TAWAKAL DAN IKHLAS (1)
Pertama: Tawakal berkaitan dengan masalah akidah. Yaitu meyakini Sang Pencipta, yaitu Allah, yang dijadikan tempat bersandar oleh setiap muslim ketika mencari kemanfaatan dan
menolak kemudharatan. Orang yang mengingkari perkara ini berarti dia kafir.
Kedua: Setiap hamba wajib bertawakal kepada Allah dalam segala urusannya. Tawakal ini termasuk aktivitas hati, sehingga jika seorang hamba mengucapkannya tapi tidak meyakini dengan hatinya, maka ia tidak dipandang sebagai orang yang bertawakal.
Ketiga: Jika seorang hamba mengingkari dalil-dalil wajibnya tawakal yang qath’i (pasti), maka ia telah menjadi orang kafir.
Keempat: Tawakal kepada Allah tidak identik dengan mengambil hukum kausalitas ketika beramal (al-akhdzu bil asbab). Keduanya adalah dua masalah yang berbeda. Dalil-dalilnya pun berbeda. Buktinya Rasulullah saw. senantiasa bertawakal kepada Allah dan pada saat yang sama beliau beramal dengan berpegang pada hukum kausalitas. Beliau telah memerintahkan para sahabat agar melakukan kedua perkara tersebut, baik yang ada dalam al- Quran atau al-Hadits. Beliau telah menyiapkan kekuatan yang mampu dilakukan, seperti mengurug (menutup) sumur-sumur pada saat perang Badar dan menggali parit pada saat perang Khandak. Beliau pernah meminjam baju besi dari Sofwan untuk berperang. Beliau menyebarkan mata-mata, memutuskan air dari Khaibar, dan mencari informasi tentang kaum Quraisy ketika melakukan perjalanan untuk memutuhat Makkah. Beliau masuk Makkah dengan mengenakan baju besi. Beliau pun pernah mengangkat beberapa sahabat sebagai pengawal beliau sebelum turunnya Firman Allah:
Dan Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. (TQS. al- Mâidah [5]: 67)
Begitu pula aktivitas-aktivitas beliau lainnya ketika berada di Madinah setelah berdirinya Daulah. Adapun ketika di Makkah, beliau telah memerintahkan para sahabat untuk hijrah ke Habsyah. Beliau menerima perlindungan dari pamannya, Abû Thalib. Beliau tinggal di Syi’ib (lembah) selama masa pemboikotan. Pada malam hijrah, beliau memeritahkan Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat tidur beliau. Beliau tidur di gua Tsur selama tiga hari. Beliau pun menyewa penunjuk jalan dari Bani Dail. Semua itu menunjukkan bahwa beliau telah melakukan amal sesuai kaidah kausalitas. Tapi pada saat yang sama beliau pun tidak menafikan tawakal, karena tidak ada hubungan antara tawakal dengan menggunakan kaidah kausalitas ketika beramal. Mencampur-adukkan antara keduanya akan menjadikan tawakal hanya sekadar formalitas belaka yang tidak ada dampaknya dalam kehidupan.
Dalil-dalil tentang kewajiban bertawakal antara lain:
Firman Allah:
(Yaitu) orang-orang (yang menta’ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (TQS. Ali ‘Imrân [3]: 173)
Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati… (TQS. al-Furqân [25]: 58)
Dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (TQS. at-Taubah [9]: 51)
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. (TQS. Ali ‘Imrân [3]: 159)
Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. (TQS. at-Thalâq [65]: 3)
Maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. (TQS. Hûd [11]: 123)
Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada- Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung”. (TQS. at-Taubah [9]: 129)
Barangsiapa yang tawakal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (TQS. al-Anfâl [8]: 49)
Dan masih banyak ayat-ayat yang lainnya yang menunjukkan wajibnya bertawakal.
Dari Ibnu Abbas ra., dalam hadits yang menceritakan tujuh puluh ribu golongan yang akan masuk surga tanpa dihisab dan tanpa disiksa terlebih dahulu, Rasulullah saw. bersabda: Mereka adalah orang-orang yang tidak melakukan praktek ruqyah, dan minta diruqyah, juga tidak melakukan praktek tathayyur dan meraka senantiasa bertawakal kepada Tuhan-nya. (Mutafaq ‘alaih)
Dari Ibnu Abbas ra., sesungguhnya Rasulullah saw. Ketika bangun malam untuk bertahajjud suka membaca: ….Ya Allah, hanya kepada-Mu aku berserah diri, hanya kepada- Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku bertawakal. (Mutafaq ‘alaih).
Dari Abû Bakar ra., ia berkata; ketika kami berdua sedang ada di gua Tsur, aku melihat kaki-kaki kaum Musyrik, dan mereka ada di atas kami. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, jika salah seorang dari mereka melihat ke bawah kakinya, maka pasti ia akan melihat
kita.” Kemudian Rasulullah bersabda: Wahai Abû Bakar, apa dugaanmu terhadap dua orang manusia, sementara Allah adalah yang ketiganya (untuk melindunginya,penj.). (Mutafaq ‘alaih)
Dari Ummi Salmah ra., sesungguhnya Nabi saw. ketika akan keluar dari rumah, beliau suka membaca:
Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakal kepada Allah… (HR. at-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih.” an-Nawawi dalam Riyâdhus ash-Shâlihîn berkomentar, “Hadits ini shahih”).
Dari Anas bin Malik sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Jika seseorang akan keluar dari rumahnya kemudian membaca, “Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan kekuasaan Allah”; maka akan dikatakan kepadanya, “Cukup bagimu, engkau sungguh telah diberi kecukupan, engkau pasti akan diberi petunjuk dan engkau pasti dipelihara.” Kemudian ada dua setan yang bertemu dan berkata salah satunya kepada yang lain, “Bagaimana engkau bisa menggoda seorang yang telah diberi kecukupan, dipelihara, dan diberi petunjuk.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya. Ia berkata dalam al-Mukhtarah, “Hadits ini telah dikeluarkan oleh Abû Dawud dan an-Nasâi, Isnadnya shahih”)
Dari Umar bin al-Khathab bahwa Rasulullah saw. bersabda: Jika kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberikan rizki kepada kalian, sebagimana Allah telah memberikan rizki kepada burung. Burung itu pergi dengan perut kosong dan kembali ke sarangnya dengan perut penuh makanan. (HR. al-Hâkim; Ia berkata, “Hadits ini shahih isnadnya”, dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya, dan dishahihkan oleh al-Maqdisi dalam al-Mukhtarah).
TAWAKAL DAN IKHLAS (2)
Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (TQS. an-Nisa [4]: 69)
Seseorang bertanya kepada laki-laki itu, “Siapa engkau wahai hamba Allah?” Ia berkata, “Aku adalah seorang dari kaum Anshar. Laki-laki itu tidak mau menyebutkan namanya.”
Ikhlas hukumnya wajib. Dalilnya sangat banyak, baik dari al-Kitab maupun as-Sunah.
Allah Swt. berfirman:
Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (al-Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. (TQS. az-Zumar [39]: 2)
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik) (TQS. az-Zumar [39]: 3)
Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (TQS. az-Zumar [39]: 11)
Katakanlah, “Hanya Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku”. (TQS. az-Zumar [39]: 14)
Ayat-ayat di atas merupakan seruan kepada Rasulullah saw., hanya saja sudah dimaklumi bahwa seruan kepada Rasulullah saw. Adalah juga seruan kepada umatnya. Adapun dalil wajibnya ikhlas dari as-Sunah adalah :
Hadits dari Abdullah bin Mas’ud riwayat at-Tirmidzi dan asy- Syafi’i dalam ar-Risalah dari Nabi saw., beliau bersabda: Allah akan menerangi orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia menyadarinya, menjaganya, dan menyampaikannya. Terkadang ada orang yang membawa pengetahuan kepada orang yang lebih tahu darinya. Ada tiga perkara yang menyebabkan hati seorang muslim tidak dirasuki sifat dengki, yaitu ikhlas beramal karena Allah, menasihati para pemimipin kaum Muslim, dan senantiasa ada dalam jama’ah al-muslimin. Karena dakwah akan menyelimuti dari belakang mereka.
Dalam pembahasan bab ikhlas ini terdapat pula hadits senada dari Zaid bin Tsabit riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya.
Juga dari Jubair bin Muth’im riwayat Ibnu Majah dan al- Hâkim. Ia berkata, “Hadits ini shahih memenuhi syarat al-Bukhâri Muslim.” Juga dari Abû Sa'id al-Khudzri riwayat Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya dan al-Bazzâr dengan isnad yang hasan. Hadits ini dituturkan pula oleh as-Suyuthi dalam al-Azhâr al-Mutanâtsirah fi al-Ahâdits al-Mutawâtirah.
Hadist dari Ubay bin Ka’ab ra. riwayat Ahmad, ia berkata dalam al-Mukhtarah, isnadnya hasan; Rasulullah saw. bersabda: Berikanlah kabar gembira kepada umat ini dengan kemegahan, keluhuran, pertolongan, dan keteguhan di muka bumi. Siapa saja dari umat ini yang melaksanakan amal akhirat untuk dunianya, maka kelak di akhirat ia tidak akan mendapatkan bagian apa pun.
Hadits dari Anas riwayat Ibnu Majah dan al-Hâkim, ia berkata hadits ini shahih memenuhi syarat al-Bukhâri Muslim, Rasulullah saw. bersabda:
Barangsiapa yang meninggalkan dunia ini (wafat) dengan membawa keikhlasan karena Allah Swt. saja, ia tidak menyekutukan Allah sedikit pun, ia melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, maka ia telah meninggalkan dunia ini dengan membawa ridha Allah.
Hadits dari Abû Umamah al-Bahili riwayat an-Nasâi dan Abû
Dawud, Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal kecuali amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan dilakukan karena mengharap ridha Allah semata. (al-Mundziri berkata, “Isnadnya shahih”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar