapan adalah kitabullah dan sebaik contoh adalah contoh petunjuk Muhammad n , sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang dibuat-buat, dan setiap kebidahan adalah sesat”.
Dalam sunan dari Al Irbaadh bin Saariyah z , beliau berkata
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً وَجِلَتْ مِنْهَاالْقُلُوبُ وَذَرَفَتْمِنْهَا
الْعُيُونُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُمُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَأُوصِيكُمْبِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَرَعَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَىاخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِيوَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِيْتَمَسَّكُوْابِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَابِا
لنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍبِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah menasehati kami dengan nasehat yang mendalam, hati bergetar dan mata meneteskan airmata. Lalu kami berkata: “Wahai Rasululloh n seakan-akan nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat!. Lalu beliau berkata: “aku wasiatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah ,patuh dan taat, walaupun kalian dipimpin seorang budak, karena siapa yang hidup dari kalian, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka kalian harus berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnahnya para khulafa rosyidin yang memberi petunjuk setelahku. Berpeganglah kalian dan gigitlah dia dengan gigi graham kalian serta hati-hatilah dari hal yang baru, karenasetiap hal yang baru itu bidah dan setiap kebidahan itu sesat”. (Riwayat At Tirmidziy dan Ibnu Majah). Dan banyak hadits yang lain yang semakna dengan ini.
Demikian juga peringatan dan ancaman dari perbuatan bid’ah telah ada dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan para salaf shalih setelah mereka. Karena perbuatan bid’ah adalah penambahan dalam agama dan syariat yang tidak diizinkan Allah ta’ala serta meniru-niru kaum Yahudi dan Nashroni musuh Allah. Melakukan bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan menuduh Islam tidak sempurna. Dengan demikian jelas menimbulkan kerusakan dan kemungkaran yang besar, karena Allah telah menyatakan kesempurnaan agama ini melalui firmanNya
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu“. (QS. Al Maidah 3)
Perbuatan bid’ah juga secara terang-terangan menyelisihi hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang memperingatkan dan mengancam kebid’ahan.
Mudah-mudahan apa yang telah kami jelaskan dari dalil-dali tersebut cukup memuaskan pencari kebenaran dalam mengingkari dan mengingatkan kebidahan ini- yaitu peringatan malam Isra’ dan Mi’raj -. Sesungguhnya dia bukanlah dari syariat Islam sedikitpun.
Demikianlah keterangan para ulama seputar hukum merayakan peringatan Isra’ dan Mi’raj. Keterangan yang cukup jelas dan gamblang disertai dalil-dalil yang kuat bagi pencari kebenaran. Kemudian masihkah kita melakukannya, padahal peringatan tersebut satu kebid’ahan dan bukan termasuk ajaran Islam. Bahkan itu merupakan penambahan syariat dalam Islam dan menyerupai kelakuan ahli kitab yang telah membuat bid’ah dalam agama mereka, sehingga menjadi rusak dan hancur.
Sudahkan kita merenungkan bahaya kebidahan terhadap islam?
Cukuplah peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam , para sahabat dan ulama Islam sebagai peringatan bagi kita untuk sadar dan bangkit memperbaiki kondisi kaum muslimin demi mencapai kejayaan Islam.
Mudah-mudahan Allah memudahkan kita untuk memahami tulisan ini dan mudah-mudahan Allah menolong kita dalam menjalankan ketaatan kepadaNya dan untuk meninggalkan perayaan yang telah menghabiskan harta dan tenaga yang banyak akan tetapi justru merusak agama dan amalan kita semua.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.com
Beliau bernama Ahmad bin Ali bin Muhammad Al Kinaaniy Al Asqaalaniy, seorang ulama besar dalam hadits dan fiqih, pengarang kitab Fathul bariy Syarah Shohih Bukhori, meninggal tahun 852 H.
Ibnu Hajar, Fathul Bari 7/203.
Lihat Al Bida’ Al Hauliyah hal. 274.
Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad 1/58-59.
Beliau bernama Abu Zakariya Ahmad bin Ibrohim bin Muhammad Addimasyqiy, dikenal dengan Ibnu Nahaas, seorang ulama besar yang meninggal dalam perang menghadapi perancis tahun 814 H.
Lihat Al Bida’ Al Hauliyah hal 279.
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al haaj, Abu Abdillah Al “Abdariy Al Faasiy, meninggal tahun 737 H.
Lihat Al bida’ Al Hauliyah hal. 275, menukil dari Al Madkhol 1/.294.
Beliau bernama Muhammad bin Ibrohim bin Abdillathif bin Abdirrohman bin Hasan bin Muhammad bin Abdilwahaab, dilahirkan di Riyadh tahun 1311 H dan meninggal di bulan Ramadhan 1398 H. Beliau pernah menjabat sebagai ketua Rabithoh alam Islamiy, Rektor Jami’ah Islamiyah dan Mufti agung kerajaan Saudi Arabia sebelum Syeikh Ibnu Baaz.
Lihat Al Bida’ Al hauliyah hal. 276-279 menukil dari Fatawa wa Rasail AsySyeikh Muhammad bin Ibrohim 3/97-100.
Beliau bernama Abdulaziz bin Abdillah bin Abdirrohman bin Baaz, dilahirkan tahun 1330 H di Riyadh. Beliau seorang alim besar abad ini dan menjadi mufti agung Kerajaan Saudi Arabia menggantikan Syeikh Muhammad bin Ibrohim Ali Asysyeikh sampai meninggal tahun 1420 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar