Musyawarah dengan Istri (1)
Dalam Islam, suami adalah pemimpin. Segala perintah atau keputusannya mesti ditaati selama tidak mengandung kemaksiatan. Namun demikian, Islam juga mengajarkan para suami untuk berembug atau bermusyawarah dengan sang istri dalam setiap perkara rumah tangganya.
Sudah selayaknya kehidupan rumah tangga menjadi wadah kerja sama antara seorang suami dan istrinya. Keduanya bantu membantu dan bahu membahu mengayuh bahteranya di gelombang samudra kehidupan agar sampai ke tepian yang diimpikan. Keduanya saling berbagi. Suka dirasakan berdua. Duka dibagi bersama. Tak salah bila seorang suami bertukar pikiran dengan istrinya menghadapi problema yang ada atau sekadar mengeluhkan beban masalah yang dipikulnya. Kesulitan yang dihadapinya mungkin bisa terjawab dengan masukan dari sang istri. Apatah lagi bila istrinya seorang yang cerdas dan berpikir lurus, ataupun istrinya bisa memberikan kata-kata menghibur yang dapat menenangkan jiwanya. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
“Dan perkara mereka dimusyawarahkan di antara mereka.” (Asy-Syura: 38)
Yaitu mereka memusyawarahkan permasalahan di antara mereka, tidak bersikap terburu-buru/tergesa-gesa,
وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ
“Dan ajaklah mereka musyawarah dalam urusan-urusan yang ada.” (Fathul Qadir, 4/642)
Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai junjungan anak Adam, kekasih pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidaklah menyepelekan keberadaan seorang istri di sisinya. Bila memang diperlukan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajak musyawarah istrinya, menceritakan permasalahan yang beliau hadapi serta memerhatikan saran istrinya.
Saat Jibril ‘alaihissalam menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di gua Hira dengan membawa wahyu yang pertama:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan Nama Rabbmu yang telah menciptakan.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang ke rumah dengan hati yang bergetar untuk menemui istrinya Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha.
زَمِّلُوْنِي، زَمِّلُوْنِي
“Selimuti aku, selimuti aku!” pinta beliau. Khadijah pun menyelimuti suaminya hingga hilang rasa takut beliau. Disampaikanlah kisah kepada Khadijah radhiyallahu ‘anha termasuk apa yang beliau rasakan:
لَقَدْ خَشِيْتُ عَلَى نَفْسِيْ
“Sungguh aku mengkhawatirkan diriku (akan binasa).”
Khadijah radhiyallahu ‘anha pun menghibur suaminya yang mulia:
كَلاَّ وَاللهِ، مَا يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْـمَعْدُوْمَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Tidak demi Allah! Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Engkau seorang yang menyambung silaturahim, menanggung orang yang lemah, memberi kecukupan/kemanfaatan pada orang yang tidak berpunya, suka menjamu tamu, dan menolong kejadian yang haq1.”
Khadijah radhiyallahu ‘anha kemudian mengajak suaminya menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdil ‘Uzza, anak pamannya, seorang tua lagi buta yang beragama Nasrani2 dan biasa menulis Injil dengan bahasa Ibrani ataupun bahasa Arab. Khadijah berkata kepada Waraqah, “Wahai anak pamanku, dengarkanlah apa yang akan disampaikan oleh anak saudaramu.”
“Wahai anak saudaraku, apa yang engkau lihat?” tanya Waraqah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai berkisah tentang apa yang dilihatnya dan pertemuannya dengan seseorang yang merangkulnya dengan kuat di gua Hira. Kata Waraqah, “Itu Namus3 yang pernah Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan untuk membawa wahyu kepada Musa ‘alaihissalam. Duhai! Andai kiranya saat itu aku masih muda! Andai kiranya ketika itu aku masih hidup, tatkala kaummu mengusirmu!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkejut, “Apakah mereka akan mengusirku?” “Iya”, tegas Waraqah, “Tidak ada seorang pun yang membawa seperti yang engkau bawa kecuali ia akan dimusuhi. Kalau aku mendapati hari-harimu itu tentu aku akan menolongmu dengan pertolongan yang kuat.” (HR. Al-Bukhari no. 3 dan Muslim no. 401)
Lihatlah! Bagaimana Khadijah radhiyallahu ‘anha memberikan dorongan dan semangat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memberikan kata-kata menghibur dengan mengingatkan beliau dengan sifat-sifat terpuji yang Allah radhiyallahu ‘anha anugerahkan kepada beliau. Dan kita lihat bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima saran istrinya untuk menceritakan apa yang terjadi pada dirinya kepada Waraqah bin Naufal, seorang yang punya pengetahuan.
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu menyebutkan bahwa dalam kisah di atas kita dapatkan beberapa faedah:
1. Disenanginya menghibur orang yang memiliki beban masalah dengan menyebutkan perkara-perkara yang dapat meringankannya.
2. Disenangi bagi orang yang punya masalah/beban untuk menyampaikan apa yang dialaminya kepada seseorang yang dipercaya dapat memberikan nasihat dan lurus akal/pandangannya. (Fathul Bari, 1/34)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Dalam hadits ini ada bukti yang paling besar dan argumen yang paling puncak tentang kesempurnaan Khadijah radhiyallahu ‘anha, luasnya pikirannya, kuatnya jiwanya, kokohnya hatinya, dan besarnya pemahamannya.” (Al Minhaj, 2/377)
Kita berpindah kepada contoh berikutnya, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bermukim di Madinah. Saat itu di tahun keenam hijriyah, dalam bulan Dzulqa’dah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya berencana melaksanakan umrah di Baitullah. Mereka berangkat dari Madinah menuju Makkah yang masih dikuasai oleh orang-orang musyrikin dalam keadaan berihram. Namun orang-orang musyrikin ini menghalangi beliau dan para sahabatnya untuk masuk ke Makkah. Lalu terjalinlah perjanjian antara beliau dan orang-orang musyrikin bahwa beliau baru diperkenankan masuk ke Makkah untuk berumrah di tahun mendatang. Karena batal berumrah beliau pun hendak bertahallul dari ihramnya dan memerintahkan kepada para sahabatnya:
قُوْمُوْا فَانْحَرُوْا، ثُمَّ احْلِقُوْا
“Bangkitlah kalian lalu sembelihlah hewan kalian, lalu cukurlah rambut kalian.”
Namun apa yang terjadi? Demi Allah tak satupun dari para sahabat yang bangkit memenuhi perintah beliau hingga beliau mengucapkan hingga tiga kali. Ketika tidak ada satupun yang bangkit menjalankan perintah beliau, beliau pun masuk ke tenda istrinya, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Beliau keluhkan pada sang istri apa yang beliau dapatkan dari sikap para sahabatnya, “Tidakkah engkau melihat orang-orang itu? Aku perintahkan mereka dengan satu perkara namun mereka tidak melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar