Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
--------------------------------------------------------------------------------
*Bab inipun merupakan bukti kewajiban bertauhid kepada Allah. Karena apabila Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai makhluk termulia dan yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah, tidak dapat memberi hidayah bagi siapa yang beliau inginkan, maka tiada Sembahan yang haq melainkan Allah, yang memberi hidayah bagi siapa saja yang Dia kehendaki.
Firman Allah 'Azza wa Jalla (artinya):
"Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (Al-Qashash: 56)
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibn Al-Musayyab, bahwa bapaknya berkata:
"Tatkala Abu Thalib akan meninggal, datanglah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya dan pada saat itu 'Abdullah bin Abu Umayyah serta Abu Jahl berada di sisinya, maka beliau bersabda kepadanya:
"Wahai pamanku! Ucapkanlah "Laa ilaha illa Allah" suatu kalimat yang dapat aku jadikan bukti untukmu di hadapan Allah."
Tetapi disambut oleh 'Abdullah bin Umayyah dan Abu Jahl: "Apakah kamu membenci agama Abdul Muthallib?" Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengulangi sabdanya lagi, akan tetapi mereka berdua pun mengulang-ulangi kata-katanya itu pula. Maka akhirnya kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetap pada agama Abdul Muthallib dan enggan mengucapkan "Laa ilaha illa Allah". Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang."
Lalu Allah 'Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya (artinya): "Tidak patut bagi Nabi serta orang-orang yang beriman untuk memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik." (Bara'ah/At-Taubah: 113)
Dan mengenai Abu Thalib, Allah menurunkan firman-Nya: "Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya..."
Kandungan tulisan ini:
Tafsiran ayat: "Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi." Ayat ini menunjukkan bahwa hidayah masuk Islam hanyalah di Tangan Allah saja, tiada seorangpun yang dapat menjadikan seseorang menepati jalan kebenaran ini kecuali dengan kehendak-Nya; dan mengandung bantahan terhadap orang-orang yang mempunyai kepercayaan bahwa para nabi dan wali dapat mendatangkan manfaat dan madharat, sehingga diminta untuk memberikan ampunan, menyelamatkan diri dari kesulitan, dan untuk kepentingan-kepentingan lainnya.
Tafsiran ayat: "Tidak patut bagi Nabi serta orang-orang beriman untuk memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik." Ayat ini menunjukkan bahwa haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang-orang musyrik; dan haram pula ber-wala' (mencintai, memihak, dan membela) kepada mereka.
Masalah penting sekali, yaitu tafsiran sabda beliau: "Ucapkanlah Laa ilaha illa Allah", berbeda dengan yang dipahami oleh orang yang mengaku berilmu. Tafsirannya ialah: diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan apa yang menjadi konsekwensinya yaitu memurnikan ibadah kepada Allah dan membersihkan diri dari ibadah kepada selain-Nya seperti: malaikat, nabi, wali, kuburan, batu, pohon, syaitan dlsb.
Abu Jahl dan kawan-kawannya mengerti maksud Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala beliau masuk dan bersabda kepada pamannya: "Ucapkanlah 'Laa ilaha illa Allah'." Karena itu, celakalah orang yang kalah pengertiannya dengan Abu Jahl tentang asas utama Islam.
Kesungguhan dan usaha maksimal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada paman beliau untuk masuk Islam.
Bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa 'Abdul Muthallib dan leluhurnya menganut Islam.
Abu Thalib tidak diberi ampunan oleh Allah ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memintakan ampunan untuknya, bahkan beliau dilarang.
Bahaya bagi seseorang jika berkawan dengan orang-orang yang berpikiran dan berperilaku busuk.
Bahaya mengagung-agungkan leluhur dan orang-orang terkemuka.
"Nama besar" mereka inilah yang dijadikan orang-orang jahiliyah sebagai tolok ukur kebenaran yang mesti dianut.
Hadits tersebut mengandung suatu bukti bahwa amal seseorang dilihat dari akhir hidupnya; sebab seandainya Abu Thalib mau mengucapkan kalimat syahadat, niscaya akan berguna bagi dirinya di hadapan Allah.
Perlu direnungkan, betapa berat hati orang-orang tersesat ini untuk menerima kalimat tauhid, karena dianggap sebagai sesuatu yang tak bisa diterima oleh akal pikiran mereka; sebab dalam kisah tadi disebutkan bahwa mereka tidak menyerang Abu Thalib kecuali supaya menolak untuk mengucapkan kalimat tauhid, padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah berusaha semaksimal mungkin dan berulangkali memintanya untuk mengucapkannya. Oleh karena kalimat tauhid ini sudah jelas maknanya dan besar konsekwensinya menurut mereka, maka cukuplah bagi mereka dengan menolak untuk mengucapkannya.
Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid" karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H.
--------------------------
*Bab inipun merupakan bukti kewajiban bertauhid kepada Allah. Karena apabila Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai makhluk termulia dan yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah, tidak dapat memberi hidayah bagi siapa yang beliau inginkan, maka tiada Sembahan yang haq melainkan Allah, yang memberi hidayah bagi siapa saja yang Dia kehendaki.
Firman Allah 'Azza wa Jalla (artinya):
"Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (Al-Qashash: 56)
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibn Al-Musayyab, bahwa bapaknya berkata:
"Tatkala Abu Thalib akan meninggal, datanglah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya dan pada saat itu 'Abdullah bin Abu Umayyah serta Abu Jahl berada di sisinya, maka beliau bersabda kepadanya:
"Wahai pamanku! Ucapkanlah "Laa ilaha illa Allah" suatu kalimat yang dapat aku jadikan bukti untukmu di hadapan Allah."
Tetapi disambut oleh 'Abdullah bin Umayyah dan Abu Jahl: "Apakah kamu membenci agama Abdul Muthallib?" Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengulangi sabdanya lagi, akan tetapi mereka berdua pun mengulang-ulangi kata-katanya itu pula. Maka akhirnya kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetap pada agama Abdul Muthallib dan enggan mengucapkan "Laa ilaha illa Allah". Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang."
Lalu Allah 'Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya (artinya): "Tidak patut bagi Nabi serta orang-orang yang beriman untuk memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik." (Bara'ah/At-Taubah: 113)
Dan mengenai Abu Thalib, Allah menurunkan firman-Nya: "Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya..."
Kandungan tulisan ini:
Tafsiran ayat: "Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi." Ayat ini menunjukkan bahwa hidayah masuk Islam hanyalah di Tangan Allah saja, tiada seorangpun yang dapat menjadikan seseorang menepati jalan kebenaran ini kecuali dengan kehendak-Nya; dan mengandung bantahan terhadap orang-orang yang mempunyai kepercayaan bahwa para nabi dan wali dapat mendatangkan manfaat dan madharat, sehingga diminta untuk memberikan ampunan, menyelamatkan diri dari kesulitan, dan untuk kepentingan-kepentingan lainnya.
Tafsiran ayat: "Tidak patut bagi Nabi serta orang-orang beriman untuk memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik." Ayat ini menunjukkan bahwa haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang-orang musyrik; dan haram pula ber-wala' (mencintai, memihak, dan membela) kepada mereka.
Masalah penting sekali, yaitu tafsiran sabda beliau: "Ucapkanlah Laa ilaha illa Allah", berbeda dengan yang dipahami oleh orang yang mengaku berilmu. Tafsirannya ialah: diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan apa yang menjadi konsekwensinya yaitu memurnikan ibadah kepada Allah dan membersihkan diri dari ibadah kepada selain-Nya seperti: malaikat, nabi, wali, kuburan, batu, pohon, syaitan dlsb.
Abu Jahl dan kawan-kawannya mengerti maksud Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala beliau masuk dan bersabda kepada pamannya: "Ucapkanlah 'Laa ilaha illa Allah'." Karena itu, celakalah orang yang kalah pengertiannya dengan Abu Jahl tentang asas utama Islam.
Kesungguhan dan usaha maksimal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada paman beliau untuk masuk Islam.
Bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa 'Abdul Muthallib dan leluhurnya menganut Islam.
Abu Thalib tidak diberi ampunan oleh Allah ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memintakan ampunan untuknya, bahkan beliau dilarang.
Bahaya bagi seseorang jika berkawan dengan orang-orang yang berpikiran dan berperilaku busuk.
Bahaya mengagung-agungkan leluhur dan orang-orang terkemuka.
"Nama besar" mereka inilah yang dijadikan orang-orang jahiliyah sebagai tolok ukur kebenaran yang mesti dianut.
Hadits tersebut mengandung suatu bukti bahwa amal seseorang dilihat dari akhir hidupnya; sebab seandainya Abu Thalib mau mengucapkan kalimat syahadat, niscaya akan berguna bagi dirinya di hadapan Allah.
Perlu direnungkan, betapa berat hati orang-orang tersesat ini untuk menerima kalimat tauhid, karena dianggap sebagai sesuatu yang tak bisa diterima oleh akal pikiran mereka; sebab dalam kisah tadi disebutkan bahwa mereka tidak menyerang Abu Thalib kecuali supaya menolak untuk mengucapkan kalimat tauhid, padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah berusaha semaksimal mungkin dan berulangkali memintanya untuk mengucapkannya. Oleh karena kalimat tauhid ini sudah jelas maknanya dan besar konsekwensinya menurut mereka, maka cukuplah bagi mereka dengan menolak untuk mengucapkannya.
Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid" karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar