Dalam dekade terakhir ini, kita sering mendengar aksi sosial yang dilakukan oleh “Green Peace”, sebuah organisasi internasional yang berantusias dan berjuang dalam menjaga dan memperhatikan hewan-hewan, baik yang berpopulasi tinggi, apalagi langka. Hal ini memberikan opini kepada masyarakat bahwa hanya orang-orang kafir itulah yang memiliki perhatian kepada hewan dan lingkungan alam sekitar kita. Padahal tidaklah demikian, bahkan Islam adalah agama yang syamil (mencakup segala segi) dan kamil (sempurna) dalam syari’at dan dan aturannya.
Andaikan kita mau mempelajari Al-Quran, sunnah, dan atsar para salaf, niscaya kita akan tercengang, “Oh, ternyata agamaku lebih sempurna dalam mengatur segala urusan”, termasuk di antaranya, perhatian Islam terhadap hewan dan lingkungan.
Allah -Ta’ala- berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya: 107)
Allah -Ta’ala- berfirman,
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّورُ قُلْنَا احْمِلْ فِيهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَأَهْلَكَ إِلَّا مَنْ سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ وَمَنْ ءَامَنَ وَمَا ءَامَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
“Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman, “Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina) dan keluargamu, kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman”. Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit”. (QS. Hud: 40)
Al-Hafizh Ibnu Katsir-rahimahullah- berkata, “Ketika itulah Allah memerintahkan Nuh -’alaihis salam- untuk membawa bersamanya dalam bahtera, masing-masing dua pasang dari berbagai jenis makhluk yang memiliki ruh. Konon kabarnya, selain itu juga berupa tumbuhan, baik jantan maupun betina”. [Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim (2/580)]
Demikianlah syari’at yang dibawa oleh Nabi Nuh -’alaihis salam-, maka bagaimana lagi dengan syari’at Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang membawa agama dan syari’at yang mencakup segala segi dan lebih sempurna. Sebagai bukti hal ini, berikut ini kami bawakan beberapa hadits dan atsar yang memerintahkan untuk menyayangi dan memperhatikan hewan.
Abdullah bin Ja’far -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Pada suatu hari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah memboncengku dibelakangnya, kemudian beliau membisikkan tentang sesuatu yang tidak akan kuceritakan kepada seseorang di antara manusia. Sesuatu yang paling beliau senangi untuk dijadikan pelindung untuk buang hajatnya adalah gundukan tanah atau kumpulan batang kurma. lalu beliau masuk kedalam kebun laki-laki Anshar. Tiba tiba ada seekor onta. Tatkala Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melihatnya, maka onta itu merintih dan bercucuran air matanya. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mendatanginya seraya mengusap dari perutnya sampai ke punuknya dan tulang telinganya, maka tenanglah onta itu. Kemudian beliau bersabda, “Siapakah pemilik onta ini, Onta ini milik siapa?” Lalu datanglah seorang pemuda Anshar seraya berkata, “Onta itu milikku, wahai Rasulullah”.
Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
أَفَلَا تَتَّقِى اللهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهِيْمَةِ الَّتِى مَلَكَ اللهُ إِيَّاهَا
“Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam binatang ini, yang telah dijadikan sebagai milikmu oleh Allah, karena ia (binatang ini) telah mengadu kepadaku bahwa engkau telah membuatnya letih dan lapar”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (1/400), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (2/99-100), Ahmad dalam Al-Musnad (1/204-205), Abu Ya’la dalam Al-Musnad (3/8/1), Al-Baihaqiy dalam Ad-Dala’il (6/26), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqa (9/28/1). Lihat Ash-Shahihah (20)]
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
ا ِ رْكَبُوْا هَذِهِ الدَّوَابَّ سَالَِمَةً وايتدعوها سَالِمَةً وَلَا تَتَّخِذُوْهَا كَرَاسِي
“Tunggangilah hewan ini dalam keadaan ia sehat. Biarkanlah ia dalam keadaam sehat, dan jangan engkau menjadikannya sebagai kursi”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (3/440 dan 4/234), Ibnu Hibban (2002-Mawarid), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (3/444 dan 2/100), Al-Baihaqiy (5/225), dan lainnya. Lihat As-Shahihah (21)]
Di antara bentuk kasih sayang Islam, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan kita agar jangan menjadikan binatang seperti mimbar.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
إِيَّاكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوْا ظُهُوْرَ دَوَابِّكُمْ مَنَابِرَ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى إِنَّمَا سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتَبْلُغَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَمْ تَكُوْنُوْا بَالِغِيْهِ إِلَّا بِشِقِّ الْأَنْفُسِ
“Hati-hatilah, jangan kalian menjadikan punggung hewan tunggangan kalian sebagai mimbar, karena Allah -Ta’ala- hanya menundukkannya untuk kalian agar Allah menyampaikan kalian ke suatu negeri yang belum pernah kalian capai, kecuali dengan susah payah”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (2567), Al-Baihaqiy dalam As-Sunan (5/255), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqa (19/85/1). Lihat Ash-Shahihah (22)]
Sahl bin Al-Hanzhaliyyah berkata, “Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah melewati seekor onta yang kempis perutnya (lapar) seraya bersabda,
اِتَّقُوْا اللهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهَائِمِ المعجمة فَارْكَبُوْهَا صَالِحَةً وَكُلُوْهَا صَالِحَةً
“Bertakwalah kalian atas binatang-binatang yang bisu ini, maka tunggangilah ia dalam keadan ia baik, dan lepaskanlah dalam kondisi yang baik”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (2548). Lihat Ash-Shahihah (23)]
Sebagai bentuk kasih sayang terhadap binatang, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- murka ketika melihat ada seseorang yang mengasah pisaunya di depan mata hewan sembelihannya.
Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah melewati seorang laki-laki yang meletakkan kakinya pada pipi kambingnya, sedang ia mengasah belatinya dan kambing itu juga memperhatikannya dengan kedua matanya. Maka beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
أَفَلَا قَبْلَ هَذَا ؟ ! أَتُرِيْدُ أَنْ تُمِيْتَهَا مَوْتَتَيْنِ
“Mengapa engkau tidak mengasahnya sebelum ini? Apakah engkau mau membunuhnya dua kali?!” [HR. Ath-Thabraniy dalam Al-Kabir (8/140/1) dan Al-Baihaqiy dalam As-Sunan (9/280). Lihat Ash-Shohihah (24)]
Demikian pula seseorang dalam Islam dilarang membuat binatang jadi risau, kelabakan, ketakutan, dan sedih, seperti; memisahkan anaknya yang masih kecil dari induknya atau menyakiti dan mempermainkannya.
Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Dulu kami bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- di dalam suatu safar. Kemudian beliau pergi untuk suatu hajat. Kami pun melihat dua ekor burung bersama dua ekor anaknya. Kemudian kami ambil dua ekor anaknya tersebut. Setelah itu datanglah Nabi seraya berssabda,
مَنْ فَجَعَ هَذِهِ بِوَلَدِهَا ؟ رُدُّوْا وَلَدَهَا إِلَيْهَا
“Siapakah yang mengagetkan burung ini dengan (mengambil) anaknya? Kembalikan anaknya kepadanya”. [HR. Al-Bukhary dalam Al-Adab Al- Mufrad (382) dan Abu Dawud dalam As-Sunan (2/146). Lihat Ash-Shahihah (25)]
Sebagian manusia tidak menyayangi binatang, sehingga hewan, mereka tendang bagaikan bola, disiram air panas seperti tembok, dikencingi seperti toilet, dibuang layaknya sampah. Padahal perbuatan ini tercela, karena menyelisihi adab-adab dalam Islam yang mulia.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
وَالشَّاةُ اِنْ رَحِمْتَهَا رَحِمَكَ اللهُ
“Sesungguhnya kambing, apabila engkau sayangi, maka Allah Akan menyayangimu.’ [HR. Al-Bukhary dalam Al-Adab Al-Mufrad (373), Ath-Thabraniy dalam Ash-Shagir (hal. 6) dan selainnya. Lihat Shahih Adab (hal. 132)]
Bahkan seekor binatang yang lebih rendah dan kecil dibandingkan dengan kambing, seperti burung pipit pun harus disayangi.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
مَنْ رَحِمَ وَلَوْ ذَبِيْحَةَ عُصْفُوْرٍ رَحِمَهُ اللهًُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang menyayangi, walaupun sembelihan burung pipit, maka Allah akan menyayangi orang itu di hari kiamat” . [HR. Al-Bukhariy dalam Al-Adab Al-Mufrad (371), Tamam Ar-Raziy dalam Al-Fawaid (2/194/1), dan Al-Baihaqiy dalam Asy-Syu’ab (3/3/145/1). Lihat Ash-Shahihah (27)]
Menyayangi binatang merupakan perkara yang memiliki keutamaan yang tinggi. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
بَيْنَمَا كَلْبٌ يَطِيْفُ بِرَكِيَّةٍ قَدْ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ ؛ إِذْ رَأَتْهُ بَغْيٌ مِنْ بَغَايَا بَنِيْ إِسْرَائِيْل فَنَزَعَتْ مُوْقَهَا فَاسْتَقَتْ لَهُ بِهِ فَسَقَتْهُ إِيَّاهُ فَغَفَرَ لَهَا بِهِ
“Tatkala ada seekor anjing yang mengelilingi sebuah sumur, ia hamper-hampir mati karena haus. Tiba-tiba ia dilihat oleh seorang wanita pelacur di antara pelacur-pelacur Bani Israil. Kemudian wanita itu melepaskan selopnya seraya mengambilkan air untuk anjing itu dengan menggunakan selop itu. Ia pun memberi minum kepada anjing itu. Lantaran itu Allah mengampuni dosa wanita itu”. [HR. Al-Bukhary dalam Ash-Shahih (3278) dan Muslim dalam Ash-Shahih (2245). Lihat Ash-Shahihah (30) ]
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaliy-hafizhahullah- berkata saat menjelaskan faedah- faedah hadits ini, “Di dalam hadits ini, terdapat anjuran untuk berbuat baik kepada hewan,(yaitu selama kita tidak diperintahkan untuk membunuhnya); juga terdapat keutamaan memberi minum. Luasnya rahmat Allah -Ta’ala- sampai meliputi hewan, karena termasuk makhluk-Nya”. [Lihat Bahjah An-Nazhirin (1/206-207)]
Sekali lagi perhatikan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menganjurkan sahabat dan ummatnya untuk menyayangi hewan. Beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
“Takkala ada seorang lelaki berjalan di sebuah jalan tiba-tiba ia sangat kehausan. Lalu ia menemukan sumur dan iapun turun sambil mengambil minum, lalu keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing yang menjulurkan lidahnya sambil menjilat tanah karena haus. Laki-laki itu berkata, “Sungguh anjing ini merasakan haus sebagaimana yang aku rasakan”, kemudian iapun ke sumur seraya memenuhi selopnya dengan air. Dia menggigit selopnya sehingga ia bisa naik, iapun memberi minum anjing itu. Maka Allah bersyukur kepada lelaki itu dan mengampuni dosanya”. Mereka para (sahabat) bertannya, “Wahai Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- Apakah benar kami mendapatkan pahala karena binatang?” Beliau menjawab, “Dalam setiap sesuatu yang memiliki hati yang basah (makhluk hidup) terdapat pahala”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya (2369, 2466, dan 6009), Abu Dawud dalam Sunan-nya (2550), dan Malik dalam Al-Muwaththa’ (hal. 929-930)]
http://almakassari.com/art
Tidak ada komentar:
Posting Komentar