Bismillah,
Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menerima suatu amalan (ibadah, red) apapun dari siapa pun kecuali setelah terpenuhinya dua syarat yang sangat mendasar dan prinsipil, yaitu:
1. Amalan tersebut harus dilandasi keikhlasan hanya kepada Allah
Dengan demikian pelaku amalan tersebut sama sekali tidak mengharapkan balasan dari amalannya tersebut kecuali keridhoan Allah Ta’ala.
2. Kaifiat pelaksanaan amalan tersebut harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-.
Mengenai hal ini, khususnya syarat kedua tersebut sudah dibahas di blog Kebun Hidayah ini yaitu di artikel yang berjudul Akankah Amalku Diterima (klik disini untuk membaca artikel tersebut)
Dalam bahasan ini akan ditekankan pada makna syarat dan bentuk keikhlasan yang dimaksud. Untuk sampai kepadanya, mari kita selami sekilas beberapa dalil dibawah ini :
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya”. (QS. Al-Kahfi : 110)
“Dia lah yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalannya”. (QS. Al-Mulk : 2)
Al-Fudhoil bin Iyadh -rahimahullah- sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiah -rahimahullah- (18/250) berkata ketika menafsirkan firman Allah ["siapa di antara kalian yang paling baik amalannya”], “(Yaitu) Yang paling ikhlas dan yang paling benar. Karena sesungguhnya amalan, jika ada keikhlasannya akan tetapi belum benar, maka tidak akan diterima. Jika amalan itu benar akan tetapi tanpa disertai keikhlasan, maka juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan benar. Yang ikhlas adalah yang hanya (diperuntukkan) bagi Allah dan yang benar adalah yang berada di atas sunnah (Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-)”.
Pemurnian Keikhlasan Hanya Kepada Allah
Ini adalah konsekuensi dari syahadat pertama yaitu persaksian bahwa tidak ada sembahan yang berhak untuk disembah dan diibadahi kecuali hanya Allah -Subhanahu wa Ta’ala- semata serta meninggalkan dan berlepas diri dari berbagai macam bentuk kesyirikan dan penyembahan kepada selain Allah Ta’ala.
Ada banyak dalil yang menopang syarat ini, di antaranya:
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)”. (QS. Az-Zumar : 2-3)
Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. (QS. Az-Zumar : 11)
Dan dalam firman-Nya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”. (QS. Al-Bayyinah : 5)
Adapun dari As-Sunnah, maka Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- telah menegaskan dalam sabda beliau:
“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niatnya masing-masing, dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Maka, barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena perempuan yang hendak dia nikahi, maka hijrahnya kepada sesuatu yang dia hijrah kepadanya”. (HR. Al-Bukhari no. 54, 2392 dan Muslim no. 1907 dari sahabat Umar bin Al-Khaththab -radhiallahu anhu-)
Tiga Syarat Dalam Memurnikan Keikhlasan :
1. Lepas dari syirik ashgar (syirik kecil) berupa riya` (ingin dilihat), sum’ah (ingin didengar), keinginan mendapatkan balasan duniawi dari amalannya, dan yang semisalnya dari bentuk-bentuk ketidak ikhlasan.
Karena semua niat-niat di atas menyebabkan amalan yang sedang dikerjakan sia-sia, tidak ada artinya dan tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsy:
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan apapun yang dia memperserikatkan-Ku bersama selain-Ku dalam amalan tersebut, maka akan Aku tinggalkan dia dan siapa yang dia perserikatkan bersama-Ku”. (HR. Muslim no. 2985 dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-)
Bahkan Allah Ta’ala telah menegaskan:
“Barangsiapa yang menghendaki (dengan ibadahnya) kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Hud : 15-16)
2. Lepas dari syirik akbar (syirik besar), yaitu menjadikan sebahagian dari atau seluruh ibadah yang sedang dia amalkan untuk sesuatu selain Allah -Subhanahu wa Ta’ala-.
Perkara kedua ini jauh lebih berbahaya, karena tidak hanya membuat ibadah yang sedang diamalkan sia-sia dan tidak diterima oleh Allah, bahkan membuat seluruh pahala ibadah yang telah diamalkan akan terhapus seluruhnya tanpa terkecuali.
Bahkan Allah Ta’ala telah memperingatkan Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- dan seluruh Nabi sebelum beliau dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu: “Jika kamu berbuat kesyirikan, niscaya akan terhapuslah seluruh amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Az-Zumar : 65)
3. Aqidah pelakunya haruslah aqidah yang benar, dalam artian dia tidak meyakini sebuah aqidah yang bisa mengkafirkan dirinya.
Contoh: Ada seseorang yang shalat dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, hanya saja dia meyakini hal yang sesat, misalnya keyakinannya bahwa Allah pasti memaafkan dan tidak memberi adzab neraka kepada orang-orang diluar Islam yang berkelakuan baik semasa hidupnya. Dengan keyakinan demikian maka orang ini telah berada dalam keyakinan yang kafir, keyakinan yang telah membatalkan keislaman dirinya sehingga segala amalannya tidak akan diterima Allah dan menjadi amalan yang sia-sia.
Contoh lain: Seseorang yang mengerjakan haji dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, hanya saja dia meyakini bahwa tidak mengapa dan tidak akan berdosa bagi seorang wanita muslimah bepergian sendirian (untuk beribadah atau keluar malam) tanpa ditemani mahramnya sepanjang ia tidak melakukan perbuatan tercela atau telah mendapat izin dari suami atau orangtuanya. Bila orang semacam ini masih bertahan dengan keyakinannya padahal telah ditunjukkan padanya dalil (Qur’an atau hadits) yang secara jelas membantah keyakinannya yang salah, maka ia telah meyakini keyakinan yang sesat yang berpotensi menyebabkan kekafiran.
Demikian 3 syarat penting agar keikhlasan kita bisa terpelihara agar ibadah kita bisa diterima Allah sebagai suatu amal shalih.
Wallahu A’lam Bish-Shawab
Sumber : [Diedit dan disederhanakan dari sumber rujukan (dengan banyak perubahan atas tanggungjawab editor) dari tulisan "Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, bab keempat" yang ditulis oleh Ust. Abu Muawiah Hammad -hafizhahullah- ]
Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menerima suatu amalan (ibadah, red) apapun dari siapa pun kecuali setelah terpenuhinya dua syarat yang sangat mendasar dan prinsipil, yaitu:
1. Amalan tersebut harus dilandasi keikhlasan hanya kepada Allah
Dengan demikian pelaku amalan tersebut sama sekali tidak mengharapkan balasan dari amalannya tersebut kecuali keridhoan Allah Ta’ala.
2. Kaifiat pelaksanaan amalan tersebut harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-.
Mengenai hal ini, khususnya syarat kedua tersebut sudah dibahas di blog Kebun Hidayah ini yaitu di artikel yang berjudul Akankah Amalku Diterima (klik disini untuk membaca artikel tersebut)
Dalam bahasan ini akan ditekankan pada makna syarat dan bentuk keikhlasan yang dimaksud. Untuk sampai kepadanya, mari kita selami sekilas beberapa dalil dibawah ini :
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya”. (QS. Al-Kahfi : 110)
“Dia lah yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalannya”. (QS. Al-Mulk : 2)
Al-Fudhoil bin Iyadh -rahimahullah- sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiah -rahimahullah- (18/250) berkata ketika menafsirkan firman Allah ["siapa di antara kalian yang paling baik amalannya”], “(Yaitu) Yang paling ikhlas dan yang paling benar. Karena sesungguhnya amalan, jika ada keikhlasannya akan tetapi belum benar, maka tidak akan diterima. Jika amalan itu benar akan tetapi tanpa disertai keikhlasan, maka juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan benar. Yang ikhlas adalah yang hanya (diperuntukkan) bagi Allah dan yang benar adalah yang berada di atas sunnah (Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-)”.
Pemurnian Keikhlasan Hanya Kepada Allah
Ini adalah konsekuensi dari syahadat pertama yaitu persaksian bahwa tidak ada sembahan yang berhak untuk disembah dan diibadahi kecuali hanya Allah -Subhanahu wa Ta’ala- semata serta meninggalkan dan berlepas diri dari berbagai macam bentuk kesyirikan dan penyembahan kepada selain Allah Ta’ala.
Ada banyak dalil yang menopang syarat ini, di antaranya:
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)”. (QS. Az-Zumar : 2-3)
Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. (QS. Az-Zumar : 11)
Dan dalam firman-Nya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”. (QS. Al-Bayyinah : 5)
Adapun dari As-Sunnah, maka Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- telah menegaskan dalam sabda beliau:
“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niatnya masing-masing, dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Maka, barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena perempuan yang hendak dia nikahi, maka hijrahnya kepada sesuatu yang dia hijrah kepadanya”. (HR. Al-Bukhari no. 54, 2392 dan Muslim no. 1907 dari sahabat Umar bin Al-Khaththab -radhiallahu anhu-)
Tiga Syarat Dalam Memurnikan Keikhlasan :
1. Lepas dari syirik ashgar (syirik kecil) berupa riya` (ingin dilihat), sum’ah (ingin didengar), keinginan mendapatkan balasan duniawi dari amalannya, dan yang semisalnya dari bentuk-bentuk ketidak ikhlasan.
Karena semua niat-niat di atas menyebabkan amalan yang sedang dikerjakan sia-sia, tidak ada artinya dan tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsy:
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan apapun yang dia memperserikatkan-Ku bersama selain-Ku dalam amalan tersebut, maka akan Aku tinggalkan dia dan siapa yang dia perserikatkan bersama-Ku”. (HR. Muslim no. 2985 dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-)
Bahkan Allah Ta’ala telah menegaskan:
“Barangsiapa yang menghendaki (dengan ibadahnya) kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Hud : 15-16)
2. Lepas dari syirik akbar (syirik besar), yaitu menjadikan sebahagian dari atau seluruh ibadah yang sedang dia amalkan untuk sesuatu selain Allah -Subhanahu wa Ta’ala-.
Perkara kedua ini jauh lebih berbahaya, karena tidak hanya membuat ibadah yang sedang diamalkan sia-sia dan tidak diterima oleh Allah, bahkan membuat seluruh pahala ibadah yang telah diamalkan akan terhapus seluruhnya tanpa terkecuali.
Bahkan Allah Ta’ala telah memperingatkan Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- dan seluruh Nabi sebelum beliau dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu: “Jika kamu berbuat kesyirikan, niscaya akan terhapuslah seluruh amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Az-Zumar : 65)
3. Aqidah pelakunya haruslah aqidah yang benar, dalam artian dia tidak meyakini sebuah aqidah yang bisa mengkafirkan dirinya.
Contoh: Ada seseorang yang shalat dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, hanya saja dia meyakini hal yang sesat, misalnya keyakinannya bahwa Allah pasti memaafkan dan tidak memberi adzab neraka kepada orang-orang diluar Islam yang berkelakuan baik semasa hidupnya. Dengan keyakinan demikian maka orang ini telah berada dalam keyakinan yang kafir, keyakinan yang telah membatalkan keislaman dirinya sehingga segala amalannya tidak akan diterima Allah dan menjadi amalan yang sia-sia.
Contoh lain: Seseorang yang mengerjakan haji dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, hanya saja dia meyakini bahwa tidak mengapa dan tidak akan berdosa bagi seorang wanita muslimah bepergian sendirian (untuk beribadah atau keluar malam) tanpa ditemani mahramnya sepanjang ia tidak melakukan perbuatan tercela atau telah mendapat izin dari suami atau orangtuanya. Bila orang semacam ini masih bertahan dengan keyakinannya padahal telah ditunjukkan padanya dalil (Qur’an atau hadits) yang secara jelas membantah keyakinannya yang salah, maka ia telah meyakini keyakinan yang sesat yang berpotensi menyebabkan kekafiran.
Demikian 3 syarat penting agar keikhlasan kita bisa terpelihara agar ibadah kita bisa diterima Allah sebagai suatu amal shalih.
Wallahu A’lam Bish-Shawab
Sumber : [Diedit dan disederhanakan dari sumber rujukan (dengan banyak perubahan atas tanggungjawab editor) dari tulisan "Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, bab keempat" yang ditulis oleh Ust. Abu Muawiah Hammad -hafizhahullah- ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar