-----------------------
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i t mencantumkan dalam kitabnya yang masyhur di kalangan masyarakat muslimin di Negara kita, Bulughul Marom sebuah hadits yang statusnya Muttafaqqun ‘Alaih yang sangat sarat makna dan Faidah di dalamnya. Hadits tersebut diriwayatkan dari sahabat Abu Huroiroh , Beliau berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمَا مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ »
Bahwasanya Rasulullah ` berkata : “Sesungguhnya milik Allah 99 nama, barang siapa yang mengahsho nya maka pasti masuk surga”.
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i tsetelah menyampaikan hadits ini dalam Bulughul Marom Beliau mengatakan bahwa At Tirmidzi, Ibnu Hibban telah membawakan riwayat tentang nama-nama tersebut namun sebenarnya nama-nama tersebut statusnya adalah mudrodz/sisipan dari perowi dan bukan Sabda Nabi `. Hal ini juga disetujui oleh Ibnu Hazm, Abu Bakar bin Al’Arobi , Ibnu Athiyah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Hajar dan para ulama lainnya bahkan hal ini dinilai sebagai ijma’ ulama hadits oleh Ash Shon’ani di Subulus Salam . Tambahan matan yang berstatus sebagai mudrodz dalam riwayat Tirmidzi adalah :
“Sesungguhnya hanya milik Allah 99 nama (yang husna, pent.). Barangsiapa yang ihsho terhadap nama tersebut maka pasti akan masuk surga. Nama-nama Allah tersebut adalah : Allah yang tiada ilah yang benar disembah kecuali Dia. Al Malik, Al Quddus, As Salam, Al Mu’min, Al Muhaimin, Al Aziz, Al Jabbar, Al Mutakabbir, Al Kholiq, Al Baari’, Al Mushowwiru, Al Ghoffar, Al Qohhaar, Al Wahaab, Ar Rozzaaq, Al Fattaah, Al ‘Alim, Al Qoobidh, Al Baasith, Al Khoofidh, Ar Roofi’, Al Mu’izzu, Al Mudzillu, As Samii’, Al Bashiir, Al Hakam, Al ‘Adlu, Al Lathiif, Al Khobiir, Al Haliim, Al ‘Adzim, Al Ghofuur, Asy Syakuur, Al ‘Aliyu, Al Kabiir, Al Hafidz, Al Muqiit, Al Hasiib, Al Jaliil, Al Kariim, Ar Roqiib, Al Mujiib, Al Wasi’, Al Hakiim, Al Waduud, Al Majiid, Al Baa’its, Asy Syahiid, Al Haqq, Al Wakiil, Al Qowiyy, Al Matiin, Al Waliy, Al Hamiid, Al Muhshi, Al Mubdi’u, Al Mu’iid, Al Muhyi, Al Mumiit, Al Hayyu, Al Qoyyum, Al Waajid, Al Maajid, Al Waahid, Ash Shomad, Al Qoodir, Al Muqtadir, Al Muqoddim, Al Muakhir, Al Awwal, Al Akhir, Adh Dhoohir, Al Baathin, Al Waaliy, Al Muta’aliy, Al Birr, At Tawwaab, Al Muntaqimu, Al Afuwwu, Ar Ro’uuf, Maalik, Al Mulk, Dzul Dzalali wal Ikrom, Al Muqsith, Al Jaami’, Al Ghoniy, Al Maani’u, Adh Dhorru, An Naafi’, An Nuur, Al Haadi, Al Badii’u, Al Baqii, Al Warits, Ar Rosyiid, Ash Shobru”.
Beberapa pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini :
Bolehnya bersumpah dengan nama yang manapun dari nama-nama Allah yang husna/asma’ul husna. Pendapat inilah dhohir pendapat Al Hafidz Ibnu Hajar t sebagaimana Beliau isyaratkan dengan meletakkan hadits ini sebagai hadits terakhir dalam kitabul aiman/sumpah. Berkata para ahli fikih : “Sumpah yang ada kafarotnya adalah sumpah dengan nama Allah , Ar Rohman, Ar Rohim, ataupun dengan shifat dari shifat-shifat yang Allah miliki. Seperti sumpah dengan Demi Wajah Allah, Demi KeagunganNya”. Sehingga bersumpah dengan selain nama Allah ataupun shifat-shifatNya tidak ada kafarohnya melainkan termasuk dalam syirik yang pelakunya harus bertaubat sebelum meninggal dunia dan bukanlah hal ini menunjukkan bahwa hal ini adalah hal yang boleh ataupun hal yang sepele. Berdasarkan sabda Rasulullah ` :
« مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ »
“Barangsiapa yang hendak bersumpah maka hendaklah dia bersumpah dengan nama Allah jika tidak maka diam”.
Demikian juga sabda Nabi ` :
« مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ »
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah maka ia telah berbuat kekufuran atau kesyirikan”.
Hal ini termasuk syirik sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Sholeh Al Fauzan Hafidzahulloh karena bersumpah dengan selain nama-nama Allah merupakan bentuk penyetaraan antara Allah dan mahluk disampinh hal itu tidaklah dilakukan kecuali dengan nama yang padanya ada pengagungan yang pada hakikatnya adalah milik Allah semata.
Berkata Ibnu Mas’ud :
“Bersumpah dengan nama Allah dan aku berdusta atas sumpahku lebih aku cintai daripada bersumpah dengan nama selain Allah padahal aku jujur dengan sumpahku itu”.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menjelaskan perktaan Sahabat Ibnu Mas’ud tersebut :
“Karena hasanah/kebaikan yang ada pada tauhid itu lebih agung daripada hasanah/kebaikan yang ada kejujuran, dan kejelekan yang ada pada dusta lebih ringan daripada kejelekan yang ada pada kesyirikan”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t Berkata : “Para ulama ahli hadits sepakat bahwasanya ta’yin/penentuan satu persatu nama-nama Allah bukanlah hadits dari Nabi `”.
Abul Wafa’ Muhammad Darwis t : “Nama-nama Allah ` jumlah banyak, diantaranya ada yang Allah turunkan dalam kitabNya, ada yang Allah ajarkan kepada NabiNya ` , ada yang Allah simpan dalam ilmuNya saja karena akal manusia tidaklah mampu mengetahui maknanya, kemuliannya . Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad t melalui jalan dari sahabat Ibnu Mas’ud , Nabi ` bersabda :
« أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِى كِتَابِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِى عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ »
“Aku meminta dengan seluruh nama yang Engkau miliki yang Engkau sebut Dirimu dengannya, yang Engkau ajarkan kepada salah satu mahlukmu, yang engkau turunkan dalam kitabMu, yang Engkau simpan dalam ilmu sebagai hal yang ghoib di sisi”.
An Nawawi Asy Syafi’i t berkata: “Para ‘ulama sepakat bahwa hadits ini bukanlah pembatasan terhadap nama Allah dan bukanlah pembatasan bahwasanya tidak ada nama Allah selain yang 99 nama tersebut. Sesungguhnya maksud hadits ini hanyalah nama Allah itu ada 99 yang barang siapa mengahshonya maka pasti masuk surga”.
An Nawawi Asy Syafi’i t berkata: “Yang dimaksud dengan « مَنْ أَحْصَاهَا » adalah menghafalnya, beriman terhadapnya dan konsekwensi dari nama tersebut serta beramal dengan isi kandungan dari nama tersebut” .
Amirul Mu’minin fil Hadits Abu Abdillah Muhammad ‘Isma’il Al Bukhori t berkata shohihnya : “Yang dimaksud dengan « مَنْ أَحْصَاهَا » adalah menghafalnya”. Dan hal ini dikomentari oleh An Nawawi tsebagai makna dhohir dari sabda Nabi ` « مَنْ أَحْصَاهَا ».
Ibnu Baththol t berkata : “Cara beramal dengan kandungan asma’ul husna adalah dengan meneladani kandungan nama-nama Allah yang boleh/bisa untuk diteladani semisal Ar Rohiim [Yang Maha Penyayang], Al Kariim [Yang Maha Dermawan]. Maka hendaklah seorang hamba melatih dirinya untuk memiliki kandungan dari shifat-shifat Allah yang semacam itu akan tetapi tentu dengan kandungan yang layak bagi hamba . Adapun shifat Allah yang khusus bagiNya semisal Al Jabbar [Yang KehendakNya pasti menang], Al Adziim [Yang Maha Agung] maka kewajiban seorang hamba adalah menetapkan adanya shifat tersebut bagi Allah , tunduk terhadapnya, dan tidak menghiasi dirinya dengan shifat tersebut. Sedangkan nama-nama Allah yang padanya ada makna janji maka kewajiban seorang hamba adalah menambatkan pada hatinya rasa harap terhadapnya, adapun apabila nama-nama tersebut padanya terkandung makna ancaman maka kewajiban seorang hamba adalah menjauhinya, menjaga diri darinya, menambatkan dalam hatinya rasa cemas dan takut yang disertai dengan ilmu” .
Tidak ada satu riwayat yang shahih dari Nabi ` yang menyebutkan secara rinci nama-nama tersebut demikian juga tentang berapa jumlah dari nama-nama tersebut, bahkan terjadi perselisihan yang besar diantara para ulama’ dalam masalah ini. Dinatara para ‘ulama yang melakukan penelitian secara khusus dalam masalah ini adalah Abul Wafa’ Muhammad Darwis t dalam kitabnya yang berjudul Al Asma’ul Husna, demikaian juga Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin t dalam kitab Beliau Al Qowa’idul Mustla .
Syaikh Abdurrahman As Sa’di t dalm kitab Beliau yang berjudul Tauhidul Anbiya’ wal Mursalin : “Pengikut para Nabi dan Rasul mereka itu mengikuti seluruh shifat bagi Ar Rohman yang termaktub dalam kitab Kitabul Ilahiyah , yang telah sahih dari hadits-hadits Nabi `. Mereka adalah orang-orang yang mengenal nama-nama tersebut, mereka adalah orang-orang yang akal dan hati mereka paham terhadap maknanya, serta mereka beribadah kepada Allah dengan nama-nama tersebut disertai dengan ilmu dan menyakini hal tersebut sebagai akidah. Mereka juga adalah orang-orang yang mengerti dan paham terhadap konsekwensi dari nama-nama tersebut. Hal-hal ini merupakan keadaan hati mereka dan pengetahuan kerububiyahan yang berasal dari Allah .
Maka mereka ketika menyadari bahwa Allah mempunyai shifat yang Maha Agung, Yang Maha Sombong, Yang Maha Mulia maka penuhlah hati mereka dengan rasa takut dan mengagungkan Allah .
Demikian juga ketika mereka menyadari bahwa Allah memiliki Shifat Al ‘Izza , Al Qudroh (Maha Kuasa) maka hati mereka akan merasa tunduk terhadapnya, dan merendahkan dirinya kepada Allah .
Demikian juga jika dengan shifat Allah Ar Rohmah, Al Birr, Al Wujud, Al Karim maka akan hati mereka akan dipenuhi dengan perasaan penuh harapan dan tamak terhadap apa yang terkandung dalam shifat Allah tersebut, keutamaan-keutamaan dari Allah .
Hal yang hampir sama juga dengan shifat ilmu, pengetahuan yang meliputi segala sesuatu yang Allah miliki maka mereka akan merasa selalu diawasi oleh Allah dalam setiap gerak gerik mereka ataupun diamnya mereka.
Dengan mengetahui makna-makna shifat-shifat Allah yang agung ini disertai dengan merealisasikannya maka diharapkan seorang hamba termasuk dalam hadits Nabi ` yang mulia :
« إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمَا مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ »
“Sesungguhnya milik Allah 99 nama, barang siapa yang mengahsho nya maka pasti masuk surga”
Maka Beliau Syaikh As Sa’di tberkata : “Maka yang dimaksud dengan ihsho’ adalah dengan memahami asma’ Allah, memikirkannya, mengenalnya dan beribadah kapada Allah dengannya”.
Maka secara ringkas yang dimaksud dengan ahso’ adalah sebagaimana yang disampaikan di atas oleh para ulama, diantaranya adalah :
Amirul Mu’minin fil Hadits Abu Abdillah Muhammad bin ‘Isma’il Al Bukhori t berkata shohihnya : “Yang dimaksud dengan « مَنْ أَحْصَاهَا » adalah menghafalnya”. Dan hal ini dikomentari oleh An Nawawi tsebagai makna dhohir dari sabda Nabi ` « مَنْ أَحْصَاهَا ».
An Nawawi Asy Syafi’i t berkata: “Yang dimaksud dengan « مَنْ أَحْصَاهَا » adalah menghafalnya, beriman terhadapnya dan konsekwensi dari nama tersebut serta beramal dengan isi kandungan dari nama tersebut” .
Ibnu Baththol t berkata : “Cara beramal dengan kandungan asma’ul husna adalah dengan meneladani kandungan nama-nama Allah yang boleh/bisa untuk diteladani semisal Ar Rohiim [Yang Maha Penyayang], Al Kariim [Yang Maha Dermawan]. Maka hendaklah seorang hamba melatih dirinya untuk memiliki kandungan dari shifat-shifat Allah yang semacam itu akan tetapi tentu dengan kandungan yang layak bagi hamba . Adapun shifat Allah yang khusus bagiNya semisal Al Jabbar [Yang KehendakNya pasti menang], Al Adziim [Yang Maha Agung] maka kewajiban seorang hamba adalah menetapkan adanya shifat tersebut bagi Allah , tunduk terhadapnya, dan tidak menghiasi dirinya dengan shifat tersebut. Sedangkan nama-nama Allah yang padanya ada makna janji maka kewajiban seorang hamba adalah menambatkan pada hatinya rasa harap terhadapnya, adapun apabila nama-nama tersebut padanya terkandung makna ancaman maka kewajiban seorang hamba adalah menjauhinya, menjaga diri darinya, menambatkan dalam hatinya rasa cemas dan takut yang disertai dengan ilmu” .
Syaikh As Sa’di tberkata : “Maka yang dimaksud dengan ihsho’ adalah dengan memahami asma’ Allah, memikirkannya, mengenalnya dan beribadah kapada Allah dengannya”.
Maka Marilah kita bergiat dalam mempelajari asma’ dan shifat Allah sehingga kita dapat merealisasikan hadits Nabi ` yang mulia ini.
Allahu A’lam bish Showab...
اللهم انفعني بما علمتني وعلمني ما ينفعني وزدني علما
Wisma Al Hijroh, Sabtu 1 Rabu’ul Akhir 1428/28 Maret 2009.
Abu Halim Budi bin Usman As Sigambali
[Yang Selalu Fakir pada Robb dan Mengharap ampunanNya]
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i t mencantumkan dalam kitabnya yang masyhur di kalangan masyarakat muslimin di Negara kita, Bulughul Marom sebuah hadits yang statusnya Muttafaqqun ‘Alaih yang sangat sarat makna dan Faidah di dalamnya. Hadits tersebut diriwayatkan dari sahabat Abu Huroiroh , Beliau berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمَا مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ »
Bahwasanya Rasulullah ` berkata : “Sesungguhnya milik Allah 99 nama, barang siapa yang mengahsho nya maka pasti masuk surga”.
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i tsetelah menyampaikan hadits ini dalam Bulughul Marom Beliau mengatakan bahwa At Tirmidzi, Ibnu Hibban telah membawakan riwayat tentang nama-nama tersebut namun sebenarnya nama-nama tersebut statusnya adalah mudrodz/sisipan dari perowi dan bukan Sabda Nabi `. Hal ini juga disetujui oleh Ibnu Hazm, Abu Bakar bin Al’Arobi , Ibnu Athiyah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Hajar dan para ulama lainnya bahkan hal ini dinilai sebagai ijma’ ulama hadits oleh Ash Shon’ani di Subulus Salam . Tambahan matan yang berstatus sebagai mudrodz dalam riwayat Tirmidzi adalah :
“Sesungguhnya hanya milik Allah 99 nama (yang husna, pent.). Barangsiapa yang ihsho terhadap nama tersebut maka pasti akan masuk surga. Nama-nama Allah tersebut adalah : Allah yang tiada ilah yang benar disembah kecuali Dia. Al Malik, Al Quddus, As Salam, Al Mu’min, Al Muhaimin, Al Aziz, Al Jabbar, Al Mutakabbir, Al Kholiq, Al Baari’, Al Mushowwiru, Al Ghoffar, Al Qohhaar, Al Wahaab, Ar Rozzaaq, Al Fattaah, Al ‘Alim, Al Qoobidh, Al Baasith, Al Khoofidh, Ar Roofi’, Al Mu’izzu, Al Mudzillu, As Samii’, Al Bashiir, Al Hakam, Al ‘Adlu, Al Lathiif, Al Khobiir, Al Haliim, Al ‘Adzim, Al Ghofuur, Asy Syakuur, Al ‘Aliyu, Al Kabiir, Al Hafidz, Al Muqiit, Al Hasiib, Al Jaliil, Al Kariim, Ar Roqiib, Al Mujiib, Al Wasi’, Al Hakiim, Al Waduud, Al Majiid, Al Baa’its, Asy Syahiid, Al Haqq, Al Wakiil, Al Qowiyy, Al Matiin, Al Waliy, Al Hamiid, Al Muhshi, Al Mubdi’u, Al Mu’iid, Al Muhyi, Al Mumiit, Al Hayyu, Al Qoyyum, Al Waajid, Al Maajid, Al Waahid, Ash Shomad, Al Qoodir, Al Muqtadir, Al Muqoddim, Al Muakhir, Al Awwal, Al Akhir, Adh Dhoohir, Al Baathin, Al Waaliy, Al Muta’aliy, Al Birr, At Tawwaab, Al Muntaqimu, Al Afuwwu, Ar Ro’uuf, Maalik, Al Mulk, Dzul Dzalali wal Ikrom, Al Muqsith, Al Jaami’, Al Ghoniy, Al Maani’u, Adh Dhorru, An Naafi’, An Nuur, Al Haadi, Al Badii’u, Al Baqii, Al Warits, Ar Rosyiid, Ash Shobru”.
Beberapa pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini :
Bolehnya bersumpah dengan nama yang manapun dari nama-nama Allah yang husna/asma’ul husna. Pendapat inilah dhohir pendapat Al Hafidz Ibnu Hajar t sebagaimana Beliau isyaratkan dengan meletakkan hadits ini sebagai hadits terakhir dalam kitabul aiman/sumpah. Berkata para ahli fikih : “Sumpah yang ada kafarotnya adalah sumpah dengan nama Allah , Ar Rohman, Ar Rohim, ataupun dengan shifat dari shifat-shifat yang Allah miliki. Seperti sumpah dengan Demi Wajah Allah, Demi KeagunganNya”. Sehingga bersumpah dengan selain nama Allah ataupun shifat-shifatNya tidak ada kafarohnya melainkan termasuk dalam syirik yang pelakunya harus bertaubat sebelum meninggal dunia dan bukanlah hal ini menunjukkan bahwa hal ini adalah hal yang boleh ataupun hal yang sepele. Berdasarkan sabda Rasulullah ` :
« مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ »
“Barangsiapa yang hendak bersumpah maka hendaklah dia bersumpah dengan nama Allah jika tidak maka diam”.
Demikian juga sabda Nabi ` :
« مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ »
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah maka ia telah berbuat kekufuran atau kesyirikan”.
Hal ini termasuk syirik sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Sholeh Al Fauzan Hafidzahulloh karena bersumpah dengan selain nama-nama Allah merupakan bentuk penyetaraan antara Allah dan mahluk disampinh hal itu tidaklah dilakukan kecuali dengan nama yang padanya ada pengagungan yang pada hakikatnya adalah milik Allah semata.
Berkata Ibnu Mas’ud :
“Bersumpah dengan nama Allah dan aku berdusta atas sumpahku lebih aku cintai daripada bersumpah dengan nama selain Allah padahal aku jujur dengan sumpahku itu”.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menjelaskan perktaan Sahabat Ibnu Mas’ud tersebut :
“Karena hasanah/kebaikan yang ada pada tauhid itu lebih agung daripada hasanah/kebaikan yang ada kejujuran, dan kejelekan yang ada pada dusta lebih ringan daripada kejelekan yang ada pada kesyirikan”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t Berkata : “Para ulama ahli hadits sepakat bahwasanya ta’yin/penentuan satu persatu nama-nama Allah bukanlah hadits dari Nabi `”.
Abul Wafa’ Muhammad Darwis t : “Nama-nama Allah ` jumlah banyak, diantaranya ada yang Allah turunkan dalam kitabNya, ada yang Allah ajarkan kepada NabiNya ` , ada yang Allah simpan dalam ilmuNya saja karena akal manusia tidaklah mampu mengetahui maknanya, kemuliannya . Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad t melalui jalan dari sahabat Ibnu Mas’ud , Nabi ` bersabda :
« أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِى كِتَابِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِى عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ »
“Aku meminta dengan seluruh nama yang Engkau miliki yang Engkau sebut Dirimu dengannya, yang Engkau ajarkan kepada salah satu mahlukmu, yang engkau turunkan dalam kitabMu, yang Engkau simpan dalam ilmu sebagai hal yang ghoib di sisi”.
An Nawawi Asy Syafi’i t berkata: “Para ‘ulama sepakat bahwa hadits ini bukanlah pembatasan terhadap nama Allah dan bukanlah pembatasan bahwasanya tidak ada nama Allah selain yang 99 nama tersebut. Sesungguhnya maksud hadits ini hanyalah nama Allah itu ada 99 yang barang siapa mengahshonya maka pasti masuk surga”.
An Nawawi Asy Syafi’i t berkata: “Yang dimaksud dengan « مَنْ أَحْصَاهَا » adalah menghafalnya, beriman terhadapnya dan konsekwensi dari nama tersebut serta beramal dengan isi kandungan dari nama tersebut” .
Amirul Mu’minin fil Hadits Abu Abdillah Muhammad ‘Isma’il Al Bukhori t berkata shohihnya : “Yang dimaksud dengan « مَنْ أَحْصَاهَا » adalah menghafalnya”. Dan hal ini dikomentari oleh An Nawawi tsebagai makna dhohir dari sabda Nabi ` « مَنْ أَحْصَاهَا ».
Ibnu Baththol t berkata : “Cara beramal dengan kandungan asma’ul husna adalah dengan meneladani kandungan nama-nama Allah yang boleh/bisa untuk diteladani semisal Ar Rohiim [Yang Maha Penyayang], Al Kariim [Yang Maha Dermawan]. Maka hendaklah seorang hamba melatih dirinya untuk memiliki kandungan dari shifat-shifat Allah yang semacam itu akan tetapi tentu dengan kandungan yang layak bagi hamba . Adapun shifat Allah yang khusus bagiNya semisal Al Jabbar [Yang KehendakNya pasti menang], Al Adziim [Yang Maha Agung] maka kewajiban seorang hamba adalah menetapkan adanya shifat tersebut bagi Allah , tunduk terhadapnya, dan tidak menghiasi dirinya dengan shifat tersebut. Sedangkan nama-nama Allah yang padanya ada makna janji maka kewajiban seorang hamba adalah menambatkan pada hatinya rasa harap terhadapnya, adapun apabila nama-nama tersebut padanya terkandung makna ancaman maka kewajiban seorang hamba adalah menjauhinya, menjaga diri darinya, menambatkan dalam hatinya rasa cemas dan takut yang disertai dengan ilmu” .
Tidak ada satu riwayat yang shahih dari Nabi ` yang menyebutkan secara rinci nama-nama tersebut demikian juga tentang berapa jumlah dari nama-nama tersebut, bahkan terjadi perselisihan yang besar diantara para ulama’ dalam masalah ini. Dinatara para ‘ulama yang melakukan penelitian secara khusus dalam masalah ini adalah Abul Wafa’ Muhammad Darwis t dalam kitabnya yang berjudul Al Asma’ul Husna, demikaian juga Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin t dalam kitab Beliau Al Qowa’idul Mustla .
Syaikh Abdurrahman As Sa’di t dalm kitab Beliau yang berjudul Tauhidul Anbiya’ wal Mursalin : “Pengikut para Nabi dan Rasul mereka itu mengikuti seluruh shifat bagi Ar Rohman yang termaktub dalam kitab Kitabul Ilahiyah , yang telah sahih dari hadits-hadits Nabi `. Mereka adalah orang-orang yang mengenal nama-nama tersebut, mereka adalah orang-orang yang akal dan hati mereka paham terhadap maknanya, serta mereka beribadah kepada Allah dengan nama-nama tersebut disertai dengan ilmu dan menyakini hal tersebut sebagai akidah. Mereka juga adalah orang-orang yang mengerti dan paham terhadap konsekwensi dari nama-nama tersebut. Hal-hal ini merupakan keadaan hati mereka dan pengetahuan kerububiyahan yang berasal dari Allah .
Maka mereka ketika menyadari bahwa Allah mempunyai shifat yang Maha Agung, Yang Maha Sombong, Yang Maha Mulia maka penuhlah hati mereka dengan rasa takut dan mengagungkan Allah .
Demikian juga ketika mereka menyadari bahwa Allah memiliki Shifat Al ‘Izza , Al Qudroh (Maha Kuasa) maka hati mereka akan merasa tunduk terhadapnya, dan merendahkan dirinya kepada Allah .
Demikian juga jika dengan shifat Allah Ar Rohmah, Al Birr, Al Wujud, Al Karim maka akan hati mereka akan dipenuhi dengan perasaan penuh harapan dan tamak terhadap apa yang terkandung dalam shifat Allah tersebut, keutamaan-keutamaan dari Allah .
Hal yang hampir sama juga dengan shifat ilmu, pengetahuan yang meliputi segala sesuatu yang Allah miliki maka mereka akan merasa selalu diawasi oleh Allah dalam setiap gerak gerik mereka ataupun diamnya mereka.
Dengan mengetahui makna-makna shifat-shifat Allah yang agung ini disertai dengan merealisasikannya maka diharapkan seorang hamba termasuk dalam hadits Nabi ` yang mulia :
« إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمَا مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ »
“Sesungguhnya milik Allah 99 nama, barang siapa yang mengahsho nya maka pasti masuk surga”
Maka Beliau Syaikh As Sa’di tberkata : “Maka yang dimaksud dengan ihsho’ adalah dengan memahami asma’ Allah, memikirkannya, mengenalnya dan beribadah kapada Allah dengannya”.
Maka secara ringkas yang dimaksud dengan ahso’ adalah sebagaimana yang disampaikan di atas oleh para ulama, diantaranya adalah :
Amirul Mu’minin fil Hadits Abu Abdillah Muhammad bin ‘Isma’il Al Bukhori t berkata shohihnya : “Yang dimaksud dengan « مَنْ أَحْصَاهَا » adalah menghafalnya”. Dan hal ini dikomentari oleh An Nawawi tsebagai makna dhohir dari sabda Nabi ` « مَنْ أَحْصَاهَا ».
An Nawawi Asy Syafi’i t berkata: “Yang dimaksud dengan « مَنْ أَحْصَاهَا » adalah menghafalnya, beriman terhadapnya dan konsekwensi dari nama tersebut serta beramal dengan isi kandungan dari nama tersebut” .
Ibnu Baththol t berkata : “Cara beramal dengan kandungan asma’ul husna adalah dengan meneladani kandungan nama-nama Allah yang boleh/bisa untuk diteladani semisal Ar Rohiim [Yang Maha Penyayang], Al Kariim [Yang Maha Dermawan]. Maka hendaklah seorang hamba melatih dirinya untuk memiliki kandungan dari shifat-shifat Allah yang semacam itu akan tetapi tentu dengan kandungan yang layak bagi hamba . Adapun shifat Allah yang khusus bagiNya semisal Al Jabbar [Yang KehendakNya pasti menang], Al Adziim [Yang Maha Agung] maka kewajiban seorang hamba adalah menetapkan adanya shifat tersebut bagi Allah , tunduk terhadapnya, dan tidak menghiasi dirinya dengan shifat tersebut. Sedangkan nama-nama Allah yang padanya ada makna janji maka kewajiban seorang hamba adalah menambatkan pada hatinya rasa harap terhadapnya, adapun apabila nama-nama tersebut padanya terkandung makna ancaman maka kewajiban seorang hamba adalah menjauhinya, menjaga diri darinya, menambatkan dalam hatinya rasa cemas dan takut yang disertai dengan ilmu” .
Syaikh As Sa’di tberkata : “Maka yang dimaksud dengan ihsho’ adalah dengan memahami asma’ Allah, memikirkannya, mengenalnya dan beribadah kapada Allah dengannya”.
Maka Marilah kita bergiat dalam mempelajari asma’ dan shifat Allah sehingga kita dapat merealisasikan hadits Nabi ` yang mulia ini.
Allahu A’lam bish Showab...
اللهم انفعني بما علمتني وعلمني ما ينفعني وزدني علما
Wisma Al Hijroh, Sabtu 1 Rabu’ul Akhir 1428/28 Maret 2009.
Abu Halim Budi bin Usman As Sigambali
[Yang Selalu Fakir pada Robb dan Mengharap ampunanNya]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar