Oleh:
Asy-Syaikh Kholid Ar-Radadiy Hafizahullah
Pertanyaan Kelimabelas
Tanya (Ustadz Wildan) :
Apakah sah pernikahan seorang wanita yg hamil karena zina dengan laki-laki yang berzina dengannya atau dengan selain laki-laki yg berzina dengannya ?
Jawab (Syaikh Kholid) :
Permasalahan ini berkaitan dengan pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yg hamil karena zina baik itu dengan laki-laki yang menzinainya atau dengan selain laki-laki yg menzinainya maka permasalahan ini mengandung hal-hal berikut ini.
Pertama, bagi wanita yg berzina ini Allah Azza wa Jalla berfirman, (yang artinya) : “Laki-laki yg berzina itu tidak menikahi kecuali wanita yg berzina atau wanita musyrikah. Dan wanita yg berzina itu tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yg berzina atau seorang laki-laki yg muysrik dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang beriman” (Surat An-Nuur : 3). Apabila kita membaca ayat yg mulia ini yang Allah akhiri ayat ini dengan “dan hal itu diharamkan bagi orang-orang beriman”, maka kita bisa simpulkan dari hal ini satu hukum, yaitu HARAMNYA menikahi wanita yg berzina dan HARAMNYA menikahkan laki-laki yg berzina. Artinya seorang wanita yg berzina itu tidak boleh bagi orang lain yaitu bagi laki-laki lain untuk menikahinya dan bahwa seorang laki-laki yg berzina itu tidak boleh bagi seseorang untuk menikahkan anak perempuannya dengannya. Dan apabila kita mengetahui hal tersebut dan bahwa hal itu diharamkan bagi orang-orang yg beriman.
Maka sesungguhnya orang yang melakukan perbuatan yg keji ini kondisi/ keadaanya tidak terlepas dari keadaan orang yg mengetahui haramnya perbuatan tersebut namun ia tetap menikahi wanita itu dikarenakan dorongan hawa nafsu dan syahwatnya, maka pada saat seperti itu laki-laki yg menikahi wanita yg berzina itu juga tergolong sebagai seorang pezina sebab ia telah melakukan akad yg diharamkan yg ia meyakini keharamannya. Dari penjelasan ini jelaslah bagi kita tentang hukum haramnya menikahi wanita yg berzina dan tentang haramnya menikahkan laki-laki yg berzina.
Jadi hukum asal dalam menikah itu seorang wanita yg berzina itu tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yg berzina. Iya, ada diantara para ulama yg memfatwakan, apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita dan laki-laki ini bermaksud untuk menikahi wanita tersebut, maka wajib bagi keduanya untuk bertobat kepada Allah Azza wa Jalla. Kemudian hendaknya kedua orang tersebut melepaskan dirinya dari perbuatan yg keji ini dan ia bertobat atas perbuatan keji yg telah dilakukannya dan bertekad untuk tidak kembali kepada perbuatan itu serta melakukan amalan-amalan shalih. Dan apabila laki-laki tersebut berkeinginan untuk menikahi wanita itu, maka ia wajib untuk membiarkan wanita itu selama satu masa haid yaitu 1 bulan, sebelum ia menikahi atau melakukan akad nikah terhadapnya. Apabila kemudian wanita itu ternyata hamil, maka tidak boleh baginya untuk melakukan akad nikah kepadanya kecuali setelah wanita tsb melahirkan anaknya. Hal ini berdasarkan larangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Seseorang untuk menyiramkan airnya ke sawah atau ladang orang lain”, dan ini adalah bahasa kiasan, yaitu menyiramkan maninya kepada anak dari kandungan orang lain (Hadits ini diihasankan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud hadits nomor 2158)
Sumber: Tanya Jawab Ustadz Wildan dengan Asy-Syaikh Kholid Ar-Radadiy pada tanggal 17 Dzulhijjah 1423 H/19 Februari 2003 M
Asy-Syaikh Kholid Ar-Radadiy Hafizahullah
Pertanyaan Kelimabelas
Tanya (Ustadz Wildan) :
Apakah sah pernikahan seorang wanita yg hamil karena zina dengan laki-laki yang berzina dengannya atau dengan selain laki-laki yg berzina dengannya ?
Jawab (Syaikh Kholid) :
Permasalahan ini berkaitan dengan pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yg hamil karena zina baik itu dengan laki-laki yang menzinainya atau dengan selain laki-laki yg menzinainya maka permasalahan ini mengandung hal-hal berikut ini.
Pertama, bagi wanita yg berzina ini Allah Azza wa Jalla berfirman, (yang artinya) : “Laki-laki yg berzina itu tidak menikahi kecuali wanita yg berzina atau wanita musyrikah. Dan wanita yg berzina itu tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yg berzina atau seorang laki-laki yg muysrik dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang beriman” (Surat An-Nuur : 3). Apabila kita membaca ayat yg mulia ini yang Allah akhiri ayat ini dengan “dan hal itu diharamkan bagi orang-orang beriman”, maka kita bisa simpulkan dari hal ini satu hukum, yaitu HARAMNYA menikahi wanita yg berzina dan HARAMNYA menikahkan laki-laki yg berzina. Artinya seorang wanita yg berzina itu tidak boleh bagi orang lain yaitu bagi laki-laki lain untuk menikahinya dan bahwa seorang laki-laki yg berzina itu tidak boleh bagi seseorang untuk menikahkan anak perempuannya dengannya. Dan apabila kita mengetahui hal tersebut dan bahwa hal itu diharamkan bagi orang-orang yg beriman.
Maka sesungguhnya orang yang melakukan perbuatan yg keji ini kondisi/ keadaanya tidak terlepas dari keadaan orang yg mengetahui haramnya perbuatan tersebut namun ia tetap menikahi wanita itu dikarenakan dorongan hawa nafsu dan syahwatnya, maka pada saat seperti itu laki-laki yg menikahi wanita yg berzina itu juga tergolong sebagai seorang pezina sebab ia telah melakukan akad yg diharamkan yg ia meyakini keharamannya. Dari penjelasan ini jelaslah bagi kita tentang hukum haramnya menikahi wanita yg berzina dan tentang haramnya menikahkan laki-laki yg berzina.
Jadi hukum asal dalam menikah itu seorang wanita yg berzina itu tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yg berzina. Iya, ada diantara para ulama yg memfatwakan, apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita dan laki-laki ini bermaksud untuk menikahi wanita tersebut, maka wajib bagi keduanya untuk bertobat kepada Allah Azza wa Jalla. Kemudian hendaknya kedua orang tersebut melepaskan dirinya dari perbuatan yg keji ini dan ia bertobat atas perbuatan keji yg telah dilakukannya dan bertekad untuk tidak kembali kepada perbuatan itu serta melakukan amalan-amalan shalih. Dan apabila laki-laki tersebut berkeinginan untuk menikahi wanita itu, maka ia wajib untuk membiarkan wanita itu selama satu masa haid yaitu 1 bulan, sebelum ia menikahi atau melakukan akad nikah terhadapnya. Apabila kemudian wanita itu ternyata hamil, maka tidak boleh baginya untuk melakukan akad nikah kepadanya kecuali setelah wanita tsb melahirkan anaknya. Hal ini berdasarkan larangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Seseorang untuk menyiramkan airnya ke sawah atau ladang orang lain”, dan ini adalah bahasa kiasan, yaitu menyiramkan maninya kepada anak dari kandungan orang lain (Hadits ini diihasankan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud hadits nomor 2158)
Sumber: Tanya Jawab Ustadz Wildan dengan Asy-Syaikh Kholid Ar-Radadiy pada tanggal 17 Dzulhijjah 1423 H/19 Februari 2003 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar