Cinta
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan :
Pokok dari tauhid dan ruhnya adalah memurnikan cinta hanya kepada Allah semata. Ia merupakan sumber penghambaan dan ketundukan diri kepada-Nya. Bahkan ia merupakan intisari dari hakikat ibadah. Tauhid pada diri seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan menyempurnakan cintanya kepada Rabbnya. Kecintaan kepada-Nya mendahului kecintaannya kepada segala sesuatu dan mengalahkan itu semua, sehingga dia akan menimbang segala bentuk kecintaannya kepada apa saja dengan menundukkannya terhadap kecintaan kepada-Nya, yang dengan cinta itulah kebahagiaan hamba dan keberuntungannya akan sempurna.
Salah satu unsur yang melengkapi kecintaan tersebut adalah kecintaan fillah; yaitu tatkala seorang hamba mencintai amal dan orang-orang yang Allah cintai, demikian pula dia akan membenci amal atau orang-orang yang dibenci Allah. Dia akan membela wali-wali-Nya dan memusuhi musuh-musuh-Nya, dengan seperti itulah iman dan tauhid pada diri seorang hamba akan menjadi lengkap dan sempurna.
Adapun perbuatan mengangkat makhluk sebagai sekutu dalam hal cinta; di mana dia mencintai mereka sebagaimana cinta kepada Allah dan lebih mendahulukan ketaatan kepada mereka di atas ketaatan kepada Allah, merasa mendapatkan ketetapan hati dan ketenangan dengan mengingat mereka (pujaan selain Allah) dan berdoa kepada mereka. Maka perbuatan ini adalah tergolong syirik besar. Sebuah dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah. Hati dari orang yang melakukan kesyirikan ini pun telah terputus dari petolongan dan perlindungan Dzat Yang Maha perkasa lagi Maha terpuji. Bahkan hatinya selalu bergantung dan bersandar kepada selain Allah, padahal sesuatu itu tidak menguasai apa pun untuknya. Perantara yang lemah ini dan dijadikan oleh orang-orang musyrik sebagai tempat bergantung dan menyandarkan hati mereka –kepada selain Allah- maka pada hari kiamat kelak [jalinan kasih sayang] itu akan lenyap dan terputus; padahal ketika itu dia sedang berada dalam kondisi paling membutuhkan [pahala] amalnya, pada saat itu kecintaan ini justru berubah menjadi kebencian dan permusuhan.
Perlu diketahui bahwa, kategori cinta itu ada tiga macam :
Pertama, cinta kepada Allah yang hal itu menjadi pokok keimanan dan sumber tauhid
Kedua, cinta fillah [cinta karena Allah] yaitu cinta kepada para nabi Allah, rasul-rasul-Nya dan para pengikut mereka, cinta kepada amal, tempat-tempat atau hal lain yang dicintai Allah. Cinta ini mengikuti kecintaan kepada Allah dan penyempurna baginya.
Ketiga, cinta ma’allah [mencintai sekutu selain Allah], itu merupakan cintanya orang-orang musyrik kepada pujaan dan sesembahan mereka yang berujud pohon, batu, manusia, malaikat atau yang lainnya. Maka kecintaan semacam itu adalah pokok kesyirikan dan asasnya.
Di sana terdapat jenis cinta yang keempat yaitu; cinta yang sudah menjadi naluri manusia terhadap hal-hal yang disenangi dan dirasa cocok oleh jiwanya berupa makanan, minuman, pernikahan, pakaian, pergaulan, dan lain sebagainya. Cinta jenis ini, meskipun pada asalnya mubah namun apabila ia menjadi sarana yang membantu untuk mewujudkan kecintaan kepada Allah dan merealisisasikan ketundukan/ketaatan kepada-Nya, maka ia termasuk dalam cakupan ibadah. Akan tetapi apabila justru memalingkan orang dari hal itu dan memerantarai menuju perkara-perkara yang tidak disenangi oleh Allah, maka ia pun akan termasuk dalam cakupan hal yang terlarang. Dan kalau misalnya tidak ada kaitan dengan kedua tujuan di atas (mewujudkan sesuatu yang dicintai Allah atau dibenci-Nya), maka cinta seperti itu akan tetap berada pada status hukum asalnya yaitu tergolong perkara yang dibolehkan/mubah. Wallahu a’lam.
Sekian keterangan beliau.Diterjemahkan secara bebas dari Al-Qaul As-Sadid, hal. 95-97.
Maktabah Al-‘Ilmu Jeddah, 1411 H
Faedah
Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah mengatakan [Fath Al-Majid, 312] :
Salah satu tanda kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya adalah dengan mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang Dia benci sebagaimana Allah membencinya. Dia akan lebih mengutamakan keridhaan Allah di atas segala sesuatu selainnya. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk mencapai apa yang membuat Allah ridha. Dia akan menjauhi apa yang diharamkan Allah dan dia akan membencinya dengan amat sangat. Dia akan mengikuti ajaran rasul-Nya, melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya. Hal itu sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada rasul itu maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisaa’ : 80).
Oleh sebab itu barangsiapa yang mendahulukan perintah selainnya [selain rasul] di atas perintah beliau dan menyelisihi apa yang dilarangnya, maka itu adalah tanda ketiadaan cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Karena kecintaan kepada rasul itu sesungguhnya merupakan konsekuensi kecintaan kepada Allah. Barangsiapa cinta kepada Allah dan menaatinya, niscaya dia juga akan mencintai rasul dan menaatinya. Adapun orang yang tidak demikian [tidak cinta kepada Allah], maka hal itu juga tidak akan dia lakukan [menaati rasul-Nya]…
http://abu0mushlih.wordpress.com/2008/12/17/tuluskah-cintamu-pada-nya/#more-325
Pokok dari tauhid dan ruhnya adalah memurnikan cinta hanya kepada Allah semata. Ia merupakan sumber penghambaan dan ketundukan diri kepada-Nya. Bahkan ia merupakan intisari dari hakikat ibadah. Tauhid pada diri seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan menyempurnakan cintanya kepada Rabbnya. Kecintaan kepada-Nya mendahului kecintaannya kepada segala sesuatu dan mengalahkan itu semua, sehingga dia akan menimbang segala bentuk kecintaannya kepada apa saja dengan menundukkannya terhadap kecintaan kepada-Nya, yang dengan cinta itulah kebahagiaan hamba dan keberuntungannya akan sempurna.
Salah satu unsur yang melengkapi kecintaan tersebut adalah kecintaan fillah; yaitu tatkala seorang hamba mencintai amal dan orang-orang yang Allah cintai, demikian pula dia akan membenci amal atau orang-orang yang dibenci Allah. Dia akan membela wali-wali-Nya dan memusuhi musuh-musuh-Nya, dengan seperti itulah iman dan tauhid pada diri seorang hamba akan menjadi lengkap dan sempurna.
Adapun perbuatan mengangkat makhluk sebagai sekutu dalam hal cinta; di mana dia mencintai mereka sebagaimana cinta kepada Allah dan lebih mendahulukan ketaatan kepada mereka di atas ketaatan kepada Allah, merasa mendapatkan ketetapan hati dan ketenangan dengan mengingat mereka (pujaan selain Allah) dan berdoa kepada mereka. Maka perbuatan ini adalah tergolong syirik besar. Sebuah dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah. Hati dari orang yang melakukan kesyirikan ini pun telah terputus dari petolongan dan perlindungan Dzat Yang Maha perkasa lagi Maha terpuji. Bahkan hatinya selalu bergantung dan bersandar kepada selain Allah, padahal sesuatu itu tidak menguasai apa pun untuknya. Perantara yang lemah ini dan dijadikan oleh orang-orang musyrik sebagai tempat bergantung dan menyandarkan hati mereka –kepada selain Allah- maka pada hari kiamat kelak [jalinan kasih sayang] itu akan lenyap dan terputus; padahal ketika itu dia sedang berada dalam kondisi paling membutuhkan [pahala] amalnya, pada saat itu kecintaan ini justru berubah menjadi kebencian dan permusuhan.
Perlu diketahui bahwa, kategori cinta itu ada tiga macam :
Pertama, cinta kepada Allah yang hal itu menjadi pokok keimanan dan sumber tauhid
Kedua, cinta fillah [cinta karena Allah] yaitu cinta kepada para nabi Allah, rasul-rasul-Nya dan para pengikut mereka, cinta kepada amal, tempat-tempat atau hal lain yang dicintai Allah. Cinta ini mengikuti kecintaan kepada Allah dan penyempurna baginya.
Ketiga, cinta ma’allah [mencintai sekutu selain Allah], itu merupakan cintanya orang-orang musyrik kepada pujaan dan sesembahan mereka yang berujud pohon, batu, manusia, malaikat atau yang lainnya. Maka kecintaan semacam itu adalah pokok kesyirikan dan asasnya.
Di sana terdapat jenis cinta yang keempat yaitu; cinta yang sudah menjadi naluri manusia terhadap hal-hal yang disenangi dan dirasa cocok oleh jiwanya berupa makanan, minuman, pernikahan, pakaian, pergaulan, dan lain sebagainya. Cinta jenis ini, meskipun pada asalnya mubah namun apabila ia menjadi sarana yang membantu untuk mewujudkan kecintaan kepada Allah dan merealisisasikan ketundukan/ketaatan kepada-Nya, maka ia termasuk dalam cakupan ibadah. Akan tetapi apabila justru memalingkan orang dari hal itu dan memerantarai menuju perkara-perkara yang tidak disenangi oleh Allah, maka ia pun akan termasuk dalam cakupan hal yang terlarang. Dan kalau misalnya tidak ada kaitan dengan kedua tujuan di atas (mewujudkan sesuatu yang dicintai Allah atau dibenci-Nya), maka cinta seperti itu akan tetap berada pada status hukum asalnya yaitu tergolong perkara yang dibolehkan/mubah. Wallahu a’lam.
Sekian keterangan beliau.Diterjemahkan secara bebas dari Al-Qaul As-Sadid, hal. 95-97.
Maktabah Al-‘Ilmu Jeddah, 1411 H
Faedah
Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah mengatakan [Fath Al-Majid, 312] :
Salah satu tanda kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya adalah dengan mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang Dia benci sebagaimana Allah membencinya. Dia akan lebih mengutamakan keridhaan Allah di atas segala sesuatu selainnya. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk mencapai apa yang membuat Allah ridha. Dia akan menjauhi apa yang diharamkan Allah dan dia akan membencinya dengan amat sangat. Dia akan mengikuti ajaran rasul-Nya, melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya. Hal itu sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada rasul itu maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisaa’ : 80).
Oleh sebab itu barangsiapa yang mendahulukan perintah selainnya [selain rasul] di atas perintah beliau dan menyelisihi apa yang dilarangnya, maka itu adalah tanda ketiadaan cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Karena kecintaan kepada rasul itu sesungguhnya merupakan konsekuensi kecintaan kepada Allah. Barangsiapa cinta kepada Allah dan menaatinya, niscaya dia juga akan mencintai rasul dan menaatinya. Adapun orang yang tidak demikian [tidak cinta kepada Allah], maka hal itu juga tidak akan dia lakukan [menaati rasul-Nya]…
http://abu0mushlih.wordpre
Tidak ada komentar:
Posting Komentar