PENDAHULUAN
1.1 Definisi dan Ruang Lingkup Geomorfologi
Geomorfologi sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yang lebih kurang dapat diartikan “perubahan-perubahan pada bentuk muka bumi”. Akan tetapi secara umum didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang alam, yaitu meliputi bentuk-bentuk umum roman muka bumi serta perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang evolusinya dan hubungannya dengan keadaan struktur di bawahnya, serta sejarah perubahan geologi yang diperlihatkan atau tergambar pada bentuk permukaan itu (American Geological Institute, 1973). Dalam bahasa Indonesia banyak orang memakai kata bentangalam sebagai terjemahan geomorfologi, sehingga kata geomorfologi sebagai ilmu dapat diterjemahkan menjadi Ilmu Bentangalam.
Selain itu kata geomorfologi dipakai pula untuk menyatakan roman muka bumi, umpamanya bila orang menceriterakan keadaan muka bumi suatu daerah dapat dikatakan pula orang menceritakan geomorfologi daerah itu atau bentangalam daerah itu.
Mula-mula orang memakai kata fisiografi untuk ilmu yang mempelajari roman muka bumi ini. Di Eropa fisiografi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari rangkuman tentang iklim, meteorologi, oceanografi, dan geografi. Akan tetapi orang, terutama di Amerika, tidak begitu sependapat untuk memakai kata ini dalam bidang ilmu yang hanya mempelajari roman muka bumi saja dan lebih erat hubungannya dengan geologi. Mereka lebih cenderung untuk memakai kata geomorfologi. Sering kedua kata itu dicampur-adukkan. Agaknya bagan pada Gambar 1 dapat membantu membedakan kedua kata itu.
1.2 Sejarah Geomorfologi
Pengetahuan tentang geomorfologi, sebagaimana juga dengan ilmu-ilmu yang lain, dimulai dengan munculnya ahli-ahli filsfat Yunani dan Itali. Sebegitu jauh, HERODUTUS (485 – 425 S.M.) yang dianggap sebagai “bapak sejarah” dikenal pula mempunyai pikiran-pikiran tentang geologi, termasuk juga tentang perubahan muka air laut, salah satu gejala geomorfologi yang ia perhatikan di Mesir. Kemudian banyak pula ahli filsafat lainnya yang menyinggung tentang geomorfologi ini. Dapat disebutkan di sini antara lain ARISTOTLE, STRABO dan SANECA yang kesemuanya pada akhirnya menerangkan gejala-gejala alam sebagai suatu kutukan Tuhan atau dikenal dengan nama Teori Malapetaka.
Berabad-abad kemudian, konsep ini sedikit demi sedikit berubah. Orang mulai mengenal filsafat katatrofisma yang mengatakan bahwa semua gejala alam itu sebagai akibat pembentukan dan perusakan yang relatif terjadi dengan tiba-tiba, sehingga menyebabkan perubahan bentuk muka bumi.
JAMES HUTTON (1726 – 1797) dikenal sebagai “bapak geologi modern” yang menerangkan gejala-gejala geologi sebagai gejala-gejala alam yang dapat kita kenal sehari-hari, sangat bertentangan dengan teori katatrofisma yang menganggap bahwa kejadian geologi relatif mengambil waktu yang amat singkat. Atas dasar itu kemudian teori yang dikemukakan HUTTON disebut orang sebagai teori uniformitarianisma, dan terkenal dengan dalilnya yang menyatakan bahwa “hari ini adalah kunci dari kejadian pada masa lampau” atau istilah asingnya adalah the present is the key to the past.
Pada masa sekarang geomorfologi bukan saja meliputi bidang yang statis, yang hanya mempelajari bentuk-bentuk roman muka bumi, akan tetapi juga merupakan ilmu yang dinamis yang dapat meramalkan kejadian alam sebagai hasil interpolasi. Selain itu pemerian bentuk roman muka bumi dapat dinyatakan dengan besaran-besaran matematika seperti kita kenal dengan nama geomorfologi kuantitatif. Sebagai pemukanya dapat dicatat STRAHLER yang membuat analisa pengaliran sungai secara matematika.
Di Indonesia, bebrapa hasil penyelidikan geomorfologi dapat dijumpai terutama yang ditulis oleh ahli-ahli Belanda pada zaman sebelum perang. Di antara karya-karya geomorfologi itu patut dikemukakan di sini penyelidikan geomorfologi Kulon Progo yang dilakukan oleh PANNEKOEK (1939). Selain itu, sesudah perang pun ahli-ahli geologi Belanda banyak pula menulis tentang geomorfologi Indonesia. VERSTAPPEN (1973) menulis tentang geomorfologi Pulau Sumatera secara luas dan menyeluruh.
Gambar 1.1. Hubungan antara Geomorfologi dengan ilmu-ilmu lain
dan daerah gerak Geomorfologi
1.3 Konsep Dasar Geomorfologi
Thornbury (1969) dalam buku yang berjudul Principles of Geomorphology mengemukakan 10 konsep dasar dalam geomorfologi, yaitu:
i. Proses-proses fisik dan hukumnya yang terjadi saat ini berlangsung selama waktu geologi;
ii. Struktur geologi merupakan faktor pengontrol yang dominan dalam evolusi bentuk lahan (land forms);
iii. Tingkat perkembangan relief permukaan bumi tergantung pada proses-proses geomorfologi yang berlangsung;
iv. Proses-proses geomorfik terekam pada land forms yang menunjukan karakteristik proses yang berlangsung;
v. Keragaman erosional agents tercermin pada produk dan urutan land forms yang terbentuk;
vi. Evolusi geomorfologi bersifat kompleks;
vii. Obyek alam di permukaan bumi umumnya berumur lebih muda dari Pleistosen;
viii. Interpretasi yang sempurna mengenai landscapes melibatkan beragam faktor geologi dan perubahan iklim selama Pleistosen;
ix. Apresiasi iklim global diperlukan dalam memahami proses-proses geomorfik yang beragam;
x. Geomorfologi, umumnya mempelajari land forms / landscapes yang terjadi saat ini dan sejarah pembentukannya.
Gambar 1.2. Pengaruh erosi pada zona sesar menghasilkan bentuk bentang alam yang khas (Strahler & Strahler, 1984)
PROSES GEOMORFOLOGI
Proses geomorfologi adalah perubahan-perubahan baik secara fisik maupun kimiawi yang dialami permukaan bumi. Penyebab proses tersebut yaitu benda-benda alam yang kita kenal dengan nama geomorphic agent, berupa air dan angin. Termasuk di dalam golongan geomorphic agent air ialah air permukaan, air bawah tanah, glacier, gelombang, arus, dan air hujan. Sedangkan angin terutama mengambil peranan yang penting di tempat-tempat terbuka seperti di padang pasir atau di tepi pantai. Kedua penyebab ini dibantu dengan adanya gaya berat, dan kesemuanya bekerja bersama-sama dalam melakukan perubahan terhadap roman muka bumi. Tenaga-tenaga perusak ini dapat kita golongkan dalam tenaga asal luar (eksogen), yaitu yang datang dari luar atau dari permukaan bumi, sebagai lawan dari tenaga asal dalam (endogen) yang berasal dari dalam bumi. Tenaga asal luar pada umumnya bekerja sebagai perusak, sedangkan tenaga asal dalam sebagai pembentuk. Kedua tenaga inipun bekerja bersama-sama dalam mengubah bentuk roman muka bumi ini. Proses geomorfologi yang kita kenal dapat diintisarikan seperti terlihat pada bagan di Gambar 2.1.
PEMBENTUKAN
Tenaga Asal dalam
Pembentukan struktur
Pembentukan gunungapi
PENGRUSAKAN
Tenaga Asal luar
Gradasi (perataan)
Pelapukan
Tenaga dari luar bumi
Jatuhan Meteorit
PENGANGKUTAN
Tenaga Asal luar
Pengangkutan bahan (mass wasting)
Erosi oleh:
Air permukaan
Air bawahtanah
Gelombang
Arus
Angin
Es
Pengrusakan dan pengangkutan oleh organisma, termasuk manusia
Gambar 2.1. Bagan proses pembentukan roman muka bumi
Gradasi (gradation) adalah proses permukaan bumi menuju perataan. Perataan pada bidang yang lebih tinggi letaknya daripada bidang mula asalnya misalnya dengan adanya penumpukkan bahan-bahan dinamakan dengan proses agradasi (agradation). Sedangkan sebaliknya yaitu pemindahan bahan-bahan dari bidang permukaan itu dinamakan degradasi (degradation)
2.1 Degradasi
Proses degradasi yang telah kita kenal dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pelapukan, pengangkutan bahan, dan erosi. Berikut ini ketiga proses tersebut dibahas secara umum.
a. Pelapukan
Berdasarkan beberapa definisi dari para pakar (Strahler & Strahler, 1984; Thornburry, 1969; Cargo & Mallory, 1974; Von Engeln, 1960; dll.) dapat disimpulkan bahwa pelapukan adalah proses penghancuran batuan atau permukaan bumi oleh proses kimia, fisika, dan biologi. Pelapukan sering disebut pula sebagai proses desintegrasi atau dekomposisi. Dari ketiga macam proses degradasi yang telah disebutkan, pelapukan dianggap sangat penting karena dapat mempercepat kedua proses lainnya.
Pelapukan adalah perubahan fisik atau kimiawi batuan yang disebabkan karena berhubungan dengan udara, air, dan organisma. Pelapukan digolongkan sebagai pelapukan fisika, pelapukan kimiawi, dan pelapukan biologis tergantung kepada penyebab utamanya. Pada pelapukan fisik, tenaga yang berupa tekanan dan temperatur memegang peranan yang sangat penting, sedangkan pada pelapukan kimiawi reaksi kimia menyebabkan perubahan pada komposisi kimia batuan. Pelapukan fisik menyebabkan batuan berubah ukuran menjadi lebih kecil yaitu dengan pemecahan atau desintegrasi. Penyebab terjadinya desintegrasi dapat berupa pengembangan karena berkurangnya tekanan, pertumbuhan kristal, pengembangan dan pengerutan karena pemanasan dan pendinginan, serta pengisian koloid. Batuan sangat sering pecah melalui bidang pelapisannya oleh karena bidang ini lemah. Proses ini dinamakan exfoliation. Gambar 2.2 memperlihatkan proses pelapukan batuan yang dikenal dengan pelapukan mengulit bawang.
Gambar 2.2. Proses pelapukan pada fragmen breksi vulkanik yang tersingkap di tepi jalan Majalaya – Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Pelapukan kimiawi dapat disebabkan karena oksidasi, hidrasi, dan karbonisasi. Dengan proses oksidasi batuan kemudian mempunyai volume yang lebih besar atau mengembang dan berat jenisnya menjadi kecil. Oksidasi pada batuan yang mengandung besi menghasilkan hematite yang berwarna coklat kekuning-kuningan. Hidrasi menghasilkan perubahan volume pada tiap molekul batuan yang disebabkan oleh masuknya air. Akibat perubahan volume ini maka batuan mengelupas menghasilkan keratan-keratan yang tipis-tipis. Pada proses karbonisasi, terbentuk karbonat sebagai hasil reaksi asam karbonat dengan mineral pada batuan. Batuan yang mudah larut seperti batugamping akan mengalami proses karbonisasi ini. Asam karbonat terbentuk karena udara yang mempunyai kandungan CO2 bereaksi dengan adanya air. Gambar 2.3 berikut ini menggambarkan reaksi yang terjadi dalam pelarutan batugamping. Dengan reaksi ini pelapukan kimia berlangsung yang mengakibatkan proses pelarutan pada batugamping terjadi.
CaCO3 + H2O + CO2 -> Ca(HCO3)2
(batugamping) (air) (udara) (larut)
Gambar 2.3. Reaksi kimia pada proses pelarutan batugamping
Pelapukan organik sebenarnya merupakan kombinasi antara kedua jenis pelapukan yang telah diuraikan sebelumnya, disebabkan karena tumbuh-tumbuhan ataupun makhluk hidup, misalnya akar pepohonan, cacing, dsb. Baik larutan kimia maupun energi yang dihasilkan oleh organisme, dapat mempercepat proses pelapukan batuan.
Pelapukan batuan di satu sisi memiliki peran yang menguntungkan bagi umat manusia. Akibat proses pelapukan, batuan yang keras menjadi lunak sehingga memudahkan umat manusia untuk mengelola suatu bentang alam tertentu menjadi lahan budidaya (misalnya lahan pertanian). Gambar 2.4 menunjukkan proses pembentukan tanah akibat adanya pelapukan batuan.
Gambar 2.4. Pembentukan tanah akibat proses pelapukan batuan
(Strahler & Strahler, 1984)
b. Pengangkutan (mass wasting)
Pengangkutan bahan-bahan (mass wasting) adalah pengangkutan material hasil proses pelapukan oleh agent-agent tertentu. Pada proses pengangkutan, gaya berat dan air memegang peranan yang sangat penting. Pengerahan bahan-bahan ini dapat berlangsung dengan cepat ataupun lambat. Berdasarkan kecepatannya dan jumlah air yang mengangkutnya orang mengenal tanah longsor, debris avalanches, aliran tanah, aliran lumpur, sheetfloods, dan slopewash. Pada Gambar 2.5 berikut ditampilkan bagan yang menjelaskan jenis-jenis pengangkutan yang terjadi di permukaan bumi.
M E N G A L I R
MENGALIR PERLAHAN
RAYAPAN
- Rayapan tanah
- Rayapan talus
- Rayapan batuan
- Rayapan batuan karena glecier
BANJIR
LUMPUR (Solifluction)
MENGALIR CEPAT
ALIRAN TANAH
ALIRAN LUMPUR
LONGSOR/ RUNTUHAN SALJU (debris avalanche)
LONGSOR
NENDATAN (slump)
LONGSORAN (slide)
JATUHAN (debris fall)
LONGSOR BATUAN (rock slide)
JATUHAN BATUAN (rock fall)
RUNTUH
RUNTUH (subsidence)
Gambar 2.5. Bagan pengangkutan bahan
Gambar 2.6. Fenomena longsor di Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
c. Erosi
Erosi berasal dari kata Latin erodere, artinya mengerkah atau mengampelas. Seperti arti asalnya, erosi adalah proses pengerkahan atau pengumpulan bahan-bahan terutama oleh air. Proses pelapukan dapat mempercepat proses erosi. Orang awam sehari-hari mengartikan erosi sebagai pengrusakan dan pengangkutan bahan-bahan dari tanah penutup. Dalam arti geologi erosi lebih tepat untuk dipakai sebagai proses pengampelasan baik batuan segar maupun lapukan atau tanah penutup.
Definisi erosi cukup beragam, namun dapat disimpulkan bahwa erosi merupakan proses di permukaan bumi yang berlangsung secara gradual yang diakibatkan oleh aktivitas air, angin, salju maupun media geologik lainnya (SCSA, 1976, dalam El-Swaify et. al., 1982; Strahler & Strahler, 1984; Field & Engel, 2004). Arnoldus (1974, dalam El-Swaify et. al., 1982) mengusulkan klasifikasi erosi secara umum menjadi erosi geologi (geological erosion) dan erosi yang dipercepat (accelerated erosion). Erosi geologi terjadi secara alami, umumnya berlangsung dalam jutaan tahun dan seimbang dengan perubahan-perubahan di alam. Erosi yang dipercepat diakibatkan oleh aktivitas manusia, umumnya bersifat mengubah kondisi alami secara drastis.
Erosi yang diakibatkan oleh pengerjaan air dapat dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu (Van Zuidam, 1983), yaitu erosi percikan (splash erosion), erosi lembaran (sheet erosion), erosi alur (rill erosion), dan erosi selokan (gully erosion).
Erosi percikan disebabkan oleh energi yang ditimbulkan ketika tetes-tetes hujan jatuh ke permukaan batuan/tanah. Besarnya material yang tererosi akan setara dengan besarnya energi yang dihasilkan oleh percikan air hujan tersebut. Erosi lembaran didefinisikan sebagai perpindahan serentak material batuan/tanah membentuk lapisan tipis mengikuti arah kemiringan lahan. Erosi alur merupakan bentuk erosi yang paling umum, terjadi ketika material batuan/tanah dipindahkan oleh air yang menyisakan bentuk alur di permukaan. Erosi selokan merupakan pengembangan lebih lanjut dari tahapan erosi alur, berukuran lebih besar dibandingkan alur yang terbentuk akibat erosi alur.
Gambar 2.7. Ilustrasi bentuk-bentuk utama erosi oleh air, A. gully erosion dan
B. rill and interrill erosion (El-Swaify et. al., 1982)
2.2 Agradasi
Agradasi yaitu penumpukan bahan-bahan yang terjadi oleh karena gaya angkut berhenti, misalkan karena lereng tempat berlangsungnya pengangkutan tidak lagi berlanjut melainkan berubah menjadi datar. Maka pada tempat tersebut akan terjadi penumpukan bahan dan permukaan tanah menjadi lebih tinggi dibanding dengan permukaan asal.
Gambar 2.8. Bentuk lahan erosional dan deposisional (Strahler & Strahler, 1984)
Contoh yang paling baik dari agradasi adalah pengendapan aluvium dan endapan glacier. Endapan aluvium dapat dikenal bermacam-macam pula, sebagai contoh endapan talus, kipas aluvium (aluvial fan) dan kolovium (Gambar 2.8 dan 2.9).
Gambar 2.9. Profil ideal kipas aluvial, menunjukkan lapisan-lapisan mudflow (aquicludes) berselingan dengan lapisan-lapisan pasir (aquifers)
(Strahler & Strahler, 1984).
SIKLUS PERKEMBANGAN SUNGAI
Sebagaimana sudah diuraikan di muka, air merupakan unsur pelaksana utama pengrusakan tenaga asal luar. Suatu daerah pertama-tama akan terangkat oleh tenaga asal dalam dan proses ini dinamakan proses pembentukan. Sedangkan pada proses yang dilakukan oleh air permukaan dinamakan proses pengrusakan. Keduanya pada akhirnya bekerja dalam satu hubungan yang erat yang dinamakan siklus: “Pengrusakan – Pengangkutan – Pengendapan – Pembentukan.”
Di daerah beriklim tropik lembab yang mempunyai angka curah hujan tinggi seperti Indonesia, peranan air permukaan ini sangat penting.
3.1 Lembah
Permukaan lereng mula-mula dikikis atau dierosi membentuk lembah kecil (gully). Bila tidak, air mengikis daerah yang luas bersama-sama sehingga tidak terbentuk lembah kecil tersebut. Erosi semacam ini dinamakan erosi memipih atau lembaran (sheet erosion). Gully lambat laun berubah menjadi lembah yang makin lama makin dalam. Lembah muda ini biasanya berbentuk huruf V (V shape valley), dasar lembah sempit dan lerengnya terjal. Lembah yang dewasa (mature) dan tua (old) membentuk diri menyerupai huruf U yaitu dengan dasar lembah yang makin rata. Bentuk lembah yang demikian ini dapat pula terjadi akibat pekerjaan es (glacier).
Selain air itu sendiri yang bekerja mengikis secara vertikal di bagian hulu, tepi lembah serta dasar lembah, juga bahan-bahan yang dibawanya ikut mengampelas dasar sungai atau lembah itu sehingga makin lama makin dalam. Kemampuan mengampelas ini ada batasnya yaitu apabila air sudah tidak bergerak lagi, atau bilamana mencapai muka laut. Oleh karena itu permukaan ini dinamakan orang erosion base level. Di bawah muka ini tidak terjadi erosi. Dengan begitu profil dasar sungai atau lembah akan mempunyai bentuk tertentu apabila sudah mencapai keseimbangan yang pada umumya membentuk kurva yang cekung perlahan-lahan. Kadang-kadang sebuah danau atau waduk menahan jalannya air dan menghentikan aktivitas pengampelasan. Karena itu maka air waduk atau air danau itu dinamakan batas dasar sewaktu-waktu atau setempat (temporary or local base level).
Keseimbangan dan bentuk profil dasar lembah atau sungai yang ideal terbentuk jika kekerasan batuan sama di semua tempat (homogen) yang dilalui sungai tersebut. Di alam, keadaan yang demikian jarang dijumpai. Batuan keras akan menonjol dan dinamakan titik jendul (nick point) yang akan menyebabkan pula terbentuknya permukaan dasar erosi setempat di tempat tersebut.
3.2 Pola pengaliran
Pola pengaliran adalah hubungan antara satu sungai dengan sungai lainnya atau hubungan antara air permukaan yang mengalir melalui lembah-lembah. Hubungan tersebut akan membentuk suatu pola atau pattern.
Gambar 3.1. Foto udara high oblique sinklin Silat, Kalimantan, Indonesia (Verstappen, 1977)
Kekerasan batuan di permukaan bumi berlainan di satu tempat dengan tempat lainnya yang tentu saja akan membentuk beraneka ragam jenis pola pengaliran. Kenampakan tersebut dapat dengan jelas dilihat pada peta topografi dan potret udara atau citra satelit. Dari bentuk atau jenis pola itu orang dapat menafsirkan jenis batuan atau gejala struktur geologi lainnya (Gambar 3.1).
Pola pengaliran dasar yang diperlihatkan pada Gambar 3.2 (Howard, 1967; dalam Van Zuidam, 1983), yaitu:
1. Pola pengaliran mendaun (dendritik) terjadi karena kekerasan batuan relatif sama (homogen) dan lereng tidak terlalu curam. Hubungan antar satu sungai dengan sungai lainnya seperti daun atau pohon dengan cabang-cabangnya. Bila sudut antara tiap-tiap cabang sama, maka dinamakan pinnate.
2. Pola pengaliran sejajar (paralel) terjadi seperti pada pola pengaliran dendritik tetapi lereng agak terjal sehingga air bergerak dengan cepat dan tidak sempat bergabung satu sama lainnya, melainkan berjajar.
3. Pola pengaliran menangga (trellis) terdapat di daerah yang terlipat. Kekerasan batuan yang berselang-seling antara yang lemah dan yang keras mengakibatkan sungai berbelok-belok. Kadang-kadang memotong batuan keras dan menyusuri batuan lemah. Sungai dinamakan subsekuen bila menyusuri bagian lemah yang sejajar dengan jurus lapisan batuan, sedangkan konsekuen bila memotongnya. Obsekuen ialah anak sungai yang sejajar dengan sungai konsekuen tetapi bertentangan arah. Sedangkan resekuen ialah anak sungai yang sejajar dan searah dengan sungai konsekuen. Pola ini dapat memberi keterangan tentang daerah terlipat, antiklin, siklin, dan kubah.
4. Pola pengaliran membulat (annular) terjadi pada batuan yang telipat dan lipatannya membentuk kubah (dome).
5. Pola pengaliran memancar (radial) terjadi pada daerah yang terlipat ataupun gunungapi. Terutama pada daerah bergunungapi, pola ini sangat sering dijumpai dan merupakan salah satu ciri utamanya. Sungai-sungai mengalir dari satu pusat ke segala arah, memancar (radial) atau disebut juga centrifugal.
Gambar 3.2. Pola pengaliran dasar (Howard, 1967; dalam Van Zuidam, 1983)
Bila sebaliknya yaitu pola sungai memancar tetapi bearah ke dalam (pusat) disebut dengan pola pengaliran centripetal.
6. Pola pengaliran menyudut terjadi di daerah yang banyak terpatah-patah atau banyak terdapat retakan sehingga sungai terpengaruh oleh letak retakan-retakan tersebut yang merupakan daerah lemah. Bila sudut antara sungai-sungai itu runcing, maka pola pengaliran dinamakan angulate. Sedangkan bila bersudut hampir tegak dinamakan rectangular. Pola pengaliran jenis ini sangat penting peranannya dalam menganalisis struktur geologi suatu daerah untuk eksplorasi mineral.
7. Di daerah berawa-rawa dan dekat muka laut orang biasanya menemukan pola pengaliran deranged atau contorted yaitu pola yang memperlihatkan aliran sungai yang tidak menentu, serta tepi sungai yang tidak jelas, bercampur baur dengan rawa. Di Kalimantan Selatan, sekitar Banjarmasin, pola pengaliran sungai semacam ini sering dijumpai.
8. Pola pengaliran multi-basinal sering dijumpai pada bentuk lahan karst yang didominasi oleh batugamping. Pola tersebut dicirikan oleh aliran sungai yang tidak menerus karena beralih menjadi sungai bawah tanah akibat adanya proses pelarutan.
3.3 Meander
Bila sungai berada jauh di atas permukaan dasar erosi (erosion base level) maka tenaga erosi tegak (vertical erosion) jauh lebih besar dari pada tenaga erosi horisontal. Akan tetapi segera air mendekati permukaan dasar ini sehingga tenaga tersebut menjadi berimbang dan akhirnya tenaga horisontal akan menjadi lebih besar.
Proses tersebut mengakibatkan pengikisan tidak berjalan tegak atau ke bawah melainkan mendatar atau ke samping mengakibatkan sungai menjadi berbelok-belok. Sungai yang berbelok-belok membentuk huruf U ini dinamakan sungai bermeander. Kadang-kadang suatu meander berbentuk sedemikian rupa sehingga membentuk danau tapal kaki kuda (oxbow lake). Pengendapan terjadi di belakang arus suatu meander yang terlindung, di sini tepi sungai bertambah dan bekas pertumbuhan meander itu (meander scroll) masih terlihat. Gambar 3.3 menunjukkan beragam bentuk lahan yang terbentuk di sekitar sungai bermeander.
Gambar 3.3. Bentuk lahan di sekitar sungai bermeander
(Gregory & Walling, 1979; dalam Van Zuidam, 1983)
3.4 Endapan sungai
Endapan sungai terjadi karena daya angkut air berkurang akibat mendekati permukaan dasar erosi ataupun karena perubahan arus. Pengendapan membentuk apa yang disebut endapan sungai nusa ataupun bar. Berdasarkan bentuk nusa dan letaknya dapat menafsirkan arah aliran sungai (Gambar 3.3).
BENTANGALAM
DAERAH TERLIPAT
Batuan endapan terbentuk dengan cara pengendapan bahan-bahan yang dibawa oleh air. Oleh karena itu, pada waktu pembentukannya batuan endapan berada dalam keadaan mendatar atau horisontal. Keanekaragaman bahan mempengaruhi batuan endapan sehingga akan terbentuk berlapis-lapis dan perlapisannya terletak secara horisontal.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam posisi normal makin ke arah atas letaknya maka dengan sendirinya makin muda. Dalam stratigrafi, hukum tersebut dinamakan hukum superposisi. Bila tenaga asal dalam (endogen) bekerja pada daerah itu maka batuan endapan akan mengalami gangguan. Mungkin letaknya tidak horisontal lagi atau justru terlipat membentuk lipatan (fold) baik antiklin maupun sinklin, atau bahkan tersesarkan (fault). Sebagai akibat dari kekerasan batuan endapan yang berlainan antara satu lapisan dengan lapisan lainnya, maka batuan semacam ini membentuk bentangalam tersendiri yang khas. Erosi akan mengambil bagian di tempat-tempat lemah yaitu pada batuan yang lunak dan bagian yang keras akan menonjol membentuk bukit-bukit. Biasanya bukit ini memanjang sejajar dengan arah pelapisan.
Dengan cara mengetahui bentuk bentangalamnya, mengetahui arah lembah dan sistem perbukitannya dapat dengan mudah ditafsirkan batuan dan struktur geologi yang ada di daerah tersebut. Bentangalam ini kadang-kadang terlihat dengan mudah pada peta topografi dan potret udara atau citra satelit.
4.1 Pola pengaliran dan perlembahan
Erosi berlangsung secara intensif di daerah-daerah atau batuan yang lunak. Di daerah ini pada umumnya akan membentuk lembah-lembah. Di dalam batuan sedimen yang terlipat, perselingan antara batuan yang keras dan lunak acapkali
Gambar 4.1. Tahapan perkembangan erosi pada bentang alam terlipat. An = antiklin, Sy = sinklin, L = danau, AV = lembah antiklinal, SV = lembah sinklinal, WG = watergap, AM = pegunungan antiklinal, SM = pegunungan sinklinal (Strahler & Strahler, 1984)
terjadi. Karena itu lembah-lembah terjadi berselang-seling dengan bukit-bukit yang memanjang menggambarkan pelapisan batuan (Gambar 4.1). Lapisan yang terlipat membentuk sinklin ataupun antiklin akan terlihat dengan jelas dari penyebaran lembah dan bukit-bukit ini. Antiklin yang menunjam biasanya terlihat jelas dari pola penyebaran bukit dan lembahnya yang berbentuk kaki kuda tempat penunjaman atau dinamakan juga hidung lipatan (antiklin ataupun sinklin).
Pola pengaliran pada bentangalam batuan terlipat pada umumnya adalah pola pengaliran menangga (trellis) yang sudah diterangkan dalam bagian yang lalu. Pada pola ini dikenal adanya sungai subsekuen, konsekuen, obsekuen, dan resekuen.
Bila daerahnya tidak mantap dan sungai mengikis di daerah yang terangkat, maka sungai ini akan mengikis lebih dalam dan membentuk lembah yang sempit. Kadang-kadang undak (teras) ditemukan di lembah tepi sungai ini. Sungai semacam ini dinamakan sungai antisedan (anticedant), sebagai contoh sungai Cikapundung yang memotong sesar Lembang di Maribaya.
Bila bentuk pola pengaliran ini membulat, maka kemungkinan besar menggambarkan dome atau kubah, sedangkan bila lonjong mungkin sekali antiklin atau sinklin. Di Indonesia, kemungkinan ke dua lebih sering dijumpai. Daerah bentangalam terlipat yang memperlihatkan pola pengaliran, sistem perlembahan dan perbukitan yang khas seperti diuraikan di atas dapat dijumpai sepanjang bagian Timurlaut Sumatera, pegunungan Kendeng dan Rembang, Madura, dan Kalimantan Timur.
4.2 Perbukitan atau punggungan (ridge)
Sebagaimana sudah diuraikan di muka, perbukitan di daerah terlipat dapat memanjang dan menggambarkan perlapisan, sehingga dapat diketahui bentuk perlapisannya. Selain itu pada bukit ini dapat pula ditafsirkan atau lebih jauh diukur besar kemiringannya.
Perlapisan yang miring agak besar yaitu kira-kira sekitar 45º akan menghasilkan kedua lereng pegunungan yang sama terjal. Punggungan semacam ini dinamakan hogback. Pelapisan yang agak landai pada umumnya menghasilkan bukit atau punggungan yang tidak simetris, salah satu lerengnya lebih landai. Lereng yang landai ini biasanya memperlihatkan arah dip, sedangkan lereng yang terjal menunjukkan arah sebaliknya. Pada lereng ini kemiringan (dip) dapat diukur. Bentuk punggungan semacam ini dinamakan cuesta. Cuesta dengan mudah dapat dikenal pada peta topografi atau pun pada potret udara dan citra satelit.
Daerah-daerah yang terlipat di Indonesia pada umumnya merupakan tempat terkumpulnya atau perangkap minyak bumi. Dengan sendirinya persyaratan-persyaratan lain untuk terdapatnya minyak bumi harus terpenuhi. Sebagai contoh dapat diambil, sepanjang Sumatera sebelah Timurlaut, Rembang, Madura-Kangean, dan Kalimantan Timur. Daerah yang membentuk dome (kubah garam) di Pantai Teluk Meksiko (Amerika) dan Iran sangat terkenal sebagai tempat terkumpulnya minyak bumi.
BENTANGALAM
DAERAH TERSESARKAN
Patahan atau seringkali juga disebut sesar (fault) adalah gejala geologi yang berhubungan dengan pergerakan kulit bumi. Bila sesar ini sampai ke permukaan bumi maka akan mempengaruhi bentuk roman muka bumi di tempat itu, dengan demikian mempengaruhi bentuk bentangalam. Bila dapat mengetahui bentuk bentangalam maka dapat pula ditafsirkan adanya pensesaran di suatu daerah.
Sesar dapat dibagi atas sesar naik, sesar normal, dan sesar mendatar atau sesar geser jurus (strike-slip fault, wrench fault, tear fault) tergantung kepada arah pergerakan. Sesar naik dijumpai bila blok di bawah bidang patahan bergerak relatif ke atas, sedangkan pada sesar normal terjadi sebaliknya. Pada sesar geser jurus dan sesar mendatar, atau disebut juga sesar horisontal, gerakanterjadi bersesuaian dengan arah jurus. Gerakan ini adalah gerakan mendatar. Bila blok relatif bergerak ke kiri dalam hal kita menghadap bidang patahan, dinamakan sinistral, sedangkan sebaliknya dinamakan dextral. Pada umumnya sesar yang dijumpai di alam merupakan gabungan antara gerakan-gerakan tersebut.
5.1 Gawir (scarp)
Pengaruh sesar terhadap bentangalam suatu daerah terutama sangat jelas pada bidang sesar. Tempat ini biasanya merupakan tempat yang lemah dan lunak, dan biasanya menjadi sasaran erosi. Oleh karena itu, pada daerah yang tersesarkan atau retakan biasanya terbentuk lembah yang lurus dan memanjang.
Pada sesar normal, biasanya bidang patahan membentuk gawir (scarp) yang berupa dinding miring. Pada dinding ini biasanya orang menemukan garis-garis geseran (scretch) yang menunjukkan adanya patahan. Pada umumnya dinding ini memperlihatkan pula bentuk deretan segitiga oleh karena beberapa bagian telah dikerat membentuk lembah. Bentuk ini dinamakan triangular facets. Fenomena ini diperlihatkan oleh Gambar 1.2 pada BAB 1. Pada Gambar 5.1 tampak bentuk bentangalam akibat pensesaran.
Gambar 5.1. Beragam bentuk bentang alam akibat tektonik
(Strahler & Strahler, 1984)
Kadang-kadang dijumpai pasangan-pasangan sesar saling berhadapan dan bagian yang turun membentuk lembah. Gawir dan ‘triangular facets’ terdapat pada kedua dinding lembah itu. Lembah ini berukuran jauh lebih besar daripada lembah yang dihasilkan oleh erosi, dan mempunyai dasar yang rata. Sistem pergeseran yang turun sedangkan sebaliknya dinamakan sembul atau horst. Contoh ‘graben’ yang terkenal ialah Graben Rhine di Jerman dan Semangko di Sumatra.
Sesar biasanya terdapat dalam bentuk majemuk, bergabung satu sama lainnya. Sesar menangga (step fault) adalah sesar yang membentuk tangga seperti tangga rumah, yaitu satu sama lainnya sejajar dan berundak-undak. Kadang-kadang sesar majemuk ini juga membentuk genting yang menumpuk satu sama lainnya. Sesar semacam ini dinamakan echelon.
Semua sesar yang diuraikan di atas dapat tercermin dengan jelas pada gawir yang menyembul di permukaan bumi.
5.2 Pola pengaliran
Sesar pada umumnya menghasilkan gawir dan daerah sesar merupakan daerah lemah sehingga mudah tererosi, maka patahan akan mempengaruhi sistem pengaliran air permukaan atau drainage pattern. Pola pengaliran menyudut (angulate) dan menegak (angular) terdapat di daerah yang mempunyai banyak patahan dan retakan yang tergabung dalam satu sistem, umpamanya membentuk sudut 45º pada pola pertama, dan 90º pada pola yang disebut terakhir. Biasanya sistem sesar dan sistem pengaliran ini terdapat pada batuan granit, batugamping, dan batuan terlipat yang menghasilkan retak-retak akibat tekanan sebagai penyebab lipatan tersebut.
Selain itu sesar yang menghasilkan gawir seolah-olah akan membendung pengaliran dan membelokkan sungai. Contoh yang paling baik adalah sungai Cikapundung yang pada mulanya tersebar di kaki gunung Tangkubanperahu kemudian menabrak gawir sesar Lembang yang membentang barat-timur melalui tepi selatan kota Lembang dan Maribaya, sehingga sungai-sungai itu berjalan sepanjang sesar dan bersatu kembali untuk bersama-sama menerjang gawir di daerah Maribaya dan membentuk kembali sungai Cikapundung yang kemudian mengalir melalui kota Bandung. Pola demikian dapat digolongkan sebagai pola pengaliran sub-menangga (sub-trellis).
Bila sesar geser lurus masih bekerja dan sungai sudah mengalir sewaktu sesar itu mulai terjadi, maka biasanya sungai membelok seolah-olah berhenti kemudian membelah mengikuti patahan untuk sementara, kemudian meninggalkan sesar itu lagi meneruskan perjalanan pada arah asalnya. Pada peta topografi dan potret udara / citra satelit tingkah laku sungai semacam ini dapat dilihat dengan jelas, sehingga apabila melihat bentuk sungai yang demikian maka dengan mudah dapat ditafsirkan kemungkinan adanya patahan geser-lurus yang masih aktif. Contoh sesar demikian di Indonesia ialah sesar sepanjang Bukit Barisan di Sumatera, sesar Palu Koro di Sulawesi Tengah, dan sesar Gorontalo di Sulawesi Utara.
Gambar 5.2. Citra Landsat TM menunjukkan pola pengaliran
di sekitar sesar Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
(atas perkenan Sidarto, P3G, 2004)
Tidak semua sesar dapat mempunyai indikasi ekonomi. Akan tetapi banyak mineral-mineral berharga ditemukan pada sistem persesaran, terutama pada perpotongan sesar-sesar. Ini terutama disebabkan daerah itu merupakan daerah lunak dan lemah yang mudah diterobos magma dalam proses hydrothermal yang menghasilkan mineral-mineral. Endapan tembaga yang terkenal di Nevada, Amerika Serikat, pada umumnya terdapat dalam perpotongan sistem persesaran, demikian pula halnya di Alaska. Dengan mengetahui pola pengaliran, dapat dianalisis sistem persesaran, dengan demikian dapat pula meramalkan dan menemukan endapan mineral berharga.
Patahan biasanya juga ditandai dengan keluarnya mataair panas maupun biasa. Mataair panas dapat menjadi sumber pemasukan bagi PAD setempat melalui pengembangan pariwisata. Mataair biasa sangat penting peranannya untuk kehidupan manusia dan pertanian.
BENTANGALAM KARST
Bentangalam karst termasuk bentuk bentangalam yang penting, dan banyak pula ditemukan di Indonesia. Bentuk ini sangat erat berhubungan dengan batuan endapan yang mudah melarut. Oleh karena itu dengan mengetahui bentuk bentangalamnya, pada umumnya orang dapat mengetahui jenis batuannya, terutama juga oleh karena bentuk bentangalam karst sangat karakteristik dan mempunyai tanda-tanda yang mudah dikenal baik di lapangan, pada peta topografi maupun pada potret udara dan citra satelit. Bentangalam ini terutama memperlihatkan lubang-lubang, membulat atau memanjang, gua-gua dan bukit-bukit yang berbentuk kerucut. Di dunia, daerah yang ditutupi bentangalam karst tersebar di Perancis Selatan, Spanyol Utara, Belgia, Yunani, Jamaika, beberapa negara Amerika Selatan, dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat (Tenesse, Indiana, Kentucky). Sebenarnya kata karst berasal dari nama suatu pegunungan di Yugoslavia yang berbentangalam spesifik ini.
Di Indonesia bentangalam karst dapat ditemukan di beberapa daerah di pulau Jawa, yaitu Jampang di Selatan Jawa Barat, pegunungan Sewu di Kulon Progo Jawa Tengah, daerah perbukitan Rembang di Jawa Timur, dan beberapa daerah di Sulawesi Tengah. Di Irian Barat bentangalam karst ditemukan di Kepala Burung pada formasi Klasafet, sedangkan di Sumatera ditemukan, terutama di Sumatera Selatan dan Aceh.
6.1 Terjadinya bentuk bentangalam karst
Bentangalam karst terbentuk karena batuan muda dilarutkan dalam air dan membentuk lubang-lubang. Bentangalam ini terutama terjadi pada wilayah yang tersusun oleh batugamping yang mudah larut, dan batuan dolomit atau gamping dolomitan. Akibat pelarutan yang memegang peranan utama, maka air sangat penting artinya. Bentangalam karst biasanya berkembang di daerah yang mempunyai curah hujan cukup.
Di samping itu, pelarutan maksimum dapat terjadi bila air tidak mencapai jenuh akan karbonat. Air yang mengalir dapat menciptakan keadaan ini. Air yang mengandung CO2 (gas) akan lebih mudah melarutkan batugamping. Di bawah ini diperlihatkan reaksi kimia yang menghasilkan pelarutan tersebut.
H2O + CO2 -><- H2CO3
2H2CO3 + CaCO3 -><-Ca(HCO3)2 + H2
(larut) (gas)
Gambar 6.1. Reaksi kimia dan keseimbangannya
pada proses pelarutan batugamping
Bila Ca(HCO3)2 terkena udara kembali maka berarti ada penambahan H2 dari udara, oleh karena itu keseimbangan reaksi akan bergerak ke kiri dan akan terbentuk kembali CaCO3 yang mengendap. Reaksi tersebut kemudian menerangkan terbentuknya stalaktit dan stalakmit yang dikenal dalam gua-gua di daerah kapur. Oleh karena itu, syarat penting untuk terbentuknya kedua jenis endapan ini ialah adanya persediaan H2 secara terus-menerus yang dapat diperoleh apabila udara dapat mengalir di dalam gua itu. Udara yang segar selalu menggantikan udara yang berada di dalam gua.
6.2 Karakteristik bentangalam karst
Gejala-gejala yang khas sebagai karakteristik bentangalam karst diantaranya adalah terra rossa, lapies, sinkholes, dll (Thornbury, 1969). Berikut ini pembahasan secara umum karakteristik tersebut.
a. Terra rossa dan lapies
Bila batugamping sudah terlarut biasanya akan meninggalkan bagian-bagian yang tidak dapat larut dalam air, oleh karena itu akan terbentuk persenyawaan karbonat. Pada umumnya sisa-sisa ini berkomposisi besi, berwarna merah atau merah coklat. Sisa-sisa ini dinamakan terra rossa (Gambar 6.2). Sisa yang masih mengandung banyak karbonat biasanya berwarna hitam atau merupakan pelapukan batugamping. Bila batuan terlarut tidak meninggalkan sisa-sisa, maka daerah itu tidak mempunyai tanah penutup dan menghasilkan bentuk permukaan yang kasar dan kadang-kadang memperlihatkan garis-garis bekas pelarutan. Bentuk – bentuk tersebut dinamakan lapies (Gambar 6.3).
Gambar 6.2. Terra rossa di bagian atas batugamping, beberapa kekar tampak makin melebar akibat proses pelarutan (Thornbury, 1969).
Gambar 6.3. Kenampakan lapies di dekat Mitchell, Indiana, USA
(Thornbury, 1969).
b. Lubang tenggelam (sinkholes), doline, uvala, gua, stalaktit dan stalakmit.
Pelarutan pada umumnya berlangsung di daerah-daerah yang lunak, terutama pada perlapisan, sepanjang retakan dan pada perpotongan retakan-retakan. Lubang ini kemudian membesar di bagian bawah akibat air terkumpul di sini, dan pada suatu ketika bagian atas batuan akan runtuh sehingga terbentuk lubang yang besar dan terbuka. Lubang ini dinamakan doline (berasal dari Bahasa Serbia “dolines”) bila bentuknya membulat atau uvala bila bentuknya memanjang. Tempat sungai masuk ke dalam tanah sebelum menjadi sungai bawah tanah dinamakan lubang tenggelam (sinkholes), atau lubang masuk. Pada akhirnya sungai bawah tanah ini akan muncul kembali dan dinamakan mata air atau sumber air (spring) atau pemunculan (rise). Tempat pemunculan ini sangat penting dan sering dipakai sebagai sumber pengairan. Kadang-kadang tidak terlihat adanya lubang masuk yang menghasilkan sungai bawah tanah ini. Air terkumpul dari banyak tempat peresapan melalui celah-celah. Bila pada suatu waktu air tidak ada lagi maka terbentuklah terowongan-terowongan bekas sungai dan gua-gua. Gua dapat juga terbentuk oleh karena doline yang runtuh dan membentuk rongga. Di dalam gua ini, jika persyaratan memenuhi seperti diuraikan di muka, akan terbentuk stalactites, tiang-tiang karbonat yang terbentuk di bagian atap gua, dan stalagmites yang tumbuh di bagian lantai gua.
c. Bukit kerucut (conical hills)
Sisa-sisa erosi dan daerah yang belum terlarut karena letaknya di bagian yang keras, misalkan relatif tidak retak dan tidak berlapis serta kompak, akan membentuk bukit-bukit seperti kerucut. Daerah-daerah yang lemah karena retakan berkembang menjadi doline dan akhirnya satu doline menyambung dengan doline lainnya sehingga terbentuk sisa-sisa berupa bentuk kerucut (conical hills, pepino hills (Puerto Rico), hums, mogotes (Cuba)). Bentuk ini merupakan bentuk yang paling mantap dan tahan terhadap pelarutan dan erosi.
Letak bukit kerucut biasanya teratur karena letak retakan yang dilarutkan pun biasanya teratur pula dalam suatu sistem peretakan. Dari letak bukit-bukit ini biasanya dapat dianalisis sistem retakan di suatu daerah karst dan kemudian untuk mengetahui arah tekanan atau gaya-gaya yang berpengaruh di daerah tersebut.
Pada peta topografi, potret udara atau citra satelit dengan mudah bukit-bukit ini dikenali, terutama karena ketinggiannya yang cukup memadai sehingga tampak pada peta berskala 1:25.000 bahkan 1:100.000. Di Indonesia bukit-bukit ini mempunyai tinggi berkisar antara 3 sampai beberapa puluh meter.
Gambar 6.4. Ilustrasi bentangalam karst di Indiana bagian selatan, USA (Thornbury, 1969)
Potensi ekonomi di wilayah karst diantaranya endapan fosfat, terra rossa, dan bahan bangunan. Di gua-gua sering terdapat onggokan fosfat hasil reaksi kimia antara kotoran burung penghuni gua dengan karbonat. Endapan ini dapat dipakai untuk bahan pupuk. Terra rosa yang mengandung kadar besi tinggi ditambang kandungan bijih besinya. Dewasa ini masih dipersoalkan untuk pengambilan aluminium yang mungkin dikandung terra rossa dalam jumlah amat sedikit. Bentangalam karst terbentuk di daerah batugamping, oleh karena itu bahan bangunan batugamping mudah diperoleh baik untuk industri kecil (pembakaran batugamping) ataupun bahan semen. Patut diperhatikan kemungkinan adanya gua-gua yang sangat memegang peranan dalam perhitungan jumlah cadangan. Gua ini kadang-kadang tidak tampak di permukaan dan menyebabkan kesalahan perhitungan jumlah cadangan.
Perencanaan tataletak bangunan, jalan, ataupun waduk harus memperhatikan kemungkinan adanya retak-retak yang mempermudah pelarutan batugamping ataupun adanya gua-gua yang dapat menggangu fondasi.
BENTANGALAM PANTAI
Bagian ini terutama akan membicarakan bentuk-bentuk geomorfologi pantai beserta cara terjadinya dan penyebabnya. Selain pantai laut juga akan disinggung tentang pantai danau.
Ada tiga macam gerakan air laut yang menyebabkan proses gradasi pada permukaan bumi, yaitu gelombang, arus, dan pasang-surut. Pasang surut sebenarnya sangat sedikit pengaruhnya.
Angin adalah penyebab utama terjadinya gelombang. Kecepatan, besarnya daerah yang tertiup angin (fetch), dan lamanya angin bertiup menentukan besarnya gelombang. Istilah-istilah yang dipakai dalam mengukur besarnya gelombang sama dengan istilah yang dipakai dalam ilmu fisika, yaitu panjang gelombang, tinggi gelombang, dan waktu gelombang (getaran), serta kecepatan gelombang. Oleh karena fetch di danau pada umumnya tidak cukup luas, maka gelombang besar jarang terjadi. Gelombang paling besar yang pernah tercatat, yaitu yang mempunyai tinggi gelombang sebesar 16 meter, ditimbulkan oleh fetch paling tidak sebesar 1000 kilometer (Kuenen, 1950; dalam Thornbury, 1969)
Ada dua macam gelombang yang dikenal yaitu gelombang osilasi (wave of oscillation) dan gelombang translasi (translation). Yang pertama terjadi di tempat-tempat yang dalam sehingga dasar lautan tidak berpengaruh terhadap gelombang ini. Sedangkan yang kedua terjadi di tempat-tempat yang dangkal di tepi pantai. Pada gelombang pertama tidak terjadi gerakan air secara mendatar, akan tetapi pada gelombang translasi gerakan air yang dominan adalah gerakan mendatar sehingga terjadi pengikisan terhadap pantai dan dasar laut dangkal. Perubahan antara kedua jenis gelombang itu menimbulkan pengosongan dan pengumpulan massa air, karena itu di sini gelombang menjadi pecah atau rebah (surf). Tempat ini menunjukkan perubahan kedalaman dasar laut. Gelombang translasi mempunyai dua fungsi yaitu pengikisan pantai dan pengendapan kembali di tempat-tempat yang rendah serta pengikisan dasar pantai yang terletak di atas “dasar gelombang” (wave base). Dasar gelombang adalah tempat terdalam, yang mana pengaruh gelombang masih terasa. Pengikisan dasar pantai pada waktu air bergerak ke arah pantai dinamakan debak (wash), sedangkan pada waktu kembali menjauhi pantai disebut pencucian balik (backwash) ditampilkan pada Gambar 7.1 di bawah ini.
Gambar 7.1. Ilustrasi wash dan backwash akibat pergerakan air di pantai
(Strahler & Strahler, 1984).
Selain oleh angin gelombang dapat ditimbulkan pula oleh gempa bumi yang terjadi di dasar laut. Acapkali gelombang itu mempunyai ukuran yang besar dan dapat melanda pantai serta menimbulkan banjir dan bencana di daerah pantai. Gelombang semacam ini dinamakan tsunami. Pada 26 Desember 2004 telah terjadi tsunami di lepas pantai NAD dan Sumatera Utara dengan sumber gempabumi terletak sekitar 149 arah selatan dari Meulaboh. Ketinggian gelombang tsunami mencapai 2-10 m. Gempabumi penyebab tsunami diketahui memiliki kedalaman pusat gempa sekitar 20 km di bawah Samudera Hindia. Beberapa pusat pengukuran gempabumi menaksir kekuatan gempa mencapai 6,9 – 9,1 R. Wilayah yang terkena bencana meliputi Srilanka, India, dan Indonesia (Gambar 7.2). Indonesia merupakan wilayah yang mengalami kerusakan paling parah dengan korban jiwa mencapai lebih dari 200 ribu orang (Gambar 7.3).
Gambar 7.2. Penyebaran pengaruh tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 di kawasan Asia Selatan (Sudradjat, 2005)
Gambar 7.3. Kerusakan akibat tsunami
di kawasan Penayung, Banda Aceh, NAD (PR, 2005).
Arus (current) dibedakan dari gelombang oleh karena di sini terjadi pemindahan massa air. Penyebabnya bermacam-macam, akan tetapi yang mempunyai arti dalam geomorfologi adalah yang ditimbulkan karena angin. Apabila arus ini menabrak pantai dengan posisi miring maka akan timbul arus sepanjang pantai (longshore current) yang akan mempengaruhi pembentukan pantai. Pantai sedikit demi sedikit bergeser sepanjang garis pantai sebagai hasil kerja arus semacam ini (longshore drifting) ditampilkan pada Gambar 7.4.
Gambar 7.4. Fenomena longshore current dan longshore drifting
(Strahler & Strahler, 1984)
Selain oleh angin, arus dapat pula ditimbulkan karena adanya pasangsurut (tidal current). Oleh karena permukaan air laut yang berlainan antara satu tempat dengan tempat lainnya maka akan terjadi arus dari tempat pasang ke tempat surut terutama melalui selat-selat, sebagai contoh selat-selat di antara pulau di Nusa Tenggara. Arus yang ditimbulkan oleh pasangsurut inipun berpengaruh pula terhadap pembentukan pantai. Tidal bore adalah bagian muka arus yang terjadi karena pasangsurut. Tidal bore biasanya berpengaruh dalam pengikisan pantai dan pembentukan endapan laut.
7.1 Erosi pantai
Gelombang yang menghempas ke arah pantai dapat merusak pantai tersebut, akibatnya pantai sedikit demi sedikit menjadi mundur posisinya ke arah darat. Pantai yang demikian dinamakan pantai yang mengalami pemunduran atau abrasi (abration). Di Indonesia pantai yang mengalami abrasi umpamanya pantai Sumatera Barat (sekitar Padang) dan pantai Teluk Jakarta.
Muara sungai pada umumnya menumpahkan bahan-bahan yang dibawa sungai ke laut. Akibat perubahan kecepatan air sungai yang terjadi di muara maka bahan-bahan yang terangkut ini segera mengendap, dan membentuk pantai yang tumbuh atau mengalami akresi (accretion). Pada pengikisan pantai terjal mula-mula terjadi bagian yang melekuk pada mukalaut, kemudian lama-kelamaan pantai itu runtuh dan mundur sedikit demi sedikit.
7.2 Pantai tumbuh
Pantai tumbuh terjadi di tempat-tempat pengendapan bahan-bahan yang dibawa sungai atau dibawa arus laut itu sendiri. Sungai ini membentuk delta dan bahan-bahan yang dibawanya mengendap pula di depan pantai. Pantai yang demikian dinamakan pantai tumbuh atau mengalami akresi. Di Indonesia pantai yang tumbuh terutama dikenal di pantai-pantai Selat Malaka dan Laut Jawa.
Pengendapan yang terjadi di depan pantai terdiri dari bermacam-macam jenisnya. Bar adalah endapan di muka pantai yang kira-kira hampir sejajar pantai. Cuspate bar adalah salah satu jenis bar yang menyudut atau membentuk semacam taji terhadap pantai, sedangkan tombolo menghubungkan pantai dengan pulau kecil di depan pantai yang pulau ini juga terbentuk dengan cara pengendapan. “Pematang pantai” adalah endapan yang terbentuk pada pantai sepanjang garis pantai dari bahan-bahan hasil pengikisan pantai atau bahan-bahan yang dibawa sungai yang dimuntahkan ke laut.
7.3 Klasifikasi bentuk pantai
Pantai dapat digolongkan menjadi 4 golongan besar, yaitu (1) pantai naik (emergence coast), (2) pantai turun atau tenggelam (submergence coast), (3) pantai statis (neutral coastline), dan (4) pantai gabungan (compound coastline) yang dikemukakan oleh Johnson pada tahun 1919 (dalam Thornbury, 1969).
(1) Pantai naik (emergence coast)
Pantai naik bercirikan garis pantai yang relatif rata, oleh karena dasar laut yang hampir rata dan tidak mengalami erosi serta mengalami pengendapan, terangkat ke atas mukalaut. Kalaupun berbelok-belok, maka belokan ini halus dan rata serta perlahan. Pantai naik tidak dapat dicampurbaurkan dengan pantai maju. Pada pantai maju penambahan pantai terjadi karena pengendapan. Pantai naik yang terbentuk karena patahan pada umumnya berbentuk lurus tetapi terjal.
(2) Pantai turun (submergence coast)
Pada pantai turun, bagian daratan yang sudah tererosi dan membentuk lembah-lembah serta roman muka yang tidak rata tenggelam di bawah mukalaut. Garis pantai menjadi berkerinyut dan banyak berbelok-belok tidak teratur. Pantai inipun jangan disamakan dengan pantai yang terdiri dari batuan yang keras sehingga membentuk pantai tidak teratur. Biasanya yang disebutkan terakhir membentuk pantai yang terjal.
Gambar 7.5. Pantai turun di Pelabuhan Whangaroa, bagian timur laut Auckland, New Zealand (Thornburry, 1969)
(3) Pantai statis (neutral coastline)
Pada pantai statis tidak terjadi pengendapan di muka pantai serta pertumbuhan dan pemunduran pantai, seperti diuraikan dalam bagian (1) dan (2) di atas. Karakteristik pantai ini diantaranya terbentuk delta, dataran aluvial, bersifat vulkanik, dan coral reef tumbuh dengan baik.
(4) Pantai gabungan (compound coastline)
Pantai ini mengalami proses gabungan, pada periode tertentu mengalami penurunan, pada periode lain mengalami penaikan. Oleh karena itu, karakteristik pantai naik dan turun keduanya ditemukan pada jenis pantai ini.
BAB 8
BENTANGALAM VULKANIK
Gunungapi terbentuk sebagai salah satu pekerjaan tenaga asal dalam. Pada umumnya pembentuk gunungapi merupakan proses membangun sebagai kebalikan proses perusakan yang dilakukan oleh tenaga asal luar. Pada kegiatan gunungapi atau vulkanik dihasilkan rempah-rempah gunungapi atau bahan-bahan gunungapi berupa lava, pasir gunungapi, lapili, debu gunungapi (tufa) dan bahan-bahan lainnya yang dilemparkan atau dimuntahkan pada waktu peletusan. Bersama-sama dengan air yang terdapat di permukaan bumi atau air hujan, hasil-hasil gunungapi ini dapat bergerak atau longsor karena beratnya sendiri atau menghasilkan aliran lumpur (mudflow) atau lahar yang mengalir melalui daerah-daerah yang rendah yaitu sungai ataupun lembah. Di Indonesia bahaya lahar dikenal sebagai bahaya sekunder yang efeknya lebih besar daripada bahaya primer yaitu letusan gunungapi itu sendiri.
Gunungapi dapat kita bagi atas gunungapi aktif, gunungapi beristirahat (dormant) gunungapi padam (extinct). Di Indonesia hampir ketiganya dikenal. Selain itu terdapat pula pembagian berdasarkan waktu peletusannya dan jenis peletusannya. Akan tetapi kedua dasar pembagian ini tidak mempengaruhi bentuk bentangalam. Di sini yang sangat berpengaruh pada bentuk bentangalam gunungapi adalah umur gunungapi dan jenis rempah-rempah yang dihasilkan gunungapi tersebut.
Gunungapi di dunia tersebar dalam beberapa pola. Yang paling dikenal ialah apa yang disebut Jalur Api Pasifik yang melingkari Lautan Pasifik mulai dari Amerika Selatan sampai ke New Zealand melalui Amerika Utara, Kepulauan Aleut, Kamsatka, Kuril, Jepang, Filipina, Sulawesi, Maluku Utara, Pulau-pulau Solomon, Kaledonia Baru, dan akhirnya Selandia Baru.
Di Indonesia gunungapi tersebar sepanjang jalur gunungapi atau jalur dalam, mulai dari Aceh menyusur Sumatera terus ke Jawa, pulau-pulau di Nusa Tenggara dan pulau-pulau di Maluku selatan, melingkari Laut Banda, Sulawesi Selatan, Tengah dan Utara. Satu kelompok lain terdapat di daerah Maluku Utara yaitu sebelah barat Halmahera. Ada kurang lebih 70 buah gunungapi yang digolongkan sebagai gunungapi tipe A, yaitu yang meletus sepanjang sejarah, atau diketahui manusia (Sudradjat, 1997).
Bentuk bentangalam gunungapi lebih banyak dipengaruhi oleh bahan-bahan yang dihasilkan gunungapi dan yang membentuk badan gunung tersebut. Hasil-hasil gunungapi diantaranya adalah lava, bongkah, scoria, lapili, pasir gunungapi, debu gunungapi dan lahar. Lahar merupakan banjir lumpur dan bahan-bahan lainnya yang terbawa oleh air hujan dan meluncur di lereng-lereng gunung melalui lembah-lembah. Temperatur lahar dapat tinggi sekali sehingga amat berbahaya. Pada umumnya bahaya yang terbesar yang disebabkan oleh gunungapi di Indonesia ialah bahaya lahar, yang disebut juga sebagai bahaya sekunder. Oleh karena lahar itu merupakan banjir lumpur maka bentangalam yang dihasilkan sangat halus, lereng landai dan membentuk lidah mengikuti lembah-lembah. Lava biasanya membentuk permukaan yang tidak rata, berbongkah-bongkah dan secara keseluruhan membentuk lidah-lidah.
8.1 Gunungapi strato
Hasil gunungapi yang bermacam-macam ini dapat sekaligus dihasilkan oleh suatu gunungapi sehingga terdapat perlapisan antara satu jenis hasil gunungapi dengan jenis lainnya. Oleh karena itu, gunungapi jenis ini dinamakan gunungapi strato atau majemuk. Biasanya membentuk seperti kerucut, dengan sudut lereng sekitar 20º – 30º di bagian tengah dan lebih terjal di puncak. Sedangkan di bagian kaki yang pada umumnya terbentuk dari lahar, lereng biasanya landai. Gunungapi semacam ini yang terutama terdapat di Indonesia.
8.2 Gunungapi tameng
Bila lava merupakan hasil utama suatu gunungapi maka pada umumnya gunungapi semacam ini akan landai dan membentuk seperti tameng akibat lava membeku dengan perlahan-lahan dan oleh karena itu lebih cenderung untuk melebar ke semua arah daripada menumpuk. Kecuraman lereng tergantung dari kekentalan lava. Lava yang berkomposisi lebih basa biasanya lebih cair dan dapat bergerak lebih jauh sehingga bentuk gunungapi menjadi sangat landai dan luas. Sedangkan lava yang kurang basa menghasilkan gunungapi yang lebih berlereng besar dan daerah penyebarannya lebih kecil.
8.3 Cindercone
Kadang-kadang gunungapi atau letusannya dapat menghasilkan debu saja, dan debu ini teronggok di tepi tempat letusan, membentuk bukit yang membulat dengan bagian tengahnya melekuk. Bentuk semacam ini disebut cindercone.
Pada puncak gunungapi sering dikenal adanya lubang kepundan dan sebagian puncaknya runtuh membentuk lekukan. Lekukan ini dikenal dengan nama kawah (crater) yang terjadi pada waktu letusan atau sesudahnya. Jika kawah mempunyai ukuran yang sangat besar, seringkali dinamakan kaldera.
Erupsi yang berasal dari satu tempat memusat dinamakan erupsi sentral, lain halnya dengan erupsi celah yang melalui celah berbentuk memanjang (fissure eruption).
Leher gunungapi (volcanic neck) adalah pipa kepundan gunungapi yang tertinggal sebagai sisa erosi dan membentuk semacam leher atau tiang besar karena badan gunungapi sebagai penutupnya telah terkelupas dan habis dimakan erosi.
Gambar 8.1. Volcanic neck di Shiprock, New Mexico (Thornbury, 1969)
Potensi ekonomi yang terdapat pada bentangalam vulkanik, diantaranya adalah panas bumi, endapan yarosit, belerang, mataair panas, dll.. Tenaga panas bumi dapat membuat air bawah permukaan menjadi uap, bertenaga besar dan dapat memutar turbin untuk pembangkit tenaga listrik. Di Indonesia sekarang ini sedang giat dilakukan eksplorasi tenaga panas bumi. Endapan Yarosit yang terlarut dalam air panas terdapat di daerah gunungapi dapat dipakai untuk bahan cat atau oker, contoh yang terdapat di Ciater di wilayah Kabupaten Subang Jawa Barat. Mata air panas dapat dikembangkan untuk keperluan pariwisata atau pengobatan, contohnya terdapat di Maribaya, Ciater, dan Cipanas-Garut. Belerang biasanya diendapkan di kawah gunungapi (melalui proses sublimasi), atau terlarut dalam air panas yang kemudian mengendap (contohnya di Kawah Putih, Talagabodas, Wanaraja). Belerang terutama dipakai untuk bahan pembuat asam sulfat.
Gambar 8.2. Digital Elevation Model (DEM) kawasan Cekungan Bandung, menunjukkan bentangalam vulkanik dengan beragam potensi, diantaranya mataair panas di bagian utara dan panasbumi di bagian selatan
(atas perkenan Sidarto, P3G, 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar