(Fatawa Fadhilatusy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah)
Tanya: Saya seorang pemuda berumur 20 tahun yang selalu mengerjakan shalat 5 waktu dan membaca Al-Qur’an, serta perintah2 Tuhan yang lain, hanya saja masih ada yang mengganjal di benak saya, yaitu bahwa pakaian yang biasa saya pakai itu panjang. Namun saya tidak berniat sombong dan takabur dengan pakaian itu, atau hal-hal lain yang membuat Tuhan murka. Berkali-kali saya mencoba untuk memotong pakaian saya, akan tetapi tatkala saya ingin melakukannya, saya berkata dalam hati, “Selama saya tidak berniat sombong atau selain itu, maka insya Allah hal itu tidak berdosa…”
Saya mohon kepada Syaikh agar memberi jawaban yang memuaskan dalam masalah ini.
Jawab;
Pertanyaan ini mengandung dua masalah: yang pertama adalah, laki-laki ini memuji dirinya sendiri bahwa ia orang yang taat kepada perintah Allah dan menyukai apa yang diridhai-Nya.Saya berharap agar pujian terhadap dirinya ini termasuk dalam menyebut (mensyukuri) nikmat Allah, bukan termasuk tazkiyatun-nafsi (menyucikan diri sendiri atau mengatakan dirinya suci). Hal itu karena orang-orang yang menyebut-nyebut (membicarakan) dirinya sendiri bahwa ia selalu taat kepada Allah tidak lepas dari dua kemungkinan: yang pertama adalah, bisa jadi ia menyucikan dirinya sendiri dan menunjukkan perbuatannya kepada Tuhannya. Hal ini sangat berbahaya dan bisa membatalkan perbuatannya, karena Allah telah melarang para hamba-Nya untuk menyucikan diri mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
“…maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS 53: 32)
Kemungkinan kedua adalah, bisa jadi apa yang ia lakukan termasuk menyebut-nyebut (mensyukuri) nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala agar hal tersebut diikuti oleh teman-temannya. Ini adalah hal yang terpuji, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS 93: 11)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Barangsiapa menjadi pelopor kebaikan dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahala dari kebaikan yang dilakukannya, dan ia juga akan memperoleh pahala dari orang-orang yang mengikuti mengamalkannya dengan tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkannya tersebut…” (HR. Muslim)
Adapun masalah kedua, yaitu tentang pertanyaannya mengenai memanjangkan pakaian dan menurunkannya sampai di bawah mata kaki yang ia anggap sebagai sesuatu yang dibolehkan selama ia tidak berniat sombong dan takabur, maka jawaban untuk pertanyaan ini adalah bahwa hal itu DIHARAMKAN. Bahkan menurut zhahir nash, hal itu termasuk DOSA BESAR, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Setiap kain (sarung, gamis atau celana) yang berada di bawah mata kaki tempatnya adalah di neraka.” (HR. Bukhari).
Hadits ini mutlaq dan tidak di-taqyid (dibatasi) oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sombong atau takabur; dan ia tidak bisa dijadikan muqayyad, karena hukum antara orang yang menurunkan pakaiannya karena sombong dengan orang yang hanya menurunkan pakaiannya tetapi tidak sombong itu berbeda.
Para ahli ilmu telah menyebutkan bahwa mutlaq tidak bisa dijadikan (ditafsirkan) muqayyad, kecuali bila hukum pada keduanya satu. Hendaknya saudara memperhatikan perbedaan hukum antara keduanya, yaitu: orang yang memanjangkan pakaiannya dengan sombong, maka Allah tidak akan berbicara dengannya pada hari kiamat, tidak akan melihatnya serta tidak akan menyucikannya, dan orang tersebut akan memperoleh siksa yang pedih. Hal ini sebagaimana telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ada tiga golongan manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, dan Dia tidak akan melihat mereka serta tidak akan menyucikan mereka, dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih.” Sabdanya ini diulang 3 kali, maka Abu Dzar berkata, “Mereka termasuk orang-orang yang merugi, siapakah mereka wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “(Yaitu) orang yang memanjangkan pakaiannya…dan orang yang suka mengungkit kebaikan (pemberian)nya, serta orang yang jual-beli barang dengan sumpah dusta.” (HR. Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits ini bahwa hukuman bagi orang yang memanjangkan pakaiannya adalah Allah tidak akan mengajaknya bicara, tidak akan mengasihinya serta tidak akan menyucikan (membersihkan dosa-dosa)nya, bahkan ia akan menerima adzab yang pedih. Hadits ini mutlaq, akan tetapi di-taqyid oleh Nabi dengan sabdanya yang lain, yaitu, “Barangsiapa memanjangkan pakaiannya diiringi dengan perasaan sombong, maka kelak di hari kiamat Allah tidak akan mengasihinya.” (HR. Abu Daud dan An-Nasa-i).
Nabi telah men-taqyid-nya dengan sombong dan berkata bahwa Allah tidak akan mengasihinya, dan ini adalah sebagian siksa yang telah disebutkan dalam hadits Abu Dzar. Oleh karena itu, hadits Abu Dzar yang mutlaq ditafsirkan atas hadits ini yg muqayyad.
Jadi, hukuman atau siksa bagi orang yang memanjangkan pakaiannya dengan sombong adalah lebih besar daripada orang yang hanya menurunkan pakaiannya tanpa rasa sombong, karena hukuman bagi orang yang hanya menurunkan kainnya sampai di bawah mata kaki adalah bahwa ia akan disiksa di neraka. Adapun orang yang memanjangkan pakaiannya dengan sombong, maka siksanya adalah lebih berat, yaitu tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak akan dilihat-Nya dan tidak akan disucikan (dibersihkan dosa-dosa)nya oleh Allah, dan ia akan mendapat siksa yang pedih.
Berdasarkan perbedaan ini, maka kita bisa mengetahui bahwa mutlaq tidak bisa ditafsirkan muqayyad dan hal itulah yg sesuai dengan kaidah yang telah disebutkan oleh para ahli ushul fiqh, dan hal itu juga sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an. Penjelasan masalah tersebut adalah, bahwa Allah telah menyebutkan dalam ayat thaharah tentang wudhu bahwa membasuh dua tangan adalah sampai kepada dua siku, dalam ayat, “Hai orang2 yg beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata-kaki…” (QS 5: 6)
Dalam ayat tersebut, Allah telah men-taqyid dua tangan sampai siku dalam hal membasuhnya. Dia juga berfirman tentang tayamum, yaitu, “…Dan jika kamu junub, maka mandilah; dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah wajahmu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS 5: 6)
Dalam ayat ini, Allah tidak men-taqyid tangan sampai siku dan tidak menjadikan hukum tayamum seperti hukum wudhu, hal itu karena hukum keduanya berbeda. Wudhu berhubungan dengan 4 anggota tubuh, sedangkan tayamum dengan 2 anggota tubuh. Dalam wudhu, sebagian cara bersucinya dengan membasuh dan sebagiannya lagi dengan mengusap. Dalam tayamum, bisa menghilangkan hadats besar maupun kecil, sedangkan hadats besar dan kecil adalah berbeda jika bersucinya dengan memakai air.
Oleh karena itu, hukum tayamum yang mutlaq tidak boleh ditafsirkan atas hukum wudhu yang muqayyad.
Dalil atas hal tersebut adalah, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari cara bertayamum kepada Ammar bin Yasir, maka beliau memukul bumi dengan kedua tangannya satu pukulan, kemudian menyapu anggota yg kiri pada anggota sebelah kanan. Beliau juga mengusap telapak tangannya sebelah luar dan wajahnya, dan dalam hal ini (tayamum) Nabi tidak mengusap tangannya sampai siku. Jadi, hal ini menunjukkan bahwa kaidah yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fiqh adalah kaidah baku yang sesuai dengan dalil2 Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah dan jauhilah apa yang diharamkan oleh Allah dalam berpakaian, karena sesungguhnya melakukan apa yang diharamkan oleh Allah dalam berpakaian adalah termasuk kufur nikmat.
Allah telah mengisyaratkan hal ini ketika Dia menyebutkan dalam firman-Nya bahwa Dia telah menurunkan pakaian yang menutupi aurat dan pakaian yang indah untuk perhiasan kepada hamba-Nya. Dalam hal ini Allah telah mengisyaratkan agar manusia wajib memperhatikan nilai-nilai ketakwaan, dalam ayat, “…dan pakaian takwa, itulah yang paling baik…” (QS 7: 26)
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa bertakwa kepada Allah adalah hal yg wajib bagi setiap muslim, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Hai orang2 yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepaa-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS 3: 102).
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah dikunjungi oleh seorang pemuda dari golongan Anshar yang memakai pakaian sampai menyeret ke tanah, yaitu ketika beliau sakit karena terkena tikaman. Ketika pemuda tersebut beranjak pergi, maka Umar memanggilnya dan berkata kepadanya, “Wahai anak saudaraku, tinggikanlah pakaianmu, karena hal itu lebih bertakwa kepada Allah dan lebih mengawetkan pakaiannmu!” Dalam lafazh yg lain disebutkan ”Serta lebih membersihkan pakaianmu.”
Apa yang telah disebutkan oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu tentang meninggikan pakaian mengandung dua faedah yang besar, yaitu:
1. Tentang bertakwa kepada Allah yang balasannya adalah surga yang luasnya seluas langit dan bumi sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS 3: 133)
2. Lebih mengawetkan pakaian. Karena apabila pakaian menyeret di tanah, maka tanah itu akan memakannya sehingga bagian bawah pakaian tersebut akan rusak sedikit demi sedikit. Di samping itu, pakaian juga akan lebih bersih, karena jika pakaian itu menyeret di tanah, maka pakaian tersebut akan kotor.
Saya ingin member nasehat kepada penanya – semoga Allah memberkatinya – dan juga kepada orang-orang yang menghadapi masalah ini; hendaknya kalian meminta perlindungan kepada Allah – baik untuk diri kalian maupun untuk masyarakat – dan hendaknya kalian mengingatkan manusia – baik dengan hati maupun lisan – yang tidak menutup aurat mereka serta yang takut dengan pakaian yang panas atau dingin, sehingga hal itu menyebabkan mereka bersyukur terhadap nikmat Allah dan mematuhi hukum-hukum-Nya dalam hal berpakaian, karena pakaian adalah nikmat yang telah diberikan Allah kepada hamba-Nya. Hanya Allah-lah yang bisa dimintai pertolongan.
(Fatawa Fadhilatusy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah)
Sekedar tambahan:
Sebagian kaum muslimin berkata, "Tidak apa-apa mengenakan kain/celana di bawah mata-kaki (isbal) asal tidak berniat untuk sombong."
Mereka ini mungkin belum tahu bahwa perbuatan tersebut menurut Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mengandung unsur-unsur kesombongan meskipun tidak berniat untuk sombong.
Dari potongan sebuah hadits yang sangat panjang, diriwayatkan dari Jabir bin Sulaim, yang berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Berpesanlah kepadaku." Maka beliau bersabda: "Janganlah engkau mencaci-maki orang". Maka sejak itu aku tidak pernah mencaci-maki siapapun, baik orang terhormat ataupun rakyat jembel dan tidak pula terhadap hewan seperti unta atau domba."Dan (pesan kedua) janganlah mengabaikan kebaikan sedikitpun, berkatalah kepada saudara/temanmu dengan wajah berseri (ramah) sebab itu semua termasuk kebaikan. Dan (pesan ke-3) tinggikanlah pakaianmu hingga ke pertengahan betis atau setidaknya pada mata kaki, dan hati-hatilah jangan sampai menjulurkannya ke bawah mata-kaki sebab hal itu MENGANDUNG UNSUR KESOMBONGAN, dan Allah tidak suka pada kesombongan..." (HR. Abu Daud - Tirmidzi)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, katanya: "Aku pernah berjalan di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (di luar shalat) sedang sarungku agak ke bawah, lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Hai Abdullah, angkatlah sarungmu." Maka kuangkat segera sarungku. Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda; "Kurang tinggi." Maka aku mengangkatnya lebih tinggi lagi. Dan sesudah itu aku terbiasa menjaganya seperti yang ditunjuki beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Setengah masyarakat ada yang beertanya kepadanya: "Sampai batas mana tingginya?" Jawabnya: "Sampai pertengahan betis." (HR. Muslim)
Lihatlah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bertanya terlebih dahulu apakah ada niat sombong atau tidak. Sebagai seorang sahabat, Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu pun langsung mentaati tanpa perlu berkata: "Aku tidak berniat sombong." Dan tanpa bertanya, “Kenapa?”
-----------------------------------------------------------
* Sekilas biografi Syaikh Al-'Utsaimin rahimahullah:
Beliau adalah Abu Abdillah, Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin Utsaimin Al-Muqbil Al-Wuhaibi At-Tamimi . Dilahirkan di kota ‘Unaizah, salah satu kota besar yang berada di wilayah Qashim, pada tanggal 27 Ramadhan 1347 H, dalam lingkungan keluarga yang dikenal agamis dan istiqamah.
Beliau belajar Al-Qur’an dan menghafalnya dari sebagian anggota keluarga besarnya sendiri, seperti kepada kakeknya dari pihak ibu, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Sulaiman Ali Damigh . Kemudian beliau menuntut berbagai ilmu, di antaranya yaitu Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Fiqh, Ilmu Hisab, Kaligrafi, Seni Sastra, dll. Di antara guru-gurunya yang lain yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, Syaikh Ali bin Hamad Ash-Shalihi, Syaikh Abdurrahman bin Ali bin Audan.
Di antara jabatan yang pernah dipegang adalah:
1. Guru Besar Aqidah di Fakultas Syariah dan Ushuluddin, Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa’ud.
2. Rektor Universitas Islam ‘Unaizah.
3. Imam dan Khatib Masjid Raya Unaizah.
4. Imam dan Khatib Al-Jami’ Al-Kabir (Masjid Raya) Riyadh.
5. Pengajar ilmu agama di Masjidil Haram setiap bulan Ramadhan dan penceramah umum pada setiap musim haji.
Sebagai da’i dan ulama, karya tulisnya berjumlah lebih dari 50 buku, dan sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Murid-muridnya datang dari berbagai penjuru dunia. Semoga Allah Ta'ala merahmatinya dan menjadikan ilmunya bermanfaat untuk seluruh kaum muslimin, Allahumma amin.
Abu Muhammad Herman
Tanya: Saya seorang pemuda berumur 20 tahun yang selalu mengerjakan shalat 5 waktu dan membaca Al-Qur’an, serta perintah2 Tuhan yang lain, hanya saja masih ada yang mengganjal di benak saya, yaitu bahwa pakaian yang biasa saya pakai itu panjang. Namun saya tidak berniat sombong dan takabur dengan pakaian itu, atau hal-hal lain yang membuat Tuhan murka. Berkali-kali saya mencoba untuk memotong pakaian saya, akan tetapi tatkala saya ingin melakukannya, saya berkata dalam hati, “Selama saya tidak berniat sombong atau selain itu, maka insya Allah hal itu tidak berdosa…”
Saya mohon kepada Syaikh agar memberi jawaban yang memuaskan dalam masalah ini.
Jawab;
Pertanyaan ini mengandung dua masalah: yang pertama adalah, laki-laki ini memuji dirinya sendiri bahwa ia orang yang taat kepada perintah Allah dan menyukai apa yang diridhai-Nya.Saya berharap agar pujian terhadap dirinya ini termasuk dalam menyebut (mensyukuri) nikmat Allah, bukan termasuk tazkiyatun-nafsi (menyucikan diri sendiri atau mengatakan dirinya suci). Hal itu karena orang-orang yang menyebut-nyebut (membicarakan) dirinya sendiri bahwa ia selalu taat kepada Allah tidak lepas dari dua kemungkinan: yang pertama adalah, bisa jadi ia menyucikan dirinya sendiri dan menunjukkan perbuatannya kepada Tuhannya. Hal ini sangat berbahaya dan bisa membatalkan perbuatannya, karena Allah telah melarang para hamba-Nya untuk menyucikan diri mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
“…maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS 53: 32)
Kemungkinan kedua adalah, bisa jadi apa yang ia lakukan termasuk menyebut-nyebut (mensyukuri) nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala agar hal tersebut diikuti oleh teman-temannya. Ini adalah hal yang terpuji, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS 93: 11)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Barangsiapa menjadi pelopor kebaikan dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahala dari kebaikan yang dilakukannya, dan ia juga akan memperoleh pahala dari orang-orang yang mengikuti mengamalkannya dengan tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkannya tersebut…” (HR. Muslim)
Adapun masalah kedua, yaitu tentang pertanyaannya mengenai memanjangkan pakaian dan menurunkannya sampai di bawah mata kaki yang ia anggap sebagai sesuatu yang dibolehkan selama ia tidak berniat sombong dan takabur, maka jawaban untuk pertanyaan ini adalah bahwa hal itu DIHARAMKAN. Bahkan menurut zhahir nash, hal itu termasuk DOSA BESAR, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Setiap kain (sarung, gamis atau celana) yang berada di bawah mata kaki tempatnya adalah di neraka.” (HR. Bukhari).
Hadits ini mutlaq dan tidak di-taqyid (dibatasi) oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sombong atau takabur; dan ia tidak bisa dijadikan muqayyad, karena hukum antara orang yang menurunkan pakaiannya karena sombong dengan orang yang hanya menurunkan pakaiannya tetapi tidak sombong itu berbeda.
Para ahli ilmu telah menyebutkan bahwa mutlaq tidak bisa dijadikan (ditafsirkan) muqayyad, kecuali bila hukum pada keduanya satu. Hendaknya saudara memperhatikan perbedaan hukum antara keduanya, yaitu: orang yang memanjangkan pakaiannya dengan sombong, maka Allah tidak akan berbicara dengannya pada hari kiamat, tidak akan melihatnya serta tidak akan menyucikannya, dan orang tersebut akan memperoleh siksa yang pedih. Hal ini sebagaimana telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ada tiga golongan manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, dan Dia tidak akan melihat mereka serta tidak akan menyucikan mereka, dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih.” Sabdanya ini diulang 3 kali, maka Abu Dzar berkata, “Mereka termasuk orang-orang yang merugi, siapakah mereka wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “(Yaitu) orang yang memanjangkan pakaiannya…dan orang yang suka mengungkit kebaikan (pemberian)nya, serta orang yang jual-beli barang dengan sumpah dusta.” (HR. Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits ini bahwa hukuman bagi orang yang memanjangkan pakaiannya adalah Allah tidak akan mengajaknya bicara, tidak akan mengasihinya serta tidak akan menyucikan (membersihkan dosa-dosa)nya, bahkan ia akan menerima adzab yang pedih. Hadits ini mutlaq, akan tetapi di-taqyid oleh Nabi dengan sabdanya yang lain, yaitu, “Barangsiapa memanjangkan pakaiannya diiringi dengan perasaan sombong, maka kelak di hari kiamat Allah tidak akan mengasihinya.” (HR. Abu Daud dan An-Nasa-i).
Nabi telah men-taqyid-nya dengan sombong dan berkata bahwa Allah tidak akan mengasihinya, dan ini adalah sebagian siksa yang telah disebutkan dalam hadits Abu Dzar. Oleh karena itu, hadits Abu Dzar yang mutlaq ditafsirkan atas hadits ini yg muqayyad.
Jadi, hukuman atau siksa bagi orang yang memanjangkan pakaiannya dengan sombong adalah lebih besar daripada orang yang hanya menurunkan pakaiannya tanpa rasa sombong, karena hukuman bagi orang yang hanya menurunkan kainnya sampai di bawah mata kaki adalah bahwa ia akan disiksa di neraka. Adapun orang yang memanjangkan pakaiannya dengan sombong, maka siksanya adalah lebih berat, yaitu tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak akan dilihat-Nya dan tidak akan disucikan (dibersihkan dosa-dosa)nya oleh Allah, dan ia akan mendapat siksa yang pedih.
Berdasarkan perbedaan ini, maka kita bisa mengetahui bahwa mutlaq tidak bisa ditafsirkan muqayyad dan hal itulah yg sesuai dengan kaidah yang telah disebutkan oleh para ahli ushul fiqh, dan hal itu juga sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an. Penjelasan masalah tersebut adalah, bahwa Allah telah menyebutkan dalam ayat thaharah tentang wudhu bahwa membasuh dua tangan adalah sampai kepada dua siku, dalam ayat, “Hai orang2 yg beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata-kaki…” (QS 5: 6)
Dalam ayat tersebut, Allah telah men-taqyid dua tangan sampai siku dalam hal membasuhnya. Dia juga berfirman tentang tayamum, yaitu, “…Dan jika kamu junub, maka mandilah; dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah wajahmu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS 5: 6)
Dalam ayat ini, Allah tidak men-taqyid tangan sampai siku dan tidak menjadikan hukum tayamum seperti hukum wudhu, hal itu karena hukum keduanya berbeda. Wudhu berhubungan dengan 4 anggota tubuh, sedangkan tayamum dengan 2 anggota tubuh. Dalam wudhu, sebagian cara bersucinya dengan membasuh dan sebagiannya lagi dengan mengusap. Dalam tayamum, bisa menghilangkan hadats besar maupun kecil, sedangkan hadats besar dan kecil adalah berbeda jika bersucinya dengan memakai air.
Oleh karena itu, hukum tayamum yang mutlaq tidak boleh ditafsirkan atas hukum wudhu yang muqayyad.
Dalil atas hal tersebut adalah, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari cara bertayamum kepada Ammar bin Yasir, maka beliau memukul bumi dengan kedua tangannya satu pukulan, kemudian menyapu anggota yg kiri pada anggota sebelah kanan. Beliau juga mengusap telapak tangannya sebelah luar dan wajahnya, dan dalam hal ini (tayamum) Nabi tidak mengusap tangannya sampai siku. Jadi, hal ini menunjukkan bahwa kaidah yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fiqh adalah kaidah baku yang sesuai dengan dalil2 Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah dan jauhilah apa yang diharamkan oleh Allah dalam berpakaian, karena sesungguhnya melakukan apa yang diharamkan oleh Allah dalam berpakaian adalah termasuk kufur nikmat.
Allah telah mengisyaratkan hal ini ketika Dia menyebutkan dalam firman-Nya bahwa Dia telah menurunkan pakaian yang menutupi aurat dan pakaian yang indah untuk perhiasan kepada hamba-Nya. Dalam hal ini Allah telah mengisyaratkan agar manusia wajib memperhatikan nilai-nilai ketakwaan, dalam ayat, “…dan pakaian takwa, itulah yang paling baik…” (QS 7: 26)
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa bertakwa kepada Allah adalah hal yg wajib bagi setiap muslim, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Hai orang2 yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepaa-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS 3: 102).
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah dikunjungi oleh seorang pemuda dari golongan Anshar yang memakai pakaian sampai menyeret ke tanah, yaitu ketika beliau sakit karena terkena tikaman. Ketika pemuda tersebut beranjak pergi, maka Umar memanggilnya dan berkata kepadanya, “Wahai anak saudaraku, tinggikanlah pakaianmu, karena hal itu lebih bertakwa kepada Allah dan lebih mengawetkan pakaiannmu!” Dalam lafazh yg lain disebutkan ”Serta lebih membersihkan pakaianmu.”
Apa yang telah disebutkan oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu tentang meninggikan pakaian mengandung dua faedah yang besar, yaitu:
1. Tentang bertakwa kepada Allah yang balasannya adalah surga yang luasnya seluas langit dan bumi sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS 3: 133)
2. Lebih mengawetkan pakaian. Karena apabila pakaian menyeret di tanah, maka tanah itu akan memakannya sehingga bagian bawah pakaian tersebut akan rusak sedikit demi sedikit. Di samping itu, pakaian juga akan lebih bersih, karena jika pakaian itu menyeret di tanah, maka pakaian tersebut akan kotor.
Saya ingin member nasehat kepada penanya – semoga Allah memberkatinya – dan juga kepada orang-orang yang menghadapi masalah ini; hendaknya kalian meminta perlindungan kepada Allah – baik untuk diri kalian maupun untuk masyarakat – dan hendaknya kalian mengingatkan manusia – baik dengan hati maupun lisan – yang tidak menutup aurat mereka serta yang takut dengan pakaian yang panas atau dingin, sehingga hal itu menyebabkan mereka bersyukur terhadap nikmat Allah dan mematuhi hukum-hukum-Nya dalam hal berpakaian, karena pakaian adalah nikmat yang telah diberikan Allah kepada hamba-Nya. Hanya Allah-lah yang bisa dimintai pertolongan.
(Fatawa Fadhilatusy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah)
Sekedar tambahan:
Sebagian kaum muslimin berkata, "Tidak apa-apa mengenakan kain/celana di bawah mata-kaki (isbal) asal tidak berniat untuk sombong."
Mereka ini mungkin belum tahu bahwa perbuatan tersebut menurut Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mengandung unsur-unsur kesombongan meskipun tidak berniat untuk sombong.
Dari potongan sebuah hadits yang sangat panjang, diriwayatkan dari Jabir bin Sulaim, yang berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Berpesanlah kepadaku." Maka beliau bersabda: "Janganlah engkau mencaci-maki orang". Maka sejak itu aku tidak pernah mencaci-maki siapapun, baik orang terhormat ataupun rakyat jembel dan tidak pula terhadap hewan seperti unta atau domba."Dan (pesan kedua) janganlah mengabaikan kebaikan sedikitpun, berkatalah kepada saudara/temanmu dengan wajah berseri (ramah) sebab itu semua termasuk kebaikan. Dan (pesan ke-3) tinggikanlah pakaianmu hingga ke pertengahan betis atau setidaknya pada mata kaki, dan hati-hatilah jangan sampai menjulurkannya ke bawah mata-kaki sebab hal itu MENGANDUNG UNSUR KESOMBONGAN, dan Allah tidak suka pada kesombongan..." (HR. Abu Daud - Tirmidzi)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, katanya: "Aku pernah berjalan di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (di luar shalat) sedang sarungku agak ke bawah, lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Hai Abdullah, angkatlah sarungmu." Maka kuangkat segera sarungku. Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda; "Kurang tinggi." Maka aku mengangkatnya lebih tinggi lagi. Dan sesudah itu aku terbiasa menjaganya seperti yang ditunjuki beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Setengah masyarakat ada yang beertanya kepadanya: "Sampai batas mana tingginya?" Jawabnya: "Sampai pertengahan betis." (HR. Muslim)
Lihatlah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bertanya terlebih dahulu apakah ada niat sombong atau tidak. Sebagai seorang sahabat, Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu pun langsung mentaati tanpa perlu berkata: "Aku tidak berniat sombong." Dan tanpa bertanya, “Kenapa?”
--------------------------
* Sekilas biografi Syaikh Al-'Utsaimin rahimahullah:
Beliau adalah Abu Abdillah, Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin Utsaimin Al-Muqbil Al-Wuhaibi At-Tamimi . Dilahirkan di kota ‘Unaizah, salah satu kota besar yang berada di wilayah Qashim, pada tanggal 27 Ramadhan 1347 H, dalam lingkungan keluarga yang dikenal agamis dan istiqamah.
Beliau belajar Al-Qur’an dan menghafalnya dari sebagian anggota keluarga besarnya sendiri, seperti kepada kakeknya dari pihak ibu, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Sulaiman Ali Damigh . Kemudian beliau menuntut berbagai ilmu, di antaranya yaitu Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Fiqh, Ilmu Hisab, Kaligrafi, Seni Sastra, dll. Di antara guru-gurunya yang lain yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, Syaikh Ali bin Hamad Ash-Shalihi, Syaikh Abdurrahman bin Ali bin Audan.
Di antara jabatan yang pernah dipegang adalah:
1. Guru Besar Aqidah di Fakultas Syariah dan Ushuluddin, Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa’ud.
2. Rektor Universitas Islam ‘Unaizah.
3. Imam dan Khatib Masjid Raya Unaizah.
4. Imam dan Khatib Al-Jami’ Al-Kabir (Masjid Raya) Riyadh.
5. Pengajar ilmu agama di Masjidil Haram setiap bulan Ramadhan dan penceramah umum pada setiap musim haji.
Sebagai da’i dan ulama, karya tulisnya berjumlah lebih dari 50 buku, dan sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Murid-muridnya datang dari berbagai penjuru dunia. Semoga Allah Ta'ala merahmatinya dan menjadikan ilmunya bermanfaat untuk seluruh kaum muslimin, Allahumma amin.
Abu Muhammad Herman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar